~Andrea~
Setelah dua hari tidak masuk sekolah karena sakit, hari ini aku bermaksud untuk mengunjungi Rafa. Kemarin para lelaki baru saja mengunjunginya tanpa mengajakku maupun Kyla. Mereka bilang itu adalah privasi para lelaki.
Jadi hari ini aku memutuskan untuk mengunjunginya. Sayangnya Kyla tidak dapat ikut karena hari ini kakaknya pulang dari Paris sehingga dia bersama kedua orang tuanya pergi untuk menjemput kakaknya di bandara.
Hari ini juga, menjadi hari pertama ujian akhir semester. Tak terasa sebentar lagi natal. Karena hari ini kami sedang ujian, jam pulang kami lebih cepat dan aku bisa sesegera mungkin bertemu Rafa.
Setelah selesai mengerjakan ujian Bahasa Indonesia dan Agama, aku langsung bergegas membereskan buku dan keluar menuju halte bis.
"Drea! Hari ini kamu akan menjenguk Revan kan?" Tanya Tio saat aku membereskan buku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan dan kembali membereskan perlengkapan ujianku.
"Jangan lupa untuk memasakkan sesuatu untuknya. Pasti dia belum makan." Seru Aldo yang sekarang berdiri di depan mejaku.
"Baiklah." Seruku.
"Kau mampirlah ke supermarket dulu. Bahan makanan di rumah Revan tidak sehat sama sekali." Seru Alex memberitahu.
"Iya-iya." Balasku.
"Kau yakin tidak apa-apa pergi sendiri?" Tanya Alex.
"Aku yakin. Kalau kalian mau ikut juga tidak apa-apa." Ajakku.
"Boleh-boleh. Sekalian aku mau memakan masakan Andrea." Seru Tio senang mengakibatkan dirinya mendapat pandangan mengerikan dari Aldo.
"Tidak-tidak! Kita tidak boleh datang. Jika kita datang, yang ada Revan tidak akan bisa beristirahat." Kata Aldo sambil menatap kedua temannya dengan tatapan garang.
"Kau benar. Apalagi jika burung beo ini ikut." Seru Alex sambil memukul Tio.
"Apa kau bilang burung beo?!" Serunya marah dan membuat mereka kembali beradu mulut dan bertengkar. Aku dan Aldo hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan mereka.
"Lebih baik kau berangkat sekarang." Seru Aldo sambil mendorong tubuhku keluar kelas.
"Baiklah. Dadah!" Seruku sambil beranjak pergi.
"Dah! Jaga Revan baik-baik!" Seru Aldo yang dibalas dengan acungan jempol dariku.
Setelah keluar dari sekolah, aku langsung beranjak menuju halte bis dan seperti biasa aku mengambil tempat duduk di paling belakang, dekat dengan kaca. Aku turun di depan halte yang dekat dengan supermarket, sehingga sepulang dari berbelanja, aku harus berjalan kaki menuju apatermen Rafa. Untung saja hari ini langit sangat cerah dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan.
Sesampainya di supermarket aku langsung mengambil keranjang belanjaan dan mulai menyusuri rak-rak supermarket.
Rencananya, aku akan membuat bubur dan juga sayur bayam bening. Untuk minuman aku tidak tahu minuman apa yang harus kubuatkan untuk orang sakit, jadi aku akan membeli susu saja untuknya.
Setelah mendapatkan bahan makanan untuk Rafa dan juga beberapa cemilan untukku, aku segera membawanya ke kasir dan pergi menuju apatermen Rafa.
Perjalanan yang kutempuh cukup jauh, untung saja aku membawa topi sehingga aku tidak terlalu terkena sengatan matahari. Setelah sampai, aku langsung disapa oleh petugas security yang sepertinya sudah mengenal diriku sebagi temannya Rafa. Aku langsung menuju lift dan menuju lantai enam.
Sesampainya di sana aku langsung menekan bel karena aku tidak mengetahui passcode apatermennya. Aku menunggu lama sekali, sepertinya dia sedang tidur atau entah sedang apa.
Setelah lama menunggu, akhirnya dia muncul juga. Dia mengenakan selimut yang dibungkus keseluruh tubuhnya dan aku dapat melihat mukanya yang pucat dan dipenuhi dengan keringat. Hidungnya juga memerah, sepertinya dia juga terkena flu.
