Mendengar pertanyaan Adler, Genevieve langsung mengalihkan pandangan. "Tidak ada yang mau mendekati gadis miskin seperti saya."
"Cinta tidak mengenal kaya atau miskin, Genna," kata Adler dengan sabar.
"Itu hanya kisah dongeng, Adler. Buktinya banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan cinta ketika perutmu lapar."
Adler hanya mengedikkan bahu. "Tapi terkadang uang juga tak bisa membeli segalanya, Cantik."
Wajah Genevieve langsung bersemu kemerahan mendengar panggilan yang disematkan. Seumur-umur baru kali ini ada laki-laki yang dengan begini santai menyebutnya cantik.
Untung saja Genevieve sedang menatap ke arah jendela kaca mobil. Jadi Adler tidak perlu memergoki sikap jengah yang muncul di hati Genevieve.
'Ah, dia juga pasti mengatakan pujian yang sama ke perempuan lain.' Genevieve mengusir rasa aneh yang hendak memenuhi hati.
"Kau tidak pernah bercerita tentang Beatrice." Adler tiba-tiba memecah keheningan.
"Bee?" Genevieve menoleh. "Oh, dia itu sahabatku ketika bersekolah. Kami juga satu kamar ketika di asrama putri."
Adler ingin kembali memancing reaksi Genevieve tentang pacaran. "Apa dia sudah lama berpacaran dengan Daniel?"
"Belum lama. Kenapa? Apa Anda mengenal Daniel?"
Kemarin, Genevieve tergesa-gesa naik ke flat dan meninggalkan Adler karena mencemaskan keadaan Liesel yang ditinggal sendiri di kamar. Ia tidak tahu Adler sempat mengobrol sedikit dengan Daniel sebelum ia pulang.
"Tidak. Aku tidak ingin membahas mereka, Ghena." Adler menepikan mobil. "Aku ingin membahas tentang kita."
Jemari Genevieve yang hendak membuka seat belt mendadak berhenti. "Kita? Kita hanya bisa berteman, Adler."
"Tak bisakah lebih dari itu?"
"Maaf. Saya tidak mau terlambat. Permisi." Genevieve bergegas melepas seat belt lalu keluar dari mobil dengan tergesa.
"Ya ampun. Kenapa sulit sekali mengerti tentang kamu?" Adler menyandarkan kepala. Ia hanya dapat menatap punggung Genevieve hingga gadis itu menghilang di balik pintu supermarket.
Adler menghela napas berkali-kali lalu kembali mengemudi.
***
Genevieve melangkah menuju loker. Ternyata di tempat itu, Norbetta sudah menunggu.
"Pagi, Nona Norbetta."
"Hebat. Tak hanya mengincar Erich, kau juga diantar oleh laki-laki entah siapa."
Genevieve mengernyit. "Anda sedang memata-matai saya?"
Genevieve merasa heran dengan tingkah Norbetta. Kenapa belakangan, gadis di hadapannya seperti sengaja mencari masalah?
Norbetta bersedekap lalu sengaja mencondongkan tubuh. "Aku tidak suka kepadamu, Genevieve. Kau memuakkan!"
"Astaga. Kasar sekali. Apa salah saya?"
"Jauhi Erich! Manager itu milikku." Tatapan Norbetta menghunus tajam.
Genevieve ingin tertawa. Sungguh, tidak ada keinginan di pikirannya sama sekali untuk menggoda laki-laki, apalagi atasan di tempatnya bekerja.
"Norbetta, Nona Mina memanggilmu." Diana muncul dengan napas terengah-engah.
"Camkan ucapanku tadi kalau kau masih ingin lama kerja di sini!"
Diana ikut menatap sinis sebelum mereka berlalu. Genevieve menyandarkan tubuh ke dinding. Mendadak kepalanya terasa pusing.
"Sebenarnya apa salahku? Kenapa lagi-lagi ada saja yang salah paham begini?"
Padahal, sebisa mungkin Genevieve bersikap ramah dan netral. Tidak punya geng atau kelompok seperti beberapa pekerja yang lain. Genevieve berteman dengan siapa saja. Ternyata hal itu pun tak cukup untuk menghindari adanya musuh.
Setelah merasa lebih tenang, Genevieve merapikan kemeja seragamnya lalu mematut diri di depan cermin.
"Lupakan semuanya. Bekerja sebaik mungkin. Ingat, ini belum seberapa dibandingkan kehilangan pekerjaan!" Genevieve mencoba mengafirmasi diri.
Maka Genevieve pun kembali melangkah tegak. Jika hanya Erich yang menjadi sumber utama permusuhan, mudah saja bagi Genevieve untuk menghindar.
