Chereads / Awal dari Kenangan / Chapter 11 - Chapter 14~Party

Chapter 11 - Chapter 14~Party

~Rafael~

Setelah aku dan Tio sampai di rumah Alex, kami langsung dimarahi habis-habisan oleh Alex dan Aldo. Ini semua salah Tio yang sangat lama saat menjemputku.

Kami berjanji akan berkumpul pukul tiga sore untuk berbelanja pakaian terlebih dahulu. Aldo yang meminta, katanya pakaian yang biasa kita kenakan tidak sesuai untuk menghadiri acara besar seperti ini. Padahal kupikir semua koleksi pakaianku sudah cukup bagus.

Aku memang tidak terlalu mengerti fashion seperti Alex ataupun Aldo, walaupun Aldo orangnya serius dan seorang kutu buku dia sangat update dalam segala hal.

Kami pun segera berangkat dengan mobil Alex. Alex memang sudah mempunyai mobil selama ini tapi karena dia sangat setia kawan dia tidak pernah memakainya ke sekolah.

Sesampainya di mall langganan kami, kami pun segera memasuki beberapa toko pakaian dan mencoba segala hal.

Aku tidak memerlukan waktu lama untuk mencari pakaian yang sesuai dengan gayaku.

Pilihanku jatuh kepada kemeja putih tidak berlengan dan aku juga memilih jaket hitam kebiruan polos untuk melengkapi gayaku. Setelah mencobanya dan mendapat persetujuan dari Alex dan Aldo aku pun menunggu yang lain untuk keluar.

Alex keluar dengan memakai kemeja putih yang dibalut dengan sweater hitam dan dibalut dengan jas bergaris dengan warna. Aldo memakai kemeja hitam dengan sweater tipis berwarna abu-abu yang diikatkan di lehernya. Sementara Tio memilih memakai sweater turtleneck putih dan juga cardigan cokelat.

Setelah selesai kami langsung kembali menuju rumah Alex. Sambil menunggu para gadis datang kami bermain di kamar Alex. Aku dan Aldo pun memainkan PS milik Alex, sementara Alex dan Tio bermain dengan VR milikku yang disambungkan dengan permainan di komputer Alex. Setelah menunggu cukup lama mereka tidak datang-datang juga. Bahkan aku dan Tio sudah memasuki ronde 5.

"Lex, kau sudah menghubungi mereka?" Tanyaku setelah menuntaskan ronde terakhir.

"Sudah dan katanya kakak-kakak mereka juga ikut." Jawab Alex tanpa melihat ke arahku dan masih berkonsentrasi pada permainan sepak bolanya melawan Aldo.

"Mengapa kakak-kakak mereka juga ikut? Memang mereka juga kau undang?" Tanya Tio.

"Tidak. Kyla yang memintaku untuk mengikut sertakan mereka dan aku tidak mau mengecewakannya." Jawabnya sambil menyelesaikan permainannya dan membereskan PS.

"Kau juga berubah seperti Revan sekarang Lex." Komentar Aldo.

"Bukan aku yang berubah seperti Revan tapi Revan yang mengikutiku." Seru Alex. Aku pun tertawa meremehkan mendengar komentarnya.

"Siapa yang mengikutimu?! Aku tidak pernah mengikutimu." Seruku.

"Kalian bisa diam tidak!" Seru Tio secara tiba-tiba, ternyata dia sedang menelphon seseorang dan kami membuatnya terganggu.

Aku pun menyalahkan Alex dengan berbisik dan begitupun sebaliknya. Akhirnya Tio pun selesai menelphon dan merebahkan diri di kasur kamar Alex.

"Kau berbicara dengan siapa Yo?" Tanya Aldo. Saat ini kami sedang berbaring di kasur Alex, walaupun harus berdesakan dengan ketiga pria lain dengan tubuh besar.

"Drea, dia yang menelphoneku." Jawabnya dan aku langsung bangkit terduduk dari tempat tidur begitu mendengar nama Drea disebutkan.

"Kenapa dia menelphonemu bukannya diriku?" Sahutku kesal.

Setahuku Drea lebih dekat denganku daripada ketiga sahabatku namun kenapa dia menghubungi Tio bukannya aku.