"Hai Drea...Hachi! Ada apa kau kemari?" Tanyanya dengan lemah dan suara yang parau. Aku langsung memegang dahinya dan benar saja dahinya panas sekali.
"Tentu saja untuk merawatmu." Kataku sambil mendorongnya masuk. Aku langsung menuntunnya untuk menuju kamar, namun dia memprotes.
"Aku baik-baik saja. Dan aku sangat bosan berada terus di kamar." Serunya sambil sedikit merengek. Dia benar-benar terlihat seperti bayi besar.
"Baiklah. Kau bisa tidur di sofa. Apa kau sudah makan?" Tanyaku sambil menidurkannya lagi di sofa.
Saat dirinya sudah berbaring di sofa, aku hendak pergi menuju dapur namun terhenti saat dia menarik tanganku, mendudukanku di sofa dan dia meletakan kepalanya di pangkuanku. Aku sempat kaget dengan tingkah lakunya namun aku tidak bisa menahan senyum kecil akibat tingkah lakunya yang bermanja-manja seperti itu kepadaku. Dia sangat lucu saat sakit seperti ini.
"Hei!" Protesku.
"Biarkan aku seperti ini. Ini sangat nyaman." Katanya sambil menggerak-gerakkan kepalanya dalam pangkuanku. Rambutnya menggelitikku saat kepalanya bergerak-gerak namun aku menyukainya.
"Baiklah! Tapi kali ini saja aku biarkan karena kau sakit." Kataku yang dia jawab dengan 'hmmmm' sambil menutup matanya.
Dia benar-benar sangat lucu. Aku langsung memainkan rambutnya yang kusut akibat dirinya yang belum mandi.
"Apa kau sudah makan?" Tanyaku. Dia pun menggelengkan kepalanya dan tetap menutup matanya.
"Perutku mual. Aku tidak berselera untuk memakan apapun." Serunya sambil menggenggam tangan kananku dan memeluknya seperti guling. Aku kembali memainkan rambutnya dengan tangan kiriku.
"Kau harus makan. Aku akan memasakkan bubur untukmu." Seruku sambil mencoba menyingkirkan kepalanya dari pangkuanku.
"Nanti saja. Aku masih nyaman dengan posisi ini. Lagian aku belum lapar." Serunya. Aku pun tertawa karena omongannya.
"Mana ada orang sakit yang lapar. Kalau kau lapar namanya orang sehat. Jadi aku harus membuatkan makanan untukmu dan memaksamu makan! Kalau tidak kau akan sakit terus!" Seruku menceramahinya.
"Biarkan aku seperti ini sebentar saja. Setelah itu baru kamu boleh memasak." Serunya sambil mengelus-ngelus tangan kananku.
"Hmmm... Baiklah. Lima menit lagi ya.... Kalau tidak kau tidak akan makan-makan!" Seruku sambil kembali memainkan rambutnya. Dia sepertinya sangat menyukai saat aku memainkan rambutnya.
"Aku senang kau datang hari ini." Serunya pelan membuatku tersenyum.
"Yourwellcome." Seruku.
"Hei aku tidak bilang terimakasih. Aku hanya bilang aku senang." Serunya memprotes. Walau dia sedang sakit begini dia masih saja suka menggodaku.
"Ya whatever. But still your wellcome." Seruku sambil tertawa. Dia pun membuka matanya dan memandang wajahku sambil tersenyum.
"Kau cantik saat sedang tertawa." Godanya lagi dan aku hanya memutar bola mataku.
"Sudah lima menit. Sebaiknya aku mulai memasak." Seruku.
Dia pun memasang muka kecewanya namun tetap membiarkanku pergi ke dapur. Saat aku berdiri dia juga berdiri untuk mengganti posisinya sehingga dia bisa melihatku yang sedang memasak.
Aku mengambil barang belanjaanku dan mengeluarkannya satu persatu. Aku mulai mengerjakan buburku. Setelah mencuci beras aku langsung memasukannya ke dalam panci dan mencampurkan bumbu-bumbu yang aku ketahui dan juga kaldu ayam dan air.
Sambil menunggu, aku mulai menyiapkan bahan-bahan sayur bayam beningku. Aku mulai memotong-motong bayam dan mulai menyiapkan bahan lainnya. Setelah selesai memasak, aku langsung membawa bubur dan juga sup jagungnya ke atas meja dan menarik mejanya mendekat ke arah sofa.