Ketika melewati area perabotan rumah tangga, Genevieve mendapati seorang nyonya tua tengah melamun. Maka gadis itu memutuskan untuk mendekat.
"Nyonya, maaf, apa ada yang bisa saya bantu?"
"Ah, aku hanya bingung. Kenapa area ini sangat sepi?" Nyonya itu balas bertanya.
Genevieve langsung memindai sekeliling. "Sepertinya sebagian besar sedang briefing pagi."
"Oh, begitu. Harusnya tetap ada staf yang berjaga karena wanita tua seperti aku butuh bantuan jika berbelanja."
"Baik. Izinkan saya membantu Nyonya."
Nyonya tua itu menyebutkan bahan-bahan untuk membuat kue. Dengan cekatan Genevieve mengumpulkan semua yang dibutuhkan. Karena dia sudah hafal apa saja bahan-bahannya.
"Mari, saya antar ke kasir."
Nyonya tua itu mengikuti langkah Genevieve. Sembari berjalan, mereka berbincang mengenai keadaan di supermarket itu. Genevieve menjawab semuanya dengan nada sopan.
Ketika kembali ke area kerjanya, Genevieve sadar, ada beberapa pasang mata yang sedang menatap sinis. Mendadak, gadis itu menyadari kemungkinan siapa pelaku yang meletakkan ponsel di loker Dan sengaja menjebaknya.
'Semoga berhenti sampai di ponsel itu saja. Aku sedang tidak ingin bermain drama di sini.' Genevieve membatin.
Genevieve pun langsung menghitung semua barang belanjaan Nyonya tua tadi. Sesekali beliau mengajak berbicara dan selalu dijawab dengan sopan oleh Genevieve.
"Apa Nyonya butuh bantuan untuk membawa semuanya ke mobil?"
"Ah, ya. Boleh."
Genevieve pun sigap membawakan semuanya. Ia tidak menyadari, wanita tua yang sedang mengajaknya mengobrol itu adalah pemilik grup yang menaungi supermarket tempatnya bekerja, Nyonya Rossie Wirtz.
Nyonya Ross memang sengaja datang tanpa pengawalan dan pemberitahuan. Karena ini pertama kali beliau datang untuk memantau kondisi cabang baru usaha mereka.
Supir yang melihat Genevieve membawa kantong belanja, langsung sigap menghampiri untuk mengambil alih.
"Terima kasih, Nyonya. Silakan datang untuk berbelanja kembali." Genevieve sedikit membungkukkan badan.
"Kau gadis yang sangat ramah, Nak. Ah, sayang sekali cucuku sudah punya calon istri. Jika tidak, aku pasti dengan senang hati akan memintanya untuk mengejarmu." Nyonya Ross tertawa kecil.
"Anda bisa saja, Nyonya. Ini sudah kewajiban saya untuk memberi pelayanan terbaik."
"Terima kasih. Maaf, boleh aku tau siapa namamu, Nak?"
"Genevieve, Nyonya."
"Ah, panggil saja aku Nenek. Aku Nenek Ross." Nyonya Ross mengulurkan tangan.
Genevieve pun menyambut uluran tangan itu. Usai berbasa-basi sejenak, keduanya pun berpisah. Genevieve kembali masuk ke swalayan.
"Dasar tukang cari muka!" Diana berucap ketus saat ia melihat Genevieve kembali ke kassanya.
Genevieve malas menanggapi. Gadis itu kembali bekerja seperti biasa. Sampai akhirnya jam kerja usai, Genevieve kembali dipanggil oleh Erich ke ruangannya.
Di bawah tatapan tajam Norbetta, Genevieve tersenyum tipis sebelum membuka pintu ruangan itu.
"Aku punya kabar baik untukmu." Erich tersenyum lebar.
Namun, Genevieve malah merasa cemas. Entah kenapa hatinya tidak tenang.
"Mulai Senin depan, kau dipindahkan ke bagian gudang. Kau tau, memeriksa ketersediaan barang, pencatatan keluar masuk stok. Ya kurang lebih seperti itu."
Tentu saja Genevieve tidak akan mengemukakan pendapat bahwa dia punya phobia terhadap ruangan tertutup. Dan lagi, siapa yang bisa menjamin bahwa Norbetta dan genknya akan berhenti mengerjai Genevieve?
Genevieve tersenyum kecut. "Apa pihak manajemen mencoba menghukum saya lagi, Tuan?"
"Kenapa kamu malah menganggapnya sebagai hukuman, Ginny?" Erich balik bertanya.
Terdengar helaan napas panjang dari bibir Genevieve. "Saya suka bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang, Tuan. Kalau bekerja di gudang... rasanya saya akan kesepian."