"Genna, kau tinggal di lantai berapa?"
Entah mengapa, tiap kali Adler memanggil dengan nama itu, hari Genevieve selalu menghangat. Terlebih ketika dia melihat tatapan mata yang berdaya sihir tinggi itu.
"Tuan tidak perlu repot-repot naik ke flat itu. Tempatnya sempit dan tak nyaman."
"Ah, Genna. Kenapa Tuan lagi?"
"Eh, maaf. Tapi saya bicara yang sejujurnya. Flat itu tidak sesuai dengan orang seperti Anda."
"Apa maksudnya orang sepertiku, Genna?"
Genevieve tersenyum tipis. Harusnya tak perlu menjabarkan tentang ketimpangan sosial di antara mereka.
"Ini semua bukan milikku. Hanya kebetulan menumpang saja. Kalau temanku pulang ke Berlin, aku harus mencari tempat tinggal baru," kata Adler sambil tertawa. "Aku hanya staf biasa, Genna. Tak ada bedanya denganmu. Mobil yang aku pakai juga milik kantor, kok. Jadi… jangan mennggap kalau aku berbeda darimu."
Genevieve mengerjap. Sejak awal, Genevieve masih menyimpan trauma tentang perbedaan status. Tudingan benalu masih terngiang-ngiang jelas.
Walaupun Adler mengaku sebagai lelaki biasa, namun melihat dari pergaulannya yang membuatnya bisa berteman dengan lelaki kaya seperti pemilik apartemen ini, Genevieve bisa menduga bahwa perbedaan status sosial di antara mereka masih cukup besar.
Adler terlihat berpendidikan tinggi dan berasal dari kalangan menengah atas. Teman-teman bisnisnya yang sempat dilihat Genevieve juga terlihat berasal dari kalangan atas. Sementara Genevieve sendiri hanya seorang gadis putus sekolah yang tidak tamat SMA dan bahkan sudah punya anak tanpa suami.
Sebenarnya Adler merasa bersalah karena sudah membohongi Genevieve. Namun, di sisi lain, lelaki itu hanya ingin menguji seperti apa sebenarnya gadis yang dikaguminya.
"Maafkan saya," kata Genevieve sungkan. "Saya hanya takut berurusan dengan orang kaya."
'Menarik. Apa dia alergi dengan orang kaya? Bukannya gadis-gadis cantik biasanya suka mengejar lelaki kaya raya?' Adler meraih kaleng minuman lalu meminum isinya.
"Kenapa dengan orang kaya? Apa yang salah?"
"Hanya pernah punya sedikit trauma saja. Maaf, tapi saya tak suka membahasnya."
"Ah, ya. Bagaimana reaksi teman-temanmu tadi? Apa ada yang menunjukkan gelagat aneh?" Adler mengalihkan pembicaraan.
Genevieve hanya mengedikkan bahu. "Saya tidak ingin mencari musuh di mana pun. Pekerjaan yang saya punya saat ini terlalu berharga untuk dikorbankan."
"Tapi, Genna, kalau ada rekan kerja yang menekanmu, tidakkah hal itu harus dilaporkan ke atasan?"
"Sejauh ini tidak ada. Mereka semua baik. Terlebih Nona Mina. Anda pasti masih ingat dia, kan?"
Adler tampak berusaha mengingat. "Mmh, perempuan yang cemas menunggumu di depan pintu swalayan?"
"Ya. Nona Irmina itu contoh karyawan yang gigih dan teladan."
Tentu saja Adler pernah mendengar nama itu. Hanya saja tidak mengetahui persis seperti apa wajah sang pemilik nama.
"Apa ada kecurangan yang pernah kau temukan di area kasir?" Adler ingin mencari tahu tentang hal-hal kecil yang mungkin luput dari pengawasannya.
"Tidak ada. Kami bekerja sesuai dengan peraturan."
Adler manggut-manggut. Lelaki itu lalu mencari bahan obrolan lain. Tidak lagi mengenai pekerjaan.
Genevieve melirik ke arah jam tangan yang dikenakan Adler. "Sepertinya saya sudah harus pulang."
Adler ikut melihat ke arah jam tangan itu. "Oke."
Walaupun ia tidak rela Genevieve pulang, Adler tahu diri. Ia tidak boleh menahan gadis itu di sini lebih lama. Ia takut nanti Genevieve akan kapok ikut dengannya. Mereka lalu berjalan turun dari apartemen. Adler mengantar Genevieve pulang.
Ketika mobil sudah sampai di area parkir flat itu, Adler langsung melepas seat belt dan langsung keluar.
"Kenapa Anda ikut keluar?"
"Aku hanya ingin tau kau tinggal di lantai berapa, Genna."
"Bukannya saya sudah bilang kalau Anda tidak perlu repot-repot naik?"