"Tada! Sekarang kamu harus makan! Cicipi dulu." Kataku sambil duduk di karpet berhadapan dengan Rafa yang duduk di sofa. Dia langsung mengambil sendok dan mulai menyondakkan bubur ke dalam mulutnya.
"Enak tidak?" Tanyaku khawatir dengan rasanya. Dia langsung memasang muka tidak enak dan aku mengetahui jika makananku tidak enak.
"Tidak enak ya? Sorry." Kataku menyesal. Dia pun tertawa melihatku yang kecewa.
"Enak kok. Aku hanya bercanda." Serunya. Aku pun memanyunkan bibirku sambil menarik mangkoknya.
"Kok diambil?" Tanyanya.
"Kan katanya tidak enak." Seruku sambil memakan buburnya.
"Kan sudah kubilang aku bercanda. Jangan memakan buburku!" Serunya sambil menarik kembali mangkoknya. Aku pun tertawa kecil melihatnya. Untung saja dia mau memakannya.
"Jangan bercanda seperti itu. Kau harusnya mengakui saja bahwa masakkanku enak." Seruku, dia pun hanya tersenyum dan kembali memakan bubur buatanku.
Aku pun memperhatikannya yang sedang makan. Dia memberhentikan makannya padahal dia belum menghabiskan setengahnya.
"Kenapa tidak makan lagi?" Tanyaku.
"Perutku mual. Jika di teruskan aku bisa muntah." Serunya sambil kembali berbaring.
"Tapi kau belum makan apa-apa sejak tadi. Kalau tidak ada energi kau akan terus sakit." Seruku sambil bangkit dan duduk di sebelahnya.
"Tapi perutku mual." Rengeknya.
"Baiklah. Akan aku suapi." Seruku sambil mengangkat sendok menuju mulutnya. Dia pun membuka mulutnya dan memakan setiap sendok yang kuberikan.
"Kau benar-benar seperti bayi besar!" Seruku sambil tertawa.
"Kau tidak bisa memprotesnya karena aku sedang sakit."
"Iya-iya, bayi besar." Dia tidak membalas godaanku dan terus memakan setiap suapan yang aku berikan. Setelah selesai aku membereskan bekas mangkoknya. Dia tidak memakan sup buatanku sehingga aku terpaksa memakannya.
"Kau mau minum apa?" Tanyaku.
"Buatkan aku teh hangat saja, tapi jangan terlalu manis."
"Mau aku tambahkan susu kedalamnya? Tadi aku membeli susu untukmu." Tawarku.
"Aku tidak bisa meminum susu, hal itu aku membuatku semakin mual." Bodohnya aku! Tentu saja orang sakit tidak bisa meminum susu karena mual.
"Baiklah." Kataku dan langsung membuatkan teh hangat untuknya.
Saat aku kembali dia sedang tertidur, padahal aku meninggalkannya tidak terlalu lama. Aku menaruh teh hangat di meja sambil memperhatikannya yang sedang tertidur. Aku mengecek suhu tubuhnya dan dia masih sangat panas dan berkeringat. Aku memutuskan membasuhnya dengan air dan menggantikan bajunya yang basah karena keringat.
Aku pergi ke kamar Rafa untuk mengambil bajunya dan handuk kering, tidak lupa sebaskom air hangat. Setelah menyiapkan semuanya aku menaruhnya di atas meja dan mulai membuka selimut yang dipakai Rafa untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Aku mulai mengelap wajah dan juga tangannya. Dia sama sekali tidak terbangun dengan apa yang aku lakukan. Aku membangunkan dan menyuruh dia mengganti bajunya. Dia terbangun dengan keadaan setengah sadar, sehingga aku harus membantunya mengganti bajunya. Dia bahkan meracau bahwa aku adalah ibunya. Benar-benar seorang bayi besar!
Setelah selesai mengganti bajunya, aku kembali membaringkan dan menutupinya dengan selimut. Hanya saja aku tidak menutup seluruh tubuhnya karena tubuhnya sudah sangat panas. Handuk yang sudah aku basahi aku taruh di kening Rafa berharap agar demamnya turun.
Setelah kurasa yang kulakukan cukup untuk Rafa, aku kembali menuju dapur dan mengambil cemilan yang tadi aku beli. Aku memberitahu kakak untuk menjemputku setelah kuliahnya selesai. Itu berarti aku masih mempunyai waktu lebih dari empat jam untuk membantu Rafa.
