Entah selama berapa lama, suara tangan dan kaki yang meronta terdengar di malam yang sunyi.
Sintia mendongak. Di bawah cahaya bulan, alis pria itu sudah berkerut rapat. Terlihat jelas bahwa dia bahkan tidak bisa mengendalikan iblis yang ada dalam tubuhnya. Dia nyaris kehabisan tenaga, mencoba melepaskan diri dari belenggu tubuhnya.
"Bagaimana kalau aku bukakan?" Tanya Sintia.
"Tidak perlu." Tolak Julian mentah-mentah.
"Tapi aku lihat kamu sangat tidak nyaman…."
Sintia berkata sambil memindahkan selimut di tubuh pria itu ke samping. Tiba-tiba dia melihat pergelangan tangan Julian sudah terluka karena usaha pria itu. Dilihat dari tanda merahnya, Julian pasti sudah berjuang diam-diam tanpa suara.
"Jangan ditahan, mana kuncinya? Aku akan membukakannya untukmu, kalau tidak, pergelangan tanganmu akan terluka. Semuanya sudah memar sekarang."
Julian mengatupkan giginya dengan gemetar. Ia berusaha keras untuk menahan diri agar tidak berusaha melepaskan diri lagi, "Aku bilang tidak perlu ya tidak perlu!"
"Kenapa kamu keras kepala sekali sih? Jika tanganmu terluka dan media tahu, media yang tak bermoral itu mungkin akan memberitakannya besok. Bisa-bisa mereka bilang aku yang melakukan kekerasan kepadamu,." Ucap Sintia membual.
Entah apa karena ucapannya yang sangat lucu, otot-otot pipi Julian yang tegang kini berkedut.
Melihatnya yang sedang mencari-cari keberadaan kunci, Julian mengerutkan kening. Dia tidak bisa memahami putri duyung yang merepotkan ini. Dulu, dia sangat menyebalkan dan membencinya. Bahkan jika Julian mati di hutan belantara, dia mungkin tidak akan merasa kasihan padanya. Dan sekarang, dia bertingkah seolah dia peduli padanya. Untuk siapa dia melakukan ini?
"Ketemu, ini kan?"
Sintia menemukan empat kunci logam yang dirangkai di laci meja kopi di sebelah sofa.
Julian meliriknya, tatapannya menggelap, "Bukan."
"Sepertinya sih iya."
Sintia memegang kunci tersebut dan berjongkok di depannya. Setelah berusaha mencoba satu per satu kunci, akhirnya dia berhasil membuka kunci di sekitar kaki kirinya.
"Sintia Yazid!"
Tatapan Julian yang dalam jatuh ke kepala gadis itu, ia melipat bibirnya yang pucat dengan erat, "Aku sarankan lebih baik kamu tidak memprovokasiku, apalagi membuka kunci di tubuhku. Jika tidak, kamu akan menyesal."
Sintia berpikir, "Aku tidak takut, aku punya obat penyesalan!"
Karena itulah, dia tidak ragu untuk membuka kuncinya.
'Sialan, wanita ini!'
Alih-alih berterima kasih karena telah dibebaskan, pria itu justru ingin sekali mencekik Sintia.
Tapi, Julian justru tiba-tiba bangkit, mendorongnya menjauh, lalu berjalan keluar. Julian tidak bisa lagi berada di ruangan yang sama dengan Sintia. Julian tidak lupa seberapa takut dan bencinya wanita itu padanya.
Sintia yang khawatir pun mengejarnya seraya bertanya, "Hei, kamu mau ke mana?"
Julian mengerang, "Jangan ikuti aku lagi!"
'Jika dia tidak mau pergi, maka aku yang pergi!' Batin Julian.
"Apa kamu pikir aku ingin menjagamu? Ini semua karena kamu adalah pria yang kupilih. Karena kamu adalah pria yang kupilih, aku tidak bisa membiarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melihat ada yang salah. Siapa yang tahu jika Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil akan datang untuk kunjungan rumah besok? "
Julian seperti binatang buas yang menghindari banjir. Dia langsung turun dari lantai tiga ke lantai pertama, hendak meninggalkan mansion.
Begitu sampai di ruang tamu, tubuh tingginya mendadak terhuyung-huyung. Sintia pun secepat kilat mendekat dan memapah pria dingin itu sekuat tenaga ke sofa ruang tamu, lalu membantunya duduk.
Dia menekan bahu lebar Julian menggunakan kedua tangannya, tidak membiarkan pria itu bangkit.
"Jauhi aku, kalau tidak…."
Julian menahan amarahnya. Sebelum dia selesai bicara, tangannya yang menjadi kaku setelah dirantai kini sudah ditarik Sintia masuk dalam pelukannya seperti bantal …