"Woah easy Rev! Pasti dia mempunyai alasan tertentu mengapa menghubungi Tio." Tutur Aldo melihat kemarahanku.

"Kau terlalu mudah cemburu!" Seru Alex. Aku pun mengabaikan komentar Alex dan menyuruh Tio untuk mulai menjelaskan.

"Geez..!! Rev... Aku tidak mungkin menikungmu. Tadi Andrea menelphone kalau mereka akan datang sebentar lagi." Tutur Tio.

"Kenapa bukan Kyla yang menelphone padaku?" Tanya Alex bingung. Tio pun mengedikkan bahu menanggapinya.

"Terus kenapa Drea menelphonemu bukannya diriku?" Tanyaku sambil menahan rasa kesal.

"Sebelumnya aku mau bertanya. Apa Andrea memiliki nomor telephonemu?" Tanya Tio.

Aku pun berpikir sejenak. Selama ini aku menghubunginya melalui line dan seingatku aku memang belum memberikannya nomor telephoneku. Aku pun menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Tio.

"Ya berarti itu salahmu sendiri. Kami bertukar nomor telephone saat pertama kali bertemu." Serunya.

"Kau sudah bertukar nomor telephone sejak pertama kali bertemu? Wow kau cukup agresif juga." Komentar Aldo dan dijawab dengan senyuman menyebalkan dari Tio.

"Saat itu Andrea mau menukar nomornya denganmu?" Tanyaku.

"Tentu saja tidak. Aku melakukannya dengan sedikit kebohongan." Jawab Tio cuek, sementara aku memendam amarahku. Bisa-bisanya dia menipu Drea-ku yang polos.

"Hei! Sepertinya para ladies sudah datang." Seru Alex yang sedang melihat dari balik jendela kamarnya.

Kami bertiga pun langsung mendekati Alex dan melihat ke luar jendela. Sebuah mobil kecil berwarna silver berhenti tepat di depan gerbang rumah Alex. Kami segera bergegas turun dengan berlari secara tergesa-gesa.

Alex pun segera menuju gerbang dan membukakannya. Mobil itu pun terpakir tepat disebelah mobil Alex. Sementara aku dan yang lain menunggu di teras sambil melihat mereka turun satu persatu.

Yang pertama kali turun adalah Kyla dengan seorang wanita yang kutebak adalah kakaknya dan kuakui bahwa kakak Kyla tidak kalah cantiknya dengan Kyla. Kakaknya langsung menemui Alex dan berbincang kepadanya. Sepertinya mereka sudah saling kenal. Kyla pun mengabaikan kakaknya dan Alex dan langsung berjalan kepada kami dengan senyum cantik di wajahnya.

"Maaf kami terlambat. Kami harus membujuk Drea terlebih dahulu karena dia tidak ingin pergi ke pesta." Seru Kyla.

Aku tersenyum mendengar penjelasan Kyla karena aku sudah menduga bahwa Drea tidak mau pergi ke pesta karena sifat anti-sosialnya itu. Aku menebak bahwa mereka membujuknya dengan buku.

"Tenang saja aku sudah menduga hal itu. Kalian membelikannya buku apa sehingga dia akhirnya mau?" Tanyaku dengan senyuman bangga.

"Kau benar-benar mengetahui segala tentangnya. Aku harus ikut patungan untuk membelikan buku yang harganya hampir satu juta. Apalagi itu adalah author favoritku! Sangat disayangkan karena aku harus memberikan hal itu kepadanya." Serunya sambil menunduk sedih.

"Hei Kyl kau bisa meminta Alex untuk membelikannya!" Seru Tio sambil tertawa dan ditanggapi dengan tatapan garang dari Alex.

Aku mengabaikan perbincangan mereka dan menunggu Andrea keluar. Aku sedikit kebingungan karena tidak mendapati Drea dan kakaknya turun dari mobil. Aku tidak dapat melihat dirinya dalam mobil karena sudah malam dan penerangan di sini kurang bagus.

"Kyl! Drea mana?" Tanyaku.

"Dia pasti masih bermanja-manja dengan kak Andrew dan memohon untuk kembali pulang." Seru Kyla.

