Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 6 - Chapter 9~ Phobia

Chapter 6 - Chapter 9~ Phobia

~Rafael~

Kemarin ketiga teman idiotku pulang larut malam sekali. Sehingga hari ini kita berempat kompak datang terlambat ke sekolah. Sialnya jam pertama adalah sejarah, dimana sang guru, Pak Erik, adalah wakil kesiswaan. Jadi kami diberi hukuman sebelum pulang sekolah.

Hari ini seperti yang direncanakan kemarin, Andrea akan datang ke rumahku. Aku tidak sabar untuk cepat-cepat pulang, namun tidak dapat dipungkiri terdapat rasa gugup juga. Berduaan dengan Andrea di apatermenku. Dapat kupastikan hari ini aku akan sport jantung. Entah aku harap aku tidak melakukan hal-hal bodoh di depan Andrea.

Sayangnya sebelum melakukan hal itu aku harus membersihkan kelas bersama ketiga teman idiotku. Andrea dengan baiknya mau menunggu kami sambil duduk mengamati kami dari bangkunya dan mulai membaca bukunya.

Dia sangat cantik saat sedang serius membaca buku seperti itu. Setelah menunggu cukup lama akhirnya kami selesai membereskan kelas.

Aku dan Andrea langsung keluar sekolah dan sayangnya langit sangat hitam dan rintikan hujan telah turun perlahan. Aku lupa untuk membawa payung akibat terlambat bangun sehingga kami terpaksa untuk hujan-hujanan. Setelah turun dari bis kami berlari menuju apatermentku. Aku memegang tangannya agar dia tidak terlalu jauh tertinggal di belakang.

Saat sebentar lagi sampai di depan gedung apatermentku, Andrea menarik tanganku menandakan unutk berhenti sebentar. Secara otomatis aku berbalik untuk melihatnya yang terdiam menutup mata. Dia terlihat kecapaian akibat berlari. Jarak terminal dengan apatermentku cukup jauh, tak heran jika dia kecapaian. Apalagi berlari ditengah hujan seperti ini.

"Kamu gak apa-apa Dre?" Tanyaku khawatir. Aku berjalan perlahan mendekat kepadanya. Entah mengapa dia malah tersenyum dan tertawa senang sambil menutup matanya dan medongakkan wajahnya ke atas seperti sedang menikmati buliran air hujan yang turun di wajahnya. Dia sangat-sangat cantik saat seperti ini.

"Tau gak Raf?" Katanya sambil tetap menutup matanya menikmati air hujan. Aku tidak membalas perkataannya dan menunggunya untuk melanjutkan sendiri apa yang akan dia katakan.

"Aku sudah lama tidak menikmati hujan seperti ini. Aku gak pernah seseneng ini saat hujan turun." Katanya sambil tersenyum dan dengan perlahan membuka matanya dan melihat ke arahku.

"Makasih karena sudah mau menjadi temanku. Lagi-lagi kamu membawa cahaya dalam hidupku." Katanya dan langsung memelukku.

Akibat gerakannya yang tiba-tiba memelukku, aku terdiam seperti patung. Aku yakin detak jantungku pasti udah gak karuan. Setelah beberapa menit seperti ini aku tersadar dan meyadari bahwa dia bisa sakit jika terus-terusan terkena air hujan.

"Masuk yu. Nanti kamu sakit." Kataku lembut sambil melepas pelukan kami dan menarik tangannya menuju apatermentku.

Sesampainnya di rumah aku langsung mengambil handuk untuk mengeringkan tubuh kami masing-masing.

Dari tadi Andrea menggunakan jaketnya dan saat dia melepaskan jaketnya yang basah itu aku dapat melihat baju seragamnya yang basah, sehingga membuat seragam itu menempel dengan tubuhnya.

Seketika aku mengalihkan pandanganku dari tubuhnya dan aku sangat yakin jika wajahku memerah. Pemandangan ini bisa membuatku gila. Pakaian dalam Andrea terlihat karena seragam putih yang basah itu.

