Adler menepati janji. Laki-laki itu menjemput Genevieve tepat waktu di jam pulang kerja. Mereka kembali mendatangi kafe yang sama.
Tak seperti biasanya, Genevieve mengaduk-aduk tehnya dengan wajah muram. Sesekali gadis itu mengembuskan napas pendek.
"Apa ada masalah?" Adler merasa ada yang sedang terjadi pada Genevieve.
"Entah ini masalah atau bukan. Tapi saya lebih suka menjadi kasir, ketimbang staf yang berada di dalam gudang."
Adler bingung. "Maksudnya? Kau tidak lagi berada di meja kasir?"
"Ya. Senin depan, aku ditarik ke bagian gudang. Mmh, memeriksa stok, mencatat keluar masuk barang, begitulah kira-kira."
"Tunggu dulu, kenapa kau malah lebih suka jadi kasir, Ghena? Bukannya menjadi staf gudang berarti kau mendapat promosi? Pekerjaanmu akan menjadi lebih ringan dan upahnya juga lebih besar."
Genevieve hanya bisa terdiam. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa jam kerja kasir membuatnya bisa pulang lebih awal. Dia bisa bergantian dengan Beatrice untuk menjaga Liesel. Tapi kalau ia bekerja di bagian gudang, jam kerjanya lebih panjang dan ia akan lebih banyak merepotkan Beatrice. Itu adalah hal yang tidak ia sukai. Namun, untuk membayar baby sitter, ia juga tidak mampu.
"Untuk apa mendapatkan promosi kalau teman-teman lain menaruh benci, Adler? Aku cuma ingin kerja sebaik mungkin."
Adler memundurkan tubuh. "Kenapa harus benci? Bukannya semua promosi itu memang layak kau dapatkan?"
"Tidak sesederhana itu. Seramah apa pun aku kepada mereka, tetap saja ada yang memandang negatif." Genevieve menghela napas panjang.
"Mereka hanya iri, Ghena. Ayo, kita harus bergegas." Adler langsung meneguk sisa kopi dalam cangkir.
"Eh, mau pergi lagi?"
"Tentu saja. Ayo."
Genevieve tidak menyangka kalau Adler akan membawanya ke toko buku. Diam-diam Genevieve merasa kepribadian Adler sedikit unik.
"Kau suka baca buku, kan?"
Genevieve mengangguk. Mimpinya untuk melanjutkan pendidikan memang sudah berakhir. Untuk sekadar membaca buku pun, dia tak punya waktu.
"Pilih buku yang kau inginkan. Aku yang traktir."
"Aku tidak bisa selalu menerima kebaikan, Adler. Kalau hanya satu atau dua buku, aku masih sanggup untuk membelinya."
'Sebut apa saja, Ghena. Bahkan toko buku beserta isinya bisa aku beli untukmu.' kata Adler dalam hati. Ia lalu menyusuri lorong yang dipadati dengan aneka buku itu.
Jika gadis seperti Elma selalu merecoki dengan aneka permintaan, Genevieve berbeda. Semua hal dianggap sebagai hutang budi.
Ada beberapa buku tentang ilmu parenting yang ingin dibeli oleh Genevieve. Namun, pasti hal itu akan menjadi tanda tanya besar pada Adler. Maka Genevieve hanya mengambil dua buku dongeng saja.
"Kau yakin ingin membaca buku itu?" Adler mengulum senyum.
"Setiap gadis, punya gambaran mengenai pangeran impian, Tuan Adler. Tak ada salahnya merajut dongeng kita sendiri." Genevieve berjalan membawa dua buku itu ke arah kasir.
Genevieve yakin, Liesel akan sangat senang ketika melihat buku dongeng itu. Untungnya, Adler tidak bertanya lebih lanjut. Kalimat Genevieve tadi malah menggelitik nalurinya.
Adler tetap bersikeras untuk membayar buku itu. Genevieve tak ingin memperpanjang hal sepele, terlebih di depan umum.
"Katakan Genna, seperti apa pangeran impianmu?" Adler langsung bertanya ketika mereka sudah keluar dari toko buku itu.
Genevieve berhenti melangkah. "Hm, untuk tinggi badan, haruslah melebihi tubuh saya. Dia juga harus punya mata dan senyum yang menawan."
Adler merasa punya kesempatan atas tiga kriteria awal itu. "Lalu?"
"Dia haruslah lelaki yang berjiwa besar dan mau menerima semua hal tentang saya." Genevieve tersenyum tipis.
Hati gadis itu menghangat. Karena jauh di lubuk hatinya, Genevieve percaya kelak akan ada laki-laki baik hati yang mau menerima Liesel sebagai pelengkap kisah cinta mereka.
"Sepertinya aku memenuhi semua kriteria itu." Adler menjadi semringah.
Genevieve tertawa kecil. "Tingkat percaya diri Anda tinggi sekali."
"Apakah kau memang benar-benar tidak bisa melihat kesungguhanku, Genna?" Wajah Adler mendadak murung.
"Jangan menaruh harapan besar kepadaku, Adler. Anda akan terluka dalam." Genevieve berujar lirih.
"Setidaknya, izinkan aku untuk membuatmu jatuh cinta, Genna."
"Aku tidak berani. Memiliki sahabat seperti Anda saat ini saja, aku sudah merasa cukup."