Genevieve tidak ingin ada orang lain yang mengetahui tentang Liesel. Karena akan terulang kembali cemoohan tentang masa-masa kelam yang dialami Genevieve.
"Apa salahnya? Bukannya kita sudah saling kenal satu sama lain?" Adler bertanya dengan nada penuh percaya diri.
Tak hanya itu, Adler berjalan lebih dahulu, meninggalkan Genevieve.
"Astaga! Keras kepala sekali." Genevieve menggerutu. "Tuan Alder, berhenti."
Dari arah yang berlawanan, seorang laki-laki muncul lalu melambaikan tangan. "Permisi."
Genevieve menghentikan langkah. "Ya?"
"Saya sedang mencari seseorang. Bisakah kau menolong?"
Adler yang sudah tiba di pintu masuk flat, mendadak berbalik badan. Tadinya ia yakin kalau Genevieve tidak akan punya alasan lagi untuk menolak.
"Dengan siapa dia berbicara?" Adler merasa tak suka.
Terlebih ketika ia melihat senyuman yang terukir di wajah cantik Genevieve. Adler mendekat dengan rasa tak suka yang membuncah.
"Genna."
"Adler, ini Daniel. Dia sedang mencari seseorang."
Demi kesopanan, Adler tersenyum pada lelaki yang bernama Daniel itu.
"Hai, aku hanya ingin memberi kejutan untuk seorang kekasih." Daniel tersenyum ramah.
"Romantis sekali." Adler menimpali. Ucapan itu terlontar lebih karena Adler menganggap lelaki di hadapannya bukan saingan.
Ya, semacam trik basi untuk menarik perhatian seorang wanita. Pura-pura bertanya alamat.
"Ah, ya. Anda belum menyebutkan nama wanita yang beruntung itu."
"Beatrice."
Mata Genevieve membulat sempurna. "Beatrice? Anda ... si asisten dosen itu?"
"Ah, tenyata aku datang pada orang yang tepat. Kau ... Genevieve?"
"Ya. Pasti Anda mengenal nama saya dari ceritanya Bee, bukan?"
'Bee? Oh, itu nama panggilan untuk Beatrice. Aku pikir itu panggilan sayang untuk pacar.' Adler tertawa dalam hati.
"Iya. Beatrice selalu bercerita tentang sahabatnya."
Mendadak, Genevieve merasa canggung. Karena melihat tatapan tajam dari Adler. "Boleh langsung menelpon Beatrice saja?"
"Eh, emh, oke." Daniel melihat reaksi lelaki yang memposisikan diri di sebelah Genevieve itu.
Daniel menduga mereka juga adalah pasangan kekasih. Ponsel sudah ada dalam genggaman Daniel, tetapi ketika hendak menekan nomor Beatrice, Genevieve melarang.
"Aku saja yang meminta Bee untuk turun. Sebentar." Genevieve menjauh dari kedua lelaki itu.
Dia takut kalau Beatrice turun sembari membawa Liesel juga. Genevieve berbicara sedikit berbisik-bisik di ponselnya.
Tak lama kemudian, Beatrice muncul lalu memeluk Daniel erat. "Sayang, ini kejutan yang manis."
Adler merasa pernah melihat gadis di hadapannya. 'Bukannya gadis ini yang kemarin mengabaikan aku? Dia Bee itu?'
"Bee, ini Adler. Emh, dia yang aku ceritakan sebagai sosok penolong itu." Genevieve mengulum senyum.
"Oh, hai, Tuan Adler. Saya Beatrice. Senang rasanya bisa bertemu dengan super heronya Genevieve." Beatrice mengulurkan tangan.
Adler menyambut uluran tangan itu. "Adler. Kamu tau, kemarin aku pernah datang dan hendak bertanya sesuatu. Tapi kamu sepertinya sedang terburu-buru."
Beatrice tampak berpikir. "Iyakah? Maaf, mungkin saat itu, aku sedang buru-buru mau ke kampus."
"Oh, begitu." Adler mengangguk. "Apa kalian hendak pergi?"
Daniel langsung merangkul pinggang Beatrice. "Ya. Kami hendak membeli beberapa diktat kuliah."
Ucapan Daniel itu diangguki oleh Beatrice. "Bye, Ve. Bye, Tuan Adler."
Sepasang kekasih itu berjalan menjauh sambil berangkulan.
"Romantis," puji Alder.
"Maaf, saya harus masuk sekarang. Bye." Genevieve langsung menyelinap masuk tanpa menunggu jawaban Alder.
"Tapi, Genna, tunggu … ah, selalu seperti ini. Lagi-lagi diabaikan di depan pintu. Tabahlah, Ad. Kadang wanita memang suka main petak umpet."
***