Dia pun beranjak menuju mobil kembali dan menggedor-gedor kaca mobil. Kaca mobil pun terbuka dan aku dapat melihat Andrea yang begitu cantik dengan rambutnya yang dikepang menyerupai mahkota. Aku pun tersenyum melihatnya. Aku penasaran seperti apa baju yang dia kenakan karena dari sini aku hanya bisa melihat mukanya saja.

Setelah mereka berbicara lama di dalam mobil akhirnya Drea-ku keluar dengan sangat memukau. Dia memakai gaun berwarna putih dengan sedikit hiasan berwarna biru. Aku tidak bisa menahan senyumanku saat melihatnya yang berjalan dengan mukanya yang memerah akibat malu. She's so beautifull...

Aku yakin malam ini aku akan memimpikannya dengan gaun indahnya itu. Dia pun mendekat ke arah kami dan aku pun langsung berdiri di sampingnya dan membisikan bahwa dirinya begitu cantik hari ini. Dia pun tersipu malu dengan muka yang semakin memerah dan dia mengatakan terimakasih tanpa suara kepadaku. D*mn that shynes! Dirinya yang malu-malu seperti itu membuat dirinya semakin cantik.

Kami pun berangkat karena memang sudah terlambat. Para ladies dan kakaknya menaiki mobil kak Andrew sementara kami menaiki mobil Alex. Sejujurnya aku tidak tahu tempatnya di mana dan saat sampai aku sedikit terkejut melihat kantor ayahnya Alex yang begitu besar dan banyak sekali orang di sana. Alex bilang orang-orang di sini tidak sebanyak perayaan tahun lalu, karena kali ini pesta natal diadakan dengan tertutup dan hanya para karyawan ayahnya saja yang diundang.

"Kenapa diadakan tertutup?" Tanya Tio.

"Kau tidak membaca artikel. Tahun lalu terjadi scandal saat perayaan natal dan para media langsung menyerbu kantor ayahku. Oleh karena itu perayaan kali ini diadakan tertutup dari media sehingga jika terjadi hal-hal yang aneh tidak sampai terdengar ke telinga media." Tutur Alex.

"Apa karyawan ayahmu memang sebanyak ini Lex?" Tanyaku.

"Iya. Bahkan bisa dibilang media yang papah bangun masih belum sepenuhnya sukses, dia bilang dia masih mau mengembangkannya sampai seluruh asia. Bayangkan jika dia sudah sukses sesuai dengan kemauannya dia akan mempunyai banyak sekali karyawan. Itu membuatku merinding." Seru Alex sambil pura-pura bergetar ketakutan.

Kami melanjutkan perbincangan sampai mobil terpakir tepat di sebelah mobil kak Andrew. Kami pun turun dan bergabung dengan para ladies dan memasuki tempat perayaan natal.

Aula ini sudah di rombak sedemikian rupa sehingga terlihat sangat keren. Lampu warna-warni menambah kesan keren di tempat ini, di ujung terdapat panggung kecil tempat DJ memainkan lagunya.

Tempat ini benar-benar terlihat seperti sebuah club, walaupun aku belum pernah masuk ke dalamnya. Kami pun langsung berbaur dengan keadaan dan mulai menikmatinya. Aku dan ketiga temanku langsung mengambil minuman dan langsung mengambil tempat di pojok untuk melihat-lihat keadaan. Untung saja di sini tersedia minuman yang tidak mengandung alkohol.

"Pestanya tidak seperti yang kukira." Seru Aldo.

"Memang kau mengharapkan apa dari pesta yang penuh dengan artis seperti ini." Seru Alex.

"Walaupun begitu setidaknya kau tidak menyesal datang ke sini kan?" Tanyaku.

"Tentu saja tidak, setidaknya aku bisa bersenang-senang dengan kalian." Serunya.

"Woah! She's so beautiful!" Seru Tio sambil menunjuk ke arah salah satu gadis yang sedang menari sendirian di sana.

"Oh dia. Dia salah satu trainee yang sebentar lagi akan debut. Usianya tidak jauh beda dengan kita." Tutur Alex.