Aku segera pergi ke kamarku untuk mencarikan bajuku yang cocok untuk Andrea, namun tak kutemukan sama sekali baju yang cocok dengan ukurannya mengingat tubuhnya yang kecil itu. Walaupun aku menemukan baju terkecil yang kupunya tapi aku yakin jika baju itu tetap akan kebesaran untuknya. Setelah berganti baju aku segera keluar sambil membawa baju untuknya.

"Nih pakai ini. Aku tidak mau kamu sakit jika memakai baju basah." Kataku sambil menyerahkan bajuku.

"Tidak usah Raf aku bisa memakai bajuku sendiri. Aku tidak mau merepotkanmu." Katanya sambil menyerahkan kembali bajuku.

'Kau tidak tahu apa yang kuhadapi jika kau tidak mengganti baju.' Kataku dalam hati.

"Pakai! Aku tidak mau kau sakit!" Kataku dengan menegaskan setiap katanya.

Dia tidak membalas perkataanku dan pergi menuju kamar tamu untuk mengganti bajunya. Sambil menunggunya mengganti baju, aku membuatkan susu cokelat hangat untuk membantu menghangatkan tubuh kami.

"Raf sepertinya bajunya terlalu kebesaran." Katanya sambil berjalan munuju ke arahku. F*ck! She's so cute when wearing my clothes. Even better than me when wearing that thing.

Aku kembali memalingkan wajahku, jantungku berdegup kencang sekali. Bajuku seperti dress untuknya. Panjangnya sampai menutupi tubunya dan ujung bajunya tepat berada di atas lutunya. Bahkan lengan panjangku sampai menutupi seluruh tangannya. D*mn! She's super max cute!

"Aku tidak mempunyai baju dengan ukuranmu." Kataku sambil berdeham.

"Tidak apa-apa aku menyukai bajumu." Katanya sambil mendekat ke arahku. Dia duduk di bangku yang berhadapan denganku di meja makan, sambil menopang dagu dengan tangannya dan memperhatikanku membuat susu cokelat. Setelah selesai aku ikut duduk di depannya dan memberikan gelasnya.

"Kau tahu. Gelas ini akan menjadi gelas favoritku." Tuturnya sambil memainkan gelas pinguin yang aku punya.

"And thanks for the hot chocolate." Serunya sambil tersenyum manis. Aku kembali tersenyum dan bangkit dari kursiku dan menarik tanggannya untuk ke sofa. Sesampainnya di sofa aku duduk di sebelahnya dan membantunya mengeringkan rambutnya yang basah. Dia sempat mau memprotesku tapi dengan cepat aku mendahuluinya.

"Aku gak mau kamu sakit." Kataku sambil terus mengeringkan rambutnya.

"Thanks Raf but I can do that with my self." Serunya sambil menarik tanganku, namun aku mengabaikannya dan tetap melanjutkan aktifitaskku untuk mengeringkan rambutnya.

Setelah rambutnya kering aku memberhentikan aktifitasku dan menatapnya. Mukanya sedikit memerah dan itu membuatnya sangat lucu. Aku terus memperhatikan dirinya yang sedang menyeruput susu cokelat. Aku jadi teringat dengan buku novel untuk dirinya. Aku berdiri dan itu membuat Andrea menjadi bingung.

"Mau kemana?" Tanyanya.

"Rahasia." Kataku sambil tersenyum jahil. Aku pergi ke kamarku dan mengambil buku novelnya itu.

Saat aku kembali Andrea sedang sibuk dengan buku-buku dan sudah menyiapkan materi mengenai presentasi kita.

Aku menaruh novel Andrea di atas meja dan menarik meja yang ada di depan televisi menuju ke tengah karpet sehingga kami bisa belajar dengan nyaman. Setelah meletakan meja dengan benar, aku membantu Andrea untuk memindahkan buku-buku dan mengambil buku-buku yang kuperlukan serta handphoneku dan meletakannya di atas meja. Aku menyembunyikan novelnya di balik buku-buku Andrea.