Sambil menunggunya terbangun aku memakan cemilan favouritku sambil memainkan handphoneku. Bosan dengan apa yang kulakukan, aku beranjak dari dapur menuju ruang keluarga.
Aku duduk di hadapan Rafa yang masih tertidur. Dia tertidur nyenyak sekali dan mukanya saat tidur sangatlah lucu. Aku tidak tahan untuk mengerjainya. Aku memfotonya secara diam-diam dan mengeditnya. Ini benar-benar foto terbaik yang pernah kupunya. Selesai mengerjainya aku kembali dilanda kebosanan.
Aku menuju kamar Rafa untuk mencari sesuatu yang menarik. Saat sampai kamarnya aku langsung menutup pintu kamar dan duduk di kursi meja belajarnya. Aku melihat-lihat kembali fotonya, aku mengambil kembali foto Rafa saat bersama neneknya dan mengelus Rafa kecil itu. Dia benar-benar sangat lucu waktu masih kecil.
Puas dengan yang kulihat, aku mulai mengobrak-abrik laci-laci mejanya dan menemukan album foto. Aku mulai membukanya dan tersenyum kecil saat melihat-lihat foto-foto Rafa waktu masih kecil. Dia benar-benar terlihat seperti orang bule waktu masih kecil.
Foto pertama menunjukkan dirinya yang sedang berbaring tengkurap dan telanjang. Kira-kira mungkin umurnya sekitar satu bulanan. Foto-foto selanjutnya memperlihatkan dirinya dan masa pertumbuhannya. Dia benar-benar bayi yang menawan.
Aku sempat melihat keluarga kecilnya yang bahagia, dimana sang ayah yang telah merangkul ibunya yang menggendong Rafa kecil. Pantas saja Rafa mempunyai tubuh yang besar dan juga kulit yang putih, itu karena ayahnya adalah orang Eropa.
Aku kembali melanjutkan foto-fotonya dan menemukan beberapa foto saat dirinya masih SMP dan tinggal di Australia. Setelah melihat beberapa foto, aku sedikit bingung saat melihat foto terakhir. Aku rasa foto terakhir diambil baru-baru ini karena Rafa terlihat sama persis seperti Rafa yang sekarang. Yang membingungkannya adalah, ini merupakan foto keluarga, hanya saja ayahnya berbeda. Sepertinya Rafa memiliki dua ayah. Entah apa yag terjadi, mungkin saja ibunya menikah lagi. Aku memutuskan untuk menutup album itu dan tidak mau memikirkannya lebih lanjut.
Aku bangkit dari kursi dan berjalan di sekeliling kamar Rafa. Walaupun aku mencoba untuk tidak memikirkan foto-foto itu, aku tetap saja memikirkannya. Apa benar yang aku pikirkan? Mungkin saja ayah Rafa meninggal dan dirinya memiliki ayah baru. Apa rasanya ya? Haruskah aku bertanya kepada Rafa? Tapi sebaiknya jangan. Itu adalah titik sensitifnya dan aku tidak mau bertanya kepadanya karena dia menghargaiku dan tidak menyentuh titik sensitifku. Sampai saat ini dia belum bertanya kepadaku lebih jauh mengenai kecelakaanku. Dia tahu bahwa aku akan terluka bila dia bertanya mengenai hal itu.
Aku membaringkan diriku di atas kasur Rafa dengan posisi terlentang. Aku menghela nafas panjang dan kembali mengingat rahasia yang aku sembunyikan dari sahabat-sahabatku.
Meski baru bertemu dalam waktu empat bulan ini, aku merasa kita seperti sudah berteman dalam waktu bertahun-tahun. Aku tidak pernah sedekat ini dengan orang sebelumnya bahkan saat bersama Rafa waktu kecil aku tidak sedekat ini dengannya. Aku beruntung karena aku mau mencoba terbuka kepada mereka.
Entah apa yang terjadi saat aku mengungkapkan tentang diriku. Tapi aku tidak peduli lagi, setidaknya kalau mereka meninggalkanku aku masih mempunyai kenangan bersama mereka. Jadi, akan kuputuskan bahwa aku akan memberi tahu mereka setidaknya setahun lagi, atau mungkin lebih. Aku ingin membangun lebih banyak memori bersama mereka terlebih dahulu.