"Lihat caraku untuk mendapatkannya! Aku pasti dapat mengajaknya untuk kencan minggu ini." Seru Tio dengan percaya dirinya yang tinggi itu.

"Kau kan tidak pernah sekali pun berhasil Yo!" Seruku sambil memberikan tawa meremehkan.

Selama ini yang paling play boy di antara kita adalah Tio. Dia selalu berusaha mengencani seluruh murid wanita di sekolah. Hanya tiga dari sepuluh wanita saja yang berhasil dia ajak kencan.

"Aku doakan semoga kali ini kamu berhasil." Ledek Aldo.

"Aku tidak perlu doamu! Jangan mengejekku! Akan kuperlihatkan kepada kalian kali ini aku akan berhasil." Seru Tio dengan kesal.

"Ya..., palingan dia akan pergi saat kau akan mendekat kepadanya." Seru Alex.

Tanpa mempedulikan ledekan dari Alex, Tio pun langsung pergi meninggalkan kami dan mendekat ke arah gadis tersebut.

"Mari taruhan!" Seru Alex dan langsung diiyakan dengan aku dan Aldo.

"Baiklah kali ini aku akan bertaruh kalau Tio akan sukses." Seruku dengan yakin. Entah mengapa aku mempunyai firasat kali ini dia akan berhasil.

"Kataku dia akan kembali di tolak." Seru Aldo.

"Kalian terlalu percaya kepadanya! Seperti kataku tadi Tio bahkan tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengobrol dengannya!" Seru Alex dengan nada meremehkan.

"Terserah kau saja Lex. Tapi kali ini firasatku mengatakan bahwa Tio akan berhasil." Kataku yakin.

"Mari kita lihat hasilnya nanti. Taruhannya seperti biasa." Seru Aldo. Kami pun mengamati setiap gerak-gerik Tio dengan seksama.

"Lex bukannya itu Kyla!" Seruku sambil menunjuk ke arah seorang gadis bersama seorang pria.

"Geez! Gadis itu harus selalu aku awasi." Seru Alex.

"Memang kenapa Lex. Dia belum menjadi pacarmu jadi dia berhak bersama pria lain kan." Seru Aldo.

"Sejujurnya aku memang cemburu dengannya. Tapi selain itu pria yang sedang bersamanya adalah seorang player yang pasti akan melukai dirinya. Tentu saja aku tidak mau orang yang kusayangi tersakiti." Tutur Alex sambil beranjak pergi.

"Merepotkan sekali! Aku harus selalu menjaganya." Gerutunya saat pergi menuju Kyla. Aku tahu bukan itu maksud sebenarnya, dia sangat menyayangi Kyla.

"Tinggal tersisa kita." Seruku.

"Kau tidak bersama gadismu?" Tanya Aldo.

"Pasti dia sedang bersama dengan kakaknya. Lagian kalau aku bersama dengannya sekarang aku pasti tidak dapat menahan diriku melihat dirinya dengan gaun itu." Kataku jujur.

"Sepertinya tidak. Di sana kak Andrew sedang bersama dengan kak Evelyn. Sepertinya kak Andrew sedang mencoba mendekati kak Evelyn." Seru Aldo sambil menunjuk ke arah kak Andrew yang sedang menari dengan kak Evelyn.

Panik langsung segera menyerangku. Kalau kak Andrew tidak bersama Andrea lalu kemana Drea?

"I'm sorry bro... but I have to go." Seruku sambil bergegas berlari menuju ke arah kak Andrew.

Aku harus berjalan dengan berdesak-desakkan dengan orang-orang yang sedang menari dengan gilanya. Musik di ruangan ini menjadi sangat keras sekali saat aku menuju bagian tengah. Untung saja selama di pojok tadi musiknya tidak sekeras di sini jadi kami tidak perlu berbicara dengan berteriak walaupun kami masih harus menaikan suara kami.

"Hei Raf!" Teriak kak Andrew saat aku sampai di depannya.

"Kak Andrew apa kakak melihat Andrea?" Teriakku kepadanya. Sayangnya suaraku tidak terdengar dengan jelas. Kenapa juga kak Andrew harus memilih posisi di depan panggung. Tanpa pikir panjang aku segera mendekatinya dan mengulangi pertanyaanku di telinga kak Andrew.

