Sintia tidak menyadari tatapan merendahkan para pelayan itu padanya.
Setelah melewati hari yang melelahkan, dia hanya ingin mandi, keramas, kemudian tidur nyenyak. Dia harus bangun pagi dan pergi bekerja besok.
Setelah keluar kamar mandi, Sintia turun dengan membawa gelas, dia ingin minum segelas air sebelum tidur.
Begitu dia sampai di bawah, dia langsung mendengar suara benturan dari ruang makan.
Dia berjalan masuk dengan penasaran, lalu melihat Julian yang sedang berjongkok di samping meja dengan pecahan cangkir di bawah kakinya dan air panas yang berceceran.
Alih-alih membersihkan pecahan kaca di lantai, dia justru berjongkok dengan ekspresi yang tampak kesakitan di sana.
"Julian, kamu baik-baik saja?"
Di bawah cahaya lampu, wajah tampan pria itu bahkan lebih pucat daripada kertas, alisnya berkerut, seolah-olah dia sangat menderita. Apakah dia sakit?
Sintia membungkuk dan berusaha untuk membantunya berdiri, "Ayo bangun, aku akan membantumu duduk di sofa ruang tamu. Mana yang sakit? Apa kamu ingin aku panggilkan dokter?"
Tapi sebelum tangannya berhasil menyentuh lengan pria itu, Julian menarik tangannya, mengangkat mata merahnya lalu berkata dengan nada sedingin es, "Siapa yang menyuruhmu ke sini?"
"Eh?" Tidak hanya tidak tahu terima kasih, Julian juga dengan kejam mendorongnya menjauh. Pria itu kemudian berdiri dengan sempoyongan dan hendak naik ke atas.
"Pergi!"
Sintia khawatir, jadi dia mengikutinya dari belakang.
Begitu sampai di ruang tamu, Julian tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke arah pintu, "Keluar, belok kiri sejauh 500 meter. Ada vila di sana. Pergi temui kepala pelayan dan minta dia untuk menyiapkan tempat istirahat untukmu malam ini."
"Kenapa?" Sintia bingung.
"Aku tidak ingin melihatmu!"
Sintia, "..."
'Dari cara bicaranya seolah aku ingin melihatnya saja!'
Melihat Sintia yang hanya diam, Julian merendahkan suaranya dengan aura intimidasi yang kuat, "Jangan membuatku mengulanginya lagi!"
Sintia bertanya, "Apa kamu marah padaku karena cuitanku di Twitter siang tadi? Aku akui aku sudah merusak reputasimu berulang kali, tapi aku juga tidak punya pilihan. Kalau tidak, netizen akan salah paham dan berpikir kamu telah melecehkanku, itu akan mempengaruhi dukungan untuk kakakmu di hati masyarakat. Siapa yang tahu kamu akan menyalahkan niat baikku ini… hei, hei, hei, kenapa, kenapa aku diusir…."
Sebelum Sintia selesai bicara, lengannya sudah dicengkram erat oleh pria itu.
Julian meraih lengannya, menariknya keluar dengan langkah lebar. Kemudian membuka pintu, berbalik lalu membanting pintu itu.
Sintia, "..."
'Apakah aku baru saja diusir?'
'Aku benar-benar ingin pergi, tapi aku kepikiran dengan wajahnya yang pucat….'
'Sepertinya dia sakit dan sangat kesakitan. Jika aku pergi dengan marah saat ini, siapa coba yang akan disalahkan kalau terjadi sesuatu padanya?'
"Hei, buka pintunya!"
"Bang bang bang!"
"Aku akan menendang pintunya jika kamu tidak membukanya ya?"
"Aku benar-benar akan menendangnya loh?"
Sintia berdiri di depan pintu sambil berteriak untuk waktu yang lama, namun tidak ada yang membuka pintu. Akhirnya dia menemukan jendela yang terbuka dan naik dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Julian, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bilang aku harus tinggal di sini selama satu tahun, kamu tidak berhak mengusirku. Jika kamu mengunciku di luar pintu lagi, aku akan menelpon Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mengajukan pengadu…"
Belum juga selesai bicara, Julian datang dan hendak meraihnya dengan ekspresi gelap.
Alarm bawah sadar Sintia seketika berbunyi, ia lari dengan cepat sambil menatap wajah pucat pria itu dengan waspada dari seberang sofa, "Jangan pernah berpikir untuk mengusirku, aku tidak akan pergi! Apa kamu yakin baik-baik saja? Aku pikir wajahmu terlihat pucat, haruskah aku memanggil dokter untukmu?"
Julian mengepalkan tangannya dengan erat, urat-urat di lehernya sudah menonjol. Dia menatap wanita yang tengah bersembunyi di balik sofa itu. Dia tidak punya energi untuk menghadapinya, akhirnya dia menunjuk pintu lalu berteriak, "Aku menyuruhmu keluar! Cepat, segera, SEKARANG JUGA!"