Setelah merenung cukup lama aku keluar dari kamar Rafa dan pergi untuk mengeceknya. Ternyata dia masih saja tidur. Aku memutuskan untuk meminum sesuatu yang dingin untukku, karena cuacanya yang cukup panas. Setelah selesai membuat susu dingin aku pergi ke dinding kaca raksasa untuk melihat pemandangan. Benar-benar keren! Saat sudah besar nanti aku ingin mempunyai rumah dengan kaca sebagai dindingnya, sehingga aku dapat melihat pemandangan luar dan aku berharap aku mempunyai taman seperti taman Kyla. Taman belakangnya sangatlah keren.
Cahaya matahari menerpa kaca jendela dengan sangat terik. Aku menutup setengah tirai agar Rafa tidak terlalu kepanasan. Aku kembali memandang pemandangan kota yang sangat padat dan jalan raya yang dipenuhi dengan berbagai macam kendaraan. Setelah memperhatikan cukup lama aku menyadari pergerakan dari Rafa dan langsung menoleh ke arahnya dan menangkap dirinya yang sedang bangkit dari sofa dan berjalan ke arahku.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku.
"Tadinya aku mau mengejutkanmu. Tapi sepertinya usahaku gagal." Serunya yang semkain mendekat ke arahku.
"Orang sakit sebaiknya beristirahat." Seruku.
"Aku baru saja bangun dari tidur dan aku lelah beristirahat terus." Keluhnya.
"Dimana-mana orang sakit ya beristirahat. Kalau terlalu capek nanti kamu tidak sembuh-sembuh." Seruku.
"Tapi sekarang aku merasa lebih baikkan." Katanya. Dia memang terlihat lebih baik dari awal aku bertemu dengannya. Aku memegang keningnya dan benar saja panasnya sudah turun.
"Yap, panasmu sudah tutun. Tapi tetap saja kau harus beristirahat." Kataku sambil kembali menyesap susu dinginku yang sangat nikmat ini.
"Sepertinya itu sangat enak. Boleh kuminta?" Tanyanya dengan penuh harap dan mata memelas.
"Tidak! Kau masih tidak boleh minum sesuatu yang dingin. Daya tahan tubuhmu masih lemah karena sakit. Dan seingatku kau masih flu." Aku pun menyesap habis seluruh susuku hingga tidak tersisa sedikit pun.
"Yah, kau curang!" Katanya saat merebut gelas kosongku. Aku hanya tertawa melihatnya.
"Bagaimana dengan ujianmu? Kapan kau akan masuk?" Tanyaku.
"Aku harus mengambil ujian susulan. Besok aku akan masuk dan pulang sekolah aku akan mengambil ujian susulan untuk agama. Jadi aku akan pulang terlambat." Serunya sambil kembali duduk di sofa diikuti olehku.
"Kau yakin, tidak apa-apa untuk pergi ke sekolah besok?" Tanyaku khawatir.
"Tidak apa-apa. Lagiankan aku sudah sembuh berkat kau yang merawatku." Serunya sambil memelukku.
"Ih apaan! Lepas!" Seruku sambil melepaskan diriku dari pelukkannya. Dia pun hanya tertawa melihatku. Aktifitas tertawa kami terganggu akibat perut Rafa yang berbunyi.
"Hahaha. Sepertinya kau benar-benar sudah sembuh. Nafsu makanmu kembali." Seruku sambil tertawa.
"Kan sudah kubilang aku sudah sembuh."
"Baiklah akan kuambilkan sup bayam buatanku yang belum kau makan tadi." Kataku sambil berdiri menuju dapur. Dia pun mengikutiku dari belakang dan duduk di kursi meja makan, sementara aku memanaskan sup bayam yang aku buat tadi.
"Ngomong-ngomong sejak kapan aku memakai baju ini?" Tanyanya saat menyadari bajunya berbeda dengan baju yang ia kenakan tadi.
"Tadi aku mengganti bajumu. Kau tidak ingat? Padahal tadi kau sadar saat aku memakaikannya. Kau benar-benar seperti bayi besar!" Seruku sambil duduk di kursi meja makan yang berhadapan dengannya.
"Kau tidak melakukan hal yang aneh-anehkan pada tubuhku?" Tanyanya curiga.