"Tadi Andrea bilang ingin menyendiri untuk sementara. Aku tidak tahu dia ada di mana." Teriak kak Andrew kepadaku. Untung saja aku masih dapat mendengar perkataanya walaupun tidak terlalu jelas.

"Terimakasih kak!" Seruku dan langsung berjalan keluar dari ke gaduhan ini.

Aku benar-benar tidak mengenal daerah ini sama sekali, jadi aku benar-benar tidak tahu kemana aku harus pergi. Tapi saat kupikir Drea juga tidak mengetahui tempat ini sama sepertiku. Jadi kira-kira kemana dia akan pergi? Aku berjalan di lorong-lorong sambil mengecek-ngecek ruangan-ruangan yang ada. Lalu aku berpikir tempat yang paling tenang saat ini adalah roof top. Pasti setiap bangunan memilikinya. Aku segera menuju lift dan menekan lantai paling atas.

Sesampainya di sana aku melihat sebuah taman terbuka dan segera menuju ke sana. Benar saja, aku melihat tubuh mungil itu sedang berdiri di pagar pembatas sambil melihat pemandangan yang ada. Aku harus mengakui bahwa tempat kerja ayahnya Alex keren sekali karena memiliki taman di lantai atasnya.

Tanpa berpikir panjang aku segera mendekatinya dari belakang, sayangnya dia tidak menyadari keberadaanku. Satu lagi kebiasaannya yang aku ketahui. Dia akan terjebak dalam dunianya sendiri jika sudah terlalu asyik dengan apa yang dia pikirkan dan tidak akan peduli pada sekelilingnya. Sepertinya dirinya benar-benar menikmati pemandangan dari sini.

Aku terus memandanginya tanpa dia sadari. Lama kelamaan aku menyadari bahwa Drea kedinginan. Tentu saja dengan bahu yang terbuka seperti itu udara dingin di malam hari akan dapat mengenainya dengan mudah, apalagi dirinya sedang berada di lantai atas.

Aku pun membuka jaketku dan memakaikannya kepadanya untuk menutupi bahunya yang cantik itu. Dia sedikit terpekik dan memundurkan tubuhnya kebelakang akibat kaget dengan kebaradaanku yang tiba-tiba. Tubuh kecilnya itu bertabrakan dengan tubuhku yang berdiri tidak jauh di belakangnya.

"Sepertinya kau terlihat kedinginan nona." Kataku menggodanya.

"Ya ampun Raf! Kau mengagetkanku." Serunya dengan suaranya yang indah itu. Aku tertawa pelan melihat mukanya yang sedikit pucat akibat ketakutan karena aksiku.

"Sebaiknya kau masuk. Kau terlihat sangat kedinginan."

"Dan kembali ketempat ramai dengan musiknya yang dapat memecahkan gendang telingaku. Tidak terimakasih. Aku lebih baik di sini dan menikmati pemandangan indah ini." Serunya.

"Apa yang kau lihat dari sini? Kau tidak takut ketinggian?" Tanyaku.

"Takut! Yang benar saja. Aku tidak takut yang ada aku sangat menyukainya." Katanya sambil tersenyum dan mengalihkan pandangannya dariku dan melihat pemandangan lagi.

"Aku bisa melihat segala sesuatu dari atas sini dan orang-orang di bawah sana tidak akan menyadari bahwa aku sedang mengawasi mereka. Selain itu lampu-lampu yang menyala saat malam sangat indah." Lanjutnya sambil kembali tersenyum. Aku mengetahui satu hal lagi dari dirinya, dia sangat menyukai pemandangan dari atas.

"Sepertinya kau sangat menyukai ketinggian." Seruku.

"Tentu saja." Jawabnya sambil tersenyum.

Dengan posisi seperti ini aku ingin sekali memeluknya dari belakang namun kuurungkan niatku karena hal itu akan membuatnya terasa aneh. Yang bisa kulakukan saat ini adalah memandangnya sambil tersenyum.

"Kau tidak kedinginan?" Tanya Drea begitu menyadari kemeja tanpa lengan yang kupakai.