"Drea... Aku punya sesuatu untuk kamu." Kataku setelah beberapa menit kita berbagi tugas untuk mencari bahan presentasi. Dia memberhentikan pencariannya dan menengok ke arahku dengan mata berbinar. Dia sepertinya sangat antusias sekali saat aku akan memberikannya sesuatu. God she's so cute today!

"Tutup mata kamu dulu." Perintahku yang langsung dipatuhinya. Aku mengambil novelnya dan menaruh di tangannya.

"Jangan buka mata kamu dulu. Tebak itu apa?" Tantangku. Dia langsung tertawa dan tersenyum lebar.

"Aku tahu dengan pasti ini apa Raf! Ini pasti novelkan? Aku yakin aku tidak salah." Serunya bangga. Aku tersenyum sendiri melihatnya sebahagia itu.

"Iya deh kamu bener. Sekarang kamu boleh buka mata." Seruku. Dia membuka matanya perlahan dan melihat judul dari novelnya dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Oh my ghosss....!! You know, I really want this novel so badly! You are the best Raf!" Katanya sambil terus menerus melihat bukunya dengan senyum yang merekah di wajahnya.

"My pleasure." Jawabku sambil tersenyum. Aku senang karena pilihan novelku benar dan dia sangat-sangat menyukainya.

"Thanks..Thanks...Thank you so much Raf!" Katanya sekali lagi dengan sedikit berteriak diiringi tawanya yang sangat indah itu. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum puas melihatnya. Aku dapat membuatnya sebahagia ini, lucky me.

Kami kembali mengerjakan pekerjaan kami. Aku dapat melihat dirinya masih memegang erat novel dariku sambil mencari materi presentasi. Jantungku bahkan berdetak dengan kencang akibat tingkah sederhananya itu. Aku benar-benar sangat berterima kasih kepadanya karena begitu menghargai pemberian dariku.

"Raf aku ketemu sebuah film yang menceritakan tentang fungsi otak manusia gitu. Judulnya 'Lucy' coba liat deh. Kayaknya ini keren kalau dijadiin bahan presentasi. Biar beda dari yang lain." Sahutnya sambil menunjukan handphonenya kepadaku. Aku menontonnya dan aku menyetujui bahwa ini akan menjadi materi hebat yang sangat unik.

"Kau benar ini akan menjadi materi yang unik." Sahutku sambil tersenyum kepadanya. Dia balik tersenyum puas ke arahku karena idenya diterima olehku. Kita langsung membagi-bagi tugas masing-masing.

Kami sibuk dengan tugas masing-masing untuk merangkum hal apa yang akan kami jelaskan. Hujan diluar semakin lama semakin membesar.

Selama kita mengerjakan Andrea memutar lagu dari playlist di handphonenya. Ternyata dia suka dengan lagu-lagu lembut. Ini benar-benar sesuai dengan cuaca yang sedang hujan dan benar-benar membuatku mengantuk.

Tak lama setelah itu kilat menyambar dan aku dapat melihat Andrea begitu terkejut dengan kilatan cahaya yang terlihat dengan jelas akibat kaca apatermenku. Setelah itu gemuruh berbunyi dengan keras dan Andrea sempat berteriak kaget sambil menutup telinganya dan memeluk tubuhnya. Aku yang melihatnya kaget dan bingung dengan apa yang harus kulakukan.

Volume air hujan semakin bertambah deras dan kilat serta gemuruh semakin banyak bermunculan, membuat Andrea semakin ketakutan. Aku dapat melihat tubuhnya yang bergetar hebat dan dirinya yang mulai menangis. Aku mendekatinya dan memeluknnya dengan kuat. Aku dapat merasakan kemejaku yang basah akibat air matanya. Aku mulai membisik-bisikkan kata-kata yang menenangkan dirinya. Aku benar-benar dapat merasakan ketakutan dari dirinya.