"Hahaha! Tidaklah! Ngapain aku mengerjaimu saat kau sakit." Seruku, walaupun aku sempat mengambil dan mengedit fotonya saat sedang tertidur.
"Aku mencium sesuatu yang tidak beres di sini." Serunya sambil menyunggingkan sudut mulutnya.
"Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa?!" Aku bangkit dari kursiku dan memeriksa sayur bayam yang sedang ku hangatkan.
"Benarkah?" Tanyanya lagi.
"Terserah kalau kau tidak percaya! Lakukan sesukamu!" Seruku kesal.
"Iya-iya. Aku hanya bercanda." Serunya sambil tertawa saat melihatku yang berhasil dibuat kesal olehnya. Aku hanya mendengus kesal dan menuangkan sayur bayam ke dalam mangkuk. Aku menyerahkan mangkuk dengan sedikit kasar kepadanya dan kembali duduk di hadapannya.
"Thank you!" Serunya sambil mulai menyendokkan supnya ke mulutnya. Aku pun mulai memakan sup milikku sendiri.
"Mmmm... This is so yummy." Serunya yang membuatku tidak dapat menahan senyumku.
"Benarkah? Kali ini kau tidak bohongkan?" Tanyaku dengan pura-pura terdengar kesal.
"Tentu saja! Kenapa aku harus berpura-pura." Katanya sambil menghabiskan sayur bayamnya dengan cepat.
"Wah, sepertinya nafsu makanmu benar-benar telah kembali." Seruku yang melihatnya makan dengan cepat.
"Aku terlalu lapar karena selama ini aku hanya makan sedikit. Apalagi sup bayam yang enak ini. Benar-benar sempurna." Serunya sambil memintaku mengisi kembali supnya. Aku bangkit untuk mengambil sup keduanya. Dia langsung memakannya dan hampir menghabiskan sup keduanya sementara diriku baru menyelesaikan sup pertamaku.
"Makan pelan-pelan. Nanti kau bisa tersedak atau perutmu akan sakit nanti." Seruku setelah selesai memakan supku dan memperhatikan Rafa yang sedang makan dengan lahapnya.
"Tidak akan!" Serunya sambil terus menghabiskan supnya. Aku hanya tersenyum melihatnya yang benar-benar sudah sembuh dan menjadi Rafa yang menyebalkan kembali. Aku akan merindukan bayi besar itu.
"Ahh.. Kenyang.." Serunya sambil menepuk perutnya yang tidak buncit itu.
"Tentu saja kau sudah menghabiskan tiga mangkok sayur bayam!" Seruku.
"Kau tidak bisa memprotesku! Selama aku sakit bisa dibilang aku tidak makan sama sekali."
"Sepertinya aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi."
"Kau mengkhawatirkanku?" Tanyanya sambil tersenyum puas.
"Tentu saja! Kaukan temanku." Jawabku jujur. Dia tersenyum kecil mendengar jawabanku.
Kami pun berbicara terus menerus mengenai teman-teman dan juga ujian. Tak terasa waktu berjalan cepat, padahal sedari tadi kami hanya mengobrol dan bercanda. Handphoneku berbunyi menandakan bahwa aku sudah dijemput oleh kakak. Kali ini Rafa mengantarku keluar dari apatermennya.
"Thanks for today!" Serunya saat kami akan berpisah. Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku. Sebelum pergi aku memastikan suhu tubuhnya lagi.
"Kau sudah benar-benar sembuh." Seruku sambil menurunkan tanganku dari keningnya.
"Aku sembuh dengan cepat berkat dirimu." Katanya dengan tulus.
"Baiklah. Dadah! Tetap istirahat dan makan yang benar ya." Seruku sambil menaiki motor kakak.
Aku melambaikan tangan kepadanya, saat motor kakak sudah mulai melaju. Selama kami mengucapkan salam perpisahan kakak tidak berkomentar sama sekali, tapi aku yakin bahwa nanti di rumah kakak akan menggodaiku habis-habisan.
Aku bersyukur setidaknya kehadiranku dapat membantu Rafa. Aku bisa membalas kebaikannya hari ini. Semoga saja dia tidak sakit lagi dan baik-baik saja. Aku merindukan kejahilannya saat di sekolah. Sepertinya aku sangat-sangat menyayangi kelima sahabat-sahabatku ini. Aku tidak ingin berpisah selamanya dari mereka.