"Tidak malah aku merasa sedikit kepanasan." Kataku dengan jujur. Memang cuaca di malam hari ini cukup dingin namun saat ini aku kepanasan karena berada dekat dengannya.

"Beneran? Dari tadi aku merasa kedinginan." Serunya tidak percaya dengan kata-kataku.

"Tentu saja." Jawabku berkeras kepala.

Dia tidak menjawab perkataanku dan tiba-tiba menarikku menuju salah satu bangku dan mendudukanku di sana. Dia melepas jaketku dan memakaikannya kembali padaku.

"Hei! Nanti kau kedinginan!" Protesku.

"Tapi itu kan jaketmu. Walaupun aku benci kedinginan tapi ini resiko karena aku yang memilih berada di sini." Katanya sambil tersenyum.

"Aku terbiasa dengan musim dingin Drea. Udara seperti ini tidak akan berpengaruh apapun padaku." Tuturku sambil memakaikan jaketku kembali kepadanya.

"Aku lupa kalau kau sudah terbiasa dengan musim dingin." Serunya sambil tertawa malu. Dia lucu sekali.

"Kau tidak terbiasa dengan udara dingin?" Tanyaku.

"Aku membencinya. Sebenarnya tidak, hanya saja saat aku kedinginan kakiku akan terasa sakit dan aku tidak bisa menahan hawa dingin dengan baik." Serunya. Satu hal lagi yang ku tahu tentang dirinya. Aku menjawabnya dengan sebuah gumaman karena aku tidak tahu lagi harus berkata apa.

Karena tidak tahu lagi harus berkata apa aku mulai melihat ke atas dan menikmati langit cerah dan di penuhi dengan bintang-bintang. Kami pun menikmati bintang dengan kesunyian yang menenangkan ini. Biasanya kalau aku tidak tahu harus berbicara apa lagi aku akan memilih diam dan akan terjadi sebuah awkward silence namun entah mengapa jika bersama Drea bahkan saat sunyi seperti ini menenangkan bagiku.

"Raf.." Katanya memecah kesunyian dan aku hanya menjawabnya dengan gumaman lagi.

"Aku boleh bertanya?" Tanyanya.

"Kau sudah bertanya." Godaku.

"Aku serius. Aku mau bertanya sesuatu yang terdengar aneh." Serunya kesal sambil mempoutkan bibirnya. Dia sangat-sangat lucu saat seperti ini. Aku pun tertawa melihat reaksinya yang begitu lucu.

"Hahaha... Aku hanya bercanda. Tentu saja kau boleh bertanya sesuka hatimu." Seruku.

"Apa kau pernah bertemu denganku sebelum ini?" Tanyanya membuatku bingung.

"Setahuku tidak pernah. Tapi entah mengapa saat aku pertama kali bertemu denganmu aku merasa seperti sudah mengenalmu sejak lama." Kataku jujur. Sebenarnya aku juga merasa aneh saat bersama dia. Seperti terasa dejavu saat aku tertawa bersamanya. Aku juga penasaran mengapa aku merasa seperti itu.

"Aku senang kau berkata seperti itu." Sahutnya sambil tersenyum dan memandangku dengan intens, membuat jantungku berdetak lebih kencang akibat pandangannya itu.

"Mengapa kau bertanya seperti itu?" Tanyaku penasaran setelah sadar dari lamunan kecilku tentangnya.

"Tidak apa hanya ingin bertanya saja." Jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke arah bintang-bintang.

Entah mengapa aku merasa bahwa dirinya seperti menghindari tatapan mataku. Seperti ada yang disembunyikannya. Tapi aku mengurungkan niatku untuk bertanya karena aku takut akan membuatnya pergi menjauh dariku. Sebenarnya apa yang kau sembunyikan Drea? Tanyaku dalam hati.

"Maukah kau bermain ask 20 questions?" Tanyaku saat aku memiliki ide ini. Dengan memainkan ini setidaknya aku mengetahui tentang dirinya.

"Permainan seperti apa itu?" Tanyanya.

"Permainan yang simple. Aku akan bertanya dan kau menjawab dan kita akan saling bergantian sampai 20 kali. Ini permainan yang cukup populer di Aussie" Tuturku menjelaskan.