Petir kembari menyambar dan membuat Andrea semakin ketakutan. Getaran tubuhnya benar-benar dapat kurasakan. Aku bingung harus berbuat apa untuk menghilangkan ketakutannya. Aku benar-benar mati kutu sekarang. Aku tidak mau dirinya ketakutan seperti ini, entah mengapa hal ini membuat diriku sangat khawatir dengannya. Tangisannya semakin keras dan tubuhnya semakin bergetar hebat.

Aku mendapat ide agar dirinya tidak dapat mendengar bunyi gemuruh itu lagi. Aku mengambil earphone milikku yang ada di dekat meja dan memakaikannya di telinga Andrea dan mulai menyalakan playlist yang ada di handphoneku. Aku mulai memutar lagu-lagu lembut yang kupunya yang kupikir akan menenangkannya.

Setelah itu aku menggendongnya dan membawanya ke atas sofa. Menaruh tubuh mungilnya dalam dekapanku dan menyenderkan kepalanya di dadaku. Aku memeluknya erat dan mulai mengelus-elus punggungnya. Hanya ini yang bisa kulakukan kepadanya sekarang, menenangkannya dengan kehadiranku dan kehangatan tubuhku.

Setelah beberapa menit dalam posisi seperti ini, aku merasakan dirinya sudah mulai tenang. Tubuhnya yang tadi bergetar hebat mulai kembali normal. Tangisannya mulai mereda dan nafasnya mulai kembali teratur. Semakin lama nafasnya semakin melambat dan teratur seperti orang yang tidur. Aku mengeceknya dengan menyelipkan rambut yang menutupi mukanya di balik telinga. Dan aku dapat melihat dirinya tertidur dalam pelukanku. Aku tersenyum mendapati dirinya tidak lagi ketakutan dan menderita. Aku mengelus-ngelus rambutnya sambil mencium keningnya.

'Don't cry like that ever again... You make me worried.' Bisikku tepat di keningnya dan mencium keningnya sekali lagi dan membawanya kembali ke dekapanku.

Aku membiarkan dirinya dalam dekapanku sampai aku benar-benar yakin bahwa dirinya sudah tertidur pulas. Setelah yakin dirinya tertidur pulas aku menggendongnya ke kamar tamu dan membaringkan dirinya di kasur dan menyelimutinya. Aku berdiam diri di sana sebentar sambil duduk di sebelahnya dan mengelus-ngelus rambutnya. Setelah itu aku keluar dan mencari nomor telpon orang tua Andrea dalam kontak di handphone Andrea. Untung saja handphonenya tidak dipassword. Setelah menemukan nomor telpon mamanya Andrea aku menelponnya lewat handphoneku sendiri.

"Halo dengan siapa?" Tanya mama Andrea.

"Halo, sore tante. Saya Revan." Kataku dengan sopan.

"Revan? Siapa ya?" Tanyanya bingung. Aku baru ingat kalau selama ini Drea memanggilku Rafa.

"Temannya Andrea tante, biasanya Drea suka manggil aku Rafa."

"O iya Rafa. Andrea baik-baik saja kan?" Tanyanya sedikit panik.

"Andrea lagi tidur tante, tadi hujan besar dan dia ketakutan sampai menangis. Sekarang dia tertidur." Tuturku.

"Baguslah. Makasih ya Rafa sudah mau menjaga Drea. Anak itu memang phobia terhadap petir, makannya tante khawatir saat hujan tadi." Katanya dengan lembut dan aku bisa merasakan betapa lega mamanya Andrea mengetahui putrinya baik-baik saja.

"Iya tante. Nanti palingan Andrea dijemput sekarang. Soalnya kasihan dianya." Usulku.

"Hmm.. Kayaknya tidak bisa sekarang, soalnya hujan deras. Gak ada yang bisa jemput. Jadi palingan Drea harus menunggu sampai papanya pulang, soalnya papanya yang bawa mobil." Turtur mama Andrea masih dengan nada lembut namun aku bisa merasakan sedikit nada khawatir di sana.