Adler masih ingin mencoba membujuk, tetapi dari arah belakang ia melihat mobil milik Elma masuk ke pelataran parkir. Astaga… kenapa mereka bisa kebetulan sekali mendatangi tempat yang sama?
Ia lalu menarik tangan Elma untuk masuk ke mobilnya. "Ayo, kita pulang."
Adler begitu panik ingin menutupi Genevieve dari Elma. Saat mereka sudah masuk ke dalam mobil dan keluar dari pelataran parkir, Adler baru dapat bernapas lega.
Di dalam mobil, Genevieve langsung membaca buku dongeng itu. Dia sengaja menghindari kemungkinan Adler akan membahas mengenai perasaan lagi.
Genevieve merasa tidak suka. Karena Adler sudah punya pacar. Genevieve tidak mau dicap sebagai perebut kekasih orang.
"Apa lagi-lagi kau tidak ingin mengundangku masuk, Genna?"
Genevieve menutup bukunya. "Maaf. Aturan flat kami ketat. Bahkan Daniel pun tidak pernah naik ke kamar Beatrice."
Padahal itu hanyalah karangan Genevieve belaka. Dia dan Beatrice sepakat untuk tidak membawa pulang laki-laki asing ke dalam kamar. Takut hal itu akan menjadi tanda tanya bagi Liesel.
"Bahkan walau sudah berstatus pacar pun, tidak diperbolehkan?" Adler mengernyit. "Peraturan macam apa itu?"
"Terima kasih untuk hari yang menyenangkan ini, Adler," ucap Genevieve sebelum berlalu.
Adler hanya bisa menatap pasrah pada sosok Genevieve yang tak menoleh sama sekali.
"Kenapa aku bisa sesabar ini ketika mengejar perempuan?" Adler mengacak rambutnya. "Oh, Adler. Sepertinya kau butuh bantuan medis."
Ketika Genevieve sampai di flat, Beatrice dan Liesel tampak hendak keluar. "Hai, Schatz. Cantik sekali. Mau ke mana?"
"Tante ajak Lily ke taman. Beli permen kapas, Mommy."
"Mommy boleh ikut?"
"Boleh. Boleh." Liesel mengangguk, kunciran rambutnya ikut bergoyang.
Mereka bertiga keluar dari flat. Untung saja, mobil Alder sudah tak tampak di area parkir. Akan jadi masalah jika lelaki itu memergoki Genevieve menggendong Liesel.
"Taman yang agak jauh, boleh? Aku ingin menghirup udara segar."
"Boleh. Apa kau baik-baik saja, Ve"?" Beatrice merasa ada yang sedang terjadi pada sahabatnya.
"Tidak ada, Bee. Hanya ingin mencari suasana baru untuk Lily."
"Kita naik bus, Mommy?" Liesel membuka suara.
"Ya. Kita akan naik bus. Kau suka?"
"Yeay." Liesel memekik kegirangan dalam pelukan Genevieve.
Genevieve hendak menjernihkan pikiran. Gadis itu hanya tidak ingin bayangan Adler selalu muncul. Biar bagaimanapun, kedekatan antara perempuan dan laki-laki bisa saja berujung cinta.
Sepanjang perjalanan di dalam bus, Liesel terus saja mengoceh lucu. Beatrice dan Genevieve bergantian mendaratkan kecupan untuk gadis berpipi kemerahan itu.
Ketika sudah tiba di taman tengah kota, Genevieve menurunkan Liesel dari gendongannya. Dua sahabat itu menyesuaikan dengan langkah mungil milik Liesel.
"Nyonya Ross? Sedang apa di sini?" Genevieve menyapa ketika mengenali sosok wanita tua yang sedang duduk sendiri di kursi taman.
"Ah, sebentar. Mmh, ya, Genevieve, bukan?" Wanita itu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Genevieve dengan kening berkerut.
"Ya, Nyonya." Genevieve memindai sekeliling. "Anda bersama siapa?"
Nyonya Ross menggeleng. "Supirku di depan sana. Aku memang sedang ingin sendirian. Mengenang masa lalu."
"Perkenalkan, ini Beatrice, sahabatku. Dan ini Liesel," kata Genevieve dengan sopan.
Liesel mendekati Nyonya Ross. "Hai, Nenek."
"Ah, kau lucu sekali. Boleh Nenek memelukmu, Nak?"
"Boleh."
Mendadak, ada rasa yang aneh muncul di hati Nyonya Ross. 'Kenapa memeluk gadis kecil membuat hatinya terasa begitu hangat?
Nyonya Ross masih terbawa perasaan ketika pelukan itu sudah dilepas. Entah mengapa, tiba-tiba muncul rasa sayang untuk gadis kecil itu.
"Ayo, duduk di samping Nenek," katanya sambil tersenyum lebar.
Genevieve pun membantu Liesel untuk duduk. Gadis kecil itu tersenyum ramah pada sang Nenek. Selama ini, hanya ada mommy dan bibi dalam hidup Liesel.
"Kau mau minum?" Beatrice bersimpuh di depan Liesel yang dijawab dengan anggukan kepala si gadis kecil.
"Apa dia anakmu?" tanya Nyonya Ross sembari menatap bergantian ke arah Genevieve dan Liesel.