"Sepertinya menarik. Baiklah aku ikut." Serunya bersemangat.

"Aku akan memulainya duluan." Seruku sambil memikirkan pertanyaan pertama apa yang harus aku tanyakan.

"Apa kau mempunyai orang yang kau suka?" Tanyaku.

"Tentu saja ada. Kalian semuakan orang yang ku suka." Jawabnya dengan polosnya. Aku pun tertawa mendengar jawabannya.

"Bukan seperti itu. Yang kumaksud adalah orang yang kau sukai dalam hal romantis."

"Oh.. Maaf.. Sepertinya tidak ada." Jawabnya lagi sambil tertawa malu. Aku pun menghela nafas mendengar jawabannya. Syukurlah kalau dia tidak mempunyai orang yang dia sukai.

"Sekarang giliranmu." Seruku, dia pun tersenyum lebar dan mulai berpikir. Dia benar-benar sangat lucu. Dia menggerak-gerakkan telunjuknya kedekat mulutnya sambil memandang ke arah bintang dan berpikir.

"Makanan favoritmu apa?" Tanyanya. Aku pun tertawa, setelah berpikir lama dia hanya bertanya seperti itu.

"Kau berpikir lama hanya untuk bertanya seperti itu?" Kataku sambil tertawa.

"Menyebalkan! Tidak perlu berkomentar dan jawab saja pertanyaanku." Serunya marah.

"Baiklah. Maafkan aku. Aku tidak bisa menahannya karena kau begitu lucu. Aku menyukai semua makanan tapi yang paling aku suka adalah kentang goreng." Seruku.

"Aku juga menyukainya. Giliranmu."

"Hal yang kau benci?"

"Banyak hal yang kubenci. Aku membenci petir, serangga, terutama serangga yang dapat terbang. Kecoa yang terburuk." Serunya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa bersamanya.

"Sekarang giliranku. Apa kau pernah tinggal di sini sebelum ini?" Tanyanya.

"Tidak. Tapi setiap liburan musim panas waktu aku kecil, aku selalu kemari karena nenekku berada di sini. Namun karena nenek sudah meninggal aku tidak pernah kemari. Dan saat aku kelas dua SMP mamah dan aku pindah ke sini." Tuturku.

Aku sedikit sakit saat mengingat memori itu. Drea sepertinya menyadari perubahan ekspresiku dan memegang tanganku. Aku pun segera menutupi muka sedihku dan menggantinya dengan ekspresi senangku.

"Baiklah sekarang giliranku!" Seruku senang.

"Kenapa kau bisa menjadi anti sosial?" Tanyaku secara serius. Aku tau aku mulai menyentuh lukanya, namun aku benar-benar ingin mengetahui segalanya tentang dirinya. Aku melihat ke arahnya dan dapat kupastikan bahwa dirinya gugup karena dia meremas gaunnya.

"I..Itu.. Itu karena aku tidak terlalu pandai dalam bergaul dan semua orang tidak menyukaiku." Katanya dengan suara yang sangat pelan.

Aku tahu kalau dia belum mengatakan semuanya kepadaku masih ada yang disembunyikannya. Aku dapat melihat dari matanya yang selalu menghindari kontak mata dariku. Namun aku juga tidak dapat memaksanya, aku takut dia ketakutan terhadapku dan akhirnya pergi meninggalkanku.

"Baiklah maaf.. Aku salah bertanya lagi." Seruku sambil menutup perbincangan serius ini. Untung saja sepertinya dia mempercayai kata-kataku dan segera memasang kembali senyum manisnya itu.

"Tidak apa, salahku yang terlalu sensitif." Katanya sambil tersenyum manis.

"Baiklah sekarang giliranku." Katanya dengan ceria lagi.

"Apa yang kau pikirkan mengenai Alex dan Kyla?" Tanyanya. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.

"Kalau maksudmu mengenai hubungan mereka. Mereka sangat cocok. Hanya saja mereka terlalu keras kepala dan tidak mau mengakui perasaan mereka masing-masing. Alex begitu bodoh, kalau aku jadi dirinya aku pasti akan langsung menyatakan perasaanku dari dulu." Seruku sambil mengingat curhatan-curhatan dari Alex tentang Kyla.