"O iya tante."

"Tante titip Drea sampai papanya jemput. Maaf kalau ngerepotin, nak Rafa."

"Gak kok tante. Lagian saya seneng ada temen soalnya saya kan tinggal sendiri. Tante tenang aja Drea bakal saya jaga." Seruku yakin.

"Makasih banyak ya." Katanya dan setelah itu aku memutuskan telphonenya.

Aku bernafas lega setelah selesai menelpon mamanya Andrea. Sepertinya mamanya sangat baik dan perhatian dan aku sepertinya akan menyukai mamanya Andrea.

Setelah selesai aku kembali ke kamar tamu dan melihat Drea yang masih nyenyak tertidur. Aku tersenyum melihat dirinya yang tertidur dengan damai. Aku kembali duduk di sebelahnya sambil memperhatikan dirinya yang tertidur dengan nyenyak. Namun kedamaian itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah dan dia mulai mengigau. Sepertinya dia mengalami mimpi buruk sampai-sampai wajahnya dipenuhi keringat.

"Ma.. Pa.." Racaunya dalam tidur disertai dengan air mata.

"Ssshh... I'm here.. You'll be okay." Seruku pelan sambil memeluknya lagi dan mengelus-ngelus punggungnya.

Dia merintih beberapa saat dan akhirnya kembali tenang. Aku menciumi rambutnya dan mengelusnya sambil terus membisikan kata-kata menenangkan.

Aku benar-benar takut jika dia merasakan ketakutan lagi, jadi aku memutuskan untuk tetap berada di sisinya sampai dia bangun. Aku kembali dibuat penasaran apa yang dia mimpikan sampai menangis seperti itu dan mengapa dirinya begitu takut dengan petir.

Kau menambah teka-teki bagi diriku lagi Drea. Aku benar-benar penasaran apa yang terjadi denganmu dan aku tidak akan membiarkanmu terluka, aku berjanji akan hal itu. Aku kembali memperhatikan dirinya yang tertidur sambil mengelap keringat di mukanya. Aku kembali membawanya semakin erat di pelukanku.

Tanpa kusadari aku tertidur dengan Andrea yang berada dalam dekapanku. Aku tersenyum saat menyadari dirinya masih tertidur dengan pulas. Dengan perlahan aku bangun dari tempat tidur dan mengambil handphoneku.

Aku terkejut karena sekarang telah menunjukan pukul setengah delapan malam. Lama sekali aku dan Andrea tertidur. Terdapat notification nomor tidak dikenal yang menelponku berkali-kali.

Tanpa pikir panjang aku langsung menelphone balik dan ternyata dugaanku benar bahwa itu adalah nomor handphone papanya Andrea. Ternyata papanya Andrea sudah menunggu di lobby apatermentku dari pukul tujuh. Aku segera berlari keluar apatermenku menuju lobby.

"Om maaf, tadi saya ketiduran." Jawabku sambil mengatur nafasku karena kelelahan berlari.

"Tidak apa-apa. Andreanya sudah bangun?" Tanya papah Andrea sambil berjalan mendekat kepadaku.

"Belum om, dia masih tertidur pulas sekali." Jawabku dengan sedikit tersenyum mengingat wajah tenangnya saat tertidur.

"Tumben sekali anak itu tertidur pulas sehabis hujan badai. Dia tidak apa-apakan saat hujan itu?" Tanyanya saat kami sedang di dalam lift menuju apatermentku.

"Dia terlihat ketakutan sekali. Saya sampai panik karena bingung harus melakukan apa untuk menenangkannya. Untung saja saya dapat menenangkannya." Kataku sambil tersenyum bangga.

"Terimakasih Rafa, telah menjaga Andrea. Saya khawatir tentang anak itu. Tapi sepertinya saya bisa mempercayakan Andrea kepadamu saat di sekolah." Katanya sambil tersenyum kepadaku.