"Aku berpikir hal yang sama. Kyla bercerita padaku bahwa dirinya juga menyukai Alex dari SMP. Kau mau membantuku untuk menyatukan mereka?" Tanyanya. Dia pasti sudah mempunyai rencana untuk hal itu.

"Tentu saja! Aku tidak mau teman bodohku itu menyia-nyiakan Kyla dan akan menyesalinya." Seruku senang.

"Bagus! Kau bisa mempengaruhi Alex kan?" Tanyanya lagi.

"Tentu saja, aku sahabatnya dia pasti akan mendengarkanku." Seruku percaya diri, Alex harus mendengarkan aku kali ini!

"Bagus aku hanya perlu membuat Kyla cantik dan membuat suasana romantis nanti." Serunya sambil tersenyum lebar. Dia sangat-sangat bersemangat untuk menyatukan mereka.

"Memang sebenarnya rencana apa yang kau punya?" Tanyaku penasaran.

"Rencananya, kita akan ketaman hiburan saat tahun baru. Nanti selama natalan ini kita harus meyakinkan mereka dengan perasaan mereka. Setelah itu kita berpura-pura untuk bermain di taman hiburan, nanti aku akan mencoba menciptakan suasana romantis dan kita akan meninggalkan mereka berdua. Semoga saja rencana aku berhasil." Serunya semangat. Aku tertawa melihatnya bersemangat seperti itu.

"Sejak kapan kau merencanakan ini?" Tanyaku penasaran karena rencananya kedengaran masuk akal dan sangat bagus.

"Baru saja." Serunya sambil tersenyum polos.

"Pantas saja rencananya masih kurang matang." Kataku jujur dan dia langsung mepoutkan bibirnya kecewa dengan omonganku.

"Tapi idemu bagus juga." Lanjutku sebelum dirinya sempat memprotes. Dia langsung tersenyum bangga atas dirinya sendiri setelah mendengar komentarku.

"Benarkan ideku bagus." Serunya senang. Telphoneku berbunyi dan ternyata Alex yang menelphon.

"Speak of the devil. Orangnya menelphone." Kataku sambil menunjukan handphoneku yang menampilkan nomor Alex yang menelphon. Drea pun tertawa melihatnya dan aku langsung mengangkatnya.

"Ada apa Lex?" Tanyaku.

"Kau ada di mana? Sebentar lagi kita akan pulang." Serunya, aku bisa mendengar dirinya masih ada di ruang pesta karena aku dapat mendengar musik yang sangat keras.

"Aku ada di rooftop. Kenapa kita pulang cepat sekali?" Tanyaku.

"Apa kau sadar jam berapa sekarang! Kita harus pulang. Turun ke baseman sekarang, aku dan yang lain dalam perjalanan ke sana." Serunya dengan berteriak dan langsung memutus hubungan secara sepihak. Aku melihat jam dan ternyata sekarang memang sudah malam.

"Drea mari turun. Sekarang sudah pukul setengah sembilan. Kita harus pulang." Seruku sambil bangkit dari tempat dudukku dan menawarkan tanganku untuk membantunya berdiri.

"Wah sudah semalam itu. Aku tidak menyadarinya." Katanya sambil mengambil tawaranku dan berdiri.

"Sepertinya kau menikmati pestanya sampai tidak menyadari waktu." Godaku.

"Aku tidak menikmati pestanya. Aku hanya tidak menyadari waktu saja." Serunya sambil mempoutkan bibirnya. Dia sangat lucu.

"Benarkah? Akui saja kau menyukainya." Seruku sambil tertawa.

"Tidak!" Serunya sambil berjalan pergi meninggalkanku sendiri. Aku segera mengejarnya sambil tertawa.

"Seharusnya kau tidak perlu berkeras kepala untuk tidak menghadiri pesta dari awal." Kataku saat kami sudah berada di dalam lift.

"Aku tidak." Katanya dengan pelan sambil membuang mukanya. Aku pun tertawa sambil mengacak-ngacak rambutnya.

"Kau ini lucu sekali." Kataku.