"Tenang saja om saya pastikan Andrea akan baik-baik saja." Kataku sambil tersenyum membalas perkataannya.

Sepertinya papa Andrea sangat mempercayai diriku dan aku tidak akan pernah mau melepaskan kepercayaan itu. Sesaat sampai di apatermentku aku langsung menyuruh papa Andrea untuk masuk dan duduk di sofa.

"Om saya buatkan minum dulu ya." Tawarku sopan.

"Makasih ya Raf." Serunya saat aku beranjak ke dapur untuk membuat minuman.

"Om mau minum apa?" Tanyaku.

"Kamu punya kopi hitam? Kalau ada om mau." Aku pun tersenyum dan menganggukan kepalaku. Untung saja aku masih mempunyai kopi hitam bekas papah. Setelah selesai membuat kopi untuk papa Andrea dan membuat susu cokelat yang kedua kalinya untukku, aku segera membawanya dan menaruhnya di atas meja yang berantakan akibat buku-buku kami yang berserakan.

"Maaf om berantakan." Kataku sambil membereskan bukuku dan Andrea.

"Gak apa-apa kok, lagian kan kalian habis kerja kelompok. Justru saya malah curiga kalau gak berantakan." Katanya sambil tertawa.

"Hehehe iya om." Jawabku.

"Udah selesaikan kerja kelompoknya?"

"Udah om, tinggal saya rapihkan lagi dan revisi dikit. Bagiannya Andrea udah selesai kok." Jawabku.

"Andrea di sekolah gimana waktu awal-awal?" Tanyanya.

"Dia tertutup banget om, sampai saya sulit untuk menjadikannya teman." Kataku jujur membuat papa Andrea tertawa.

"Hahaha dia memang begitu anaknya. Saya sampai terkejut waktu Andrea langsung cerita tentang kamu di hari pertamanya. Om aja yang papanya harus membujuknnya untuk cerita." Kata papanya Andrea sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu hebat sudah deket sama dia dalam waktu sehari. Saya senang karena kamu mendekatinya seperti itu dan menjadi temannya." Lanjutnya.

"Itu juga penuh perjuangan om. Saya harus menjahilinya setiap hari." Komentarku yang membuat papanya Andrea dan aku tertawa.

Aku jadi mengingat kejahilan-kejahilan yang aku lakukan saat aku pertama kali aku bertemu dengannya. Setelah mengobrol panjang lebar tentang Andrea akhirnya papa Andrea pamit pulang karena sudah terlalu malam. Akibat kejadian ini sepertinya aku semakin dekat dengan keluarganya Andrea, hanya mamanya saja yang belum pernah aku temui.

Setelah Andrea pulang aku langsung membereksan materi presentasi untuk besok. Selagi mengerjakan perutku berbunyi akibat kelaparan, aku baru mengingat bahwa sedari tadi aku dan Andrea belum makan malam. Dia pasti keroncongan saat ini. Aku pun pergi menuju dapur dan memasak mie instan. Seharusnya tadi aku membuatkan makanan untuknya, pasti dia kelaparan sekali saat ini. Aku jadi mengingat-ingat kembali kejadian hari ini. Rasanya hari ini benar-benar lebih dari yang kuharapkan.

Setelah selesai makan dan menyelesaikan materi presentasi aku memutuskan untuk tidur. Bukannya kamarku yang kutuju melainkan kamar tamu tempat Andrea tidur tadi.

Aku duduk di kasur itu dan masih merasakan bekas-bekas kehadirannya di sini. Aku tersenyum mengingat wajah imutnya saat tidur, aku menyesal karena tidak dapat mengabadikannya. Saat aku membaringkan tubuhku di tempatnya tidur aku masih merasakan kehangatan dan aroma dari tubuhnya yang entah mengapa membuatku nyaman dan menghantarkanku ke alam mimpi. Aku benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengannya besok.