Tangan Hans menggenggam tanganku, terlihat matanya masih terpejam. Sepertinya ia sedang mengigau (berbicara ketika tertidur) aku berusaha untuk tetap tenang. Hans sedang berada di dalam alam bawah sadarnya, dan aku tidak mungkin menanyakan hal itu.
"Hans, akupun tidak ingin meninggalkanmu saat ini," gerutuku hatiku menatap wajahnya.
Seandainya ia mengatakan hal ini ketika matanya terbuka, aku sangat bahagia, setidaknya ia bisa jujur kepada dirinya sendiri. Bahwa, ia masih menginginkan aku untuk berada di dekatnya.
"Jangan! Jangan berekspetasi berlebihan!" ucapku untuk diriku sendiri.
Aku segera melepaskan genggaman tangan Hans di pergelangan tanganku. Aku pergi meninggalkan dirinya di kamar itu. Aku keluar dan tidak sengaja melihat Bi Uti sedang membuat masakan di dapur. Aku terkejut pada sebuah capsul pengantar tidur di dekatnya.
"Bi? Ini?" tanyaku seraya mengangkat dan menunjukkan capsul itu.
Dengan wajah panic, Bi Uti menjawab, "Maaf nyonya, maaf. Saya sengaja mencampurkan capsul itu ke minuman Tuan, sekali lagi saya minta maaf nyonya,"
Aku yakin Bi Uti tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa adanya alasan, benar saja. Ketika aku bertanya mengapa ia mencampurkan capsul itu, ia hanya tidka ingin bjika Hnas melakukan hal-hal yang akan menyakitiku, ia sengaja melakukan hal ini hanya untuk melindungiku.
Aku terharu, dari sekian banyaknya manusia yang aku temui, hanya dia yang bisa megerti apa yang aku rasakan saat ini. Tidak ada hubungan darah, tapi ia sangat mengerti. Bagaimana aku bisa marah kepadanya? Iya sudah berniat baik ingin menolongku.
Aku memeluk Bi Uti dan berkata, "Terima kasih ya Bi,"
Bi Uti menyambut pelukanku dengan hangat, ia membalas pelukanku lagi. Aku kembali merasakan hangatnya pelukan seorang ibu ketika itu. Walaupun, tidak sehangat pelukan bunda ketika aku merengek karena kehujanan di pinggir jalan.
***
Sudah menunjukkan pukul 18.00, aku menoleh ke jam dinding yang berada di sudut ruangan. Memandang ke pintu kamar yang ditempati oleh Hans, seperti tidak ada pergerakan. Sepertinya Hans belum bangun juga.
"Dimana Tuan?" suara itu mengagetkan diriku.
Deyna datang untuk menjemput Hans pulang. Sementara Hans masih tertidur pulas di dalam kamar. Deyna masuk dan melihat diriku, dengan tatapan mata menusuk seraya mendorong diriku ke sofa, ia bertanya layaknya seorang mafia kepadaku.
"Dimana suamiku?" tanyanya.
"Dia tertidur di dalam kamar," jawabku.
Mendengar hal itu, Deyna murka. Ia segera membangunkan Hans. Anehnya, ia bisa bersikap sangat lembut ketika bersama dengan Hans, berebda ketika bertemu denganku. Aku kira sosok Deyna adalah sosok perempuan arogan yang akan bersikap kasar pada semua orang, tapi tidak kepada Hans.
Berarti bukan Deyna yang membuat Hans tertekan. Tidak mungkin dengan suara lemah lembut Deyna, Hans akan merasa tertekan. Saat itu, aku hanya dapat mendengarkan pembicaraan mereka dari luar saja.
Jika ditanya, apakah aku sakit hati mendengar pembicaraan romantic mereka yang saling bujuk membujuk, tentu saja iya. Aku merasa seperti orang asing dan untuk apa ada di dalam kehidupan mereka saat ini? Aku dan Hans sudah lama berpisah, tapi kenapa hatiku masih saja menginginkan diirnya.
Seperti sesak dan sulut untuk berkata, itu yang aku rasakan setiap melihat Hans bersama dengan Deyna. Kisah masa lalu yang aku kira sudah usai, kini menyambung kembali dengan cerita yang berbeda tetapi tetap dengan orang yang sama.
Tanpa aku sadari, air mataku jatuh membasahi pipi, mengingat kekejaman yang sudah dunia berikan kepadaku. Aku disini menahan setiap rasa sakit yang ia berikan, sementara ia bersama dengan istri sahnya sedang bermanja-manjaan. Ya Tuhan, apakah akan ada cinta untukku? Atau memang seperti ini takdir yang engkau tetapkan untukku?
Tidak ada yang tahu.
"Sayang? Ayok kita pulang," ajak Deyna kepada Hans.
Mereka lewat di depanku begitu saja. Deyna dan Hans berjalan seraya berpegangan tangan. Aku hanya melihat tangan mereka yang saling bergandengan berjalan melewati diriku. Aku tidak ingin, rasa ini memenjara diriku untuk terus menangisi laki-laki yang sudah beristri dan tidak akan pernah menjadi milikku.
Terdengar suara mobil Hans yang sudah meninggalkan villa ini.
Aku berlari menuju belakang villa. Aku menangis sejadi-jadinya. Munafik ketika terbesit dalam pikiranku dunia ini tidak adil bagiku. Aku mempertanyakan semuanya, tentang keluargaku yang sudah lama tiada, kisah asmaraku yang tidak pernah beruntung dan hidup yang baru saja aku jalani sebagai tempat penitipan benih laki-laki yang masih aku cintai tapi sudah menjadi milik orang lain.
Tidak ada satu orangpun yang tahu, seperti apa rasa sakit yang aku rasakan saat itu. Menangispun hanya sedang buang-buang tenaga. Ketika diriku masih harus dituntut kuat oleh keadaan.
Hari ini berlalu begitu saja, dengan tangisan, rasa sakit dan tidak penerimaan. Lagi, lagi dan lagi aku merasakan sebuah tamparan hebat yang mendarat di hatiku. Penyadaran bahwa aku hanya seorang perempuan yang dijadikan alat membayar hutang keluarga.
Kamar villa ini adalah saksi ada berapa banyak surat yang sudah aku tulis selama aku bertahan di dalam villa ini. Aku tidak bisa mengatakan semua kisah hidupku kepada manusia yang ada di dekatku. Sulit bagiku untuk mempercayai mereka, keculi Bi Uti. Aku memilih untuk menulis beberapa surat yang aku tidak aku tujukan untuk siapapun.
Tentang rasa skait dan penyesalan. Tentang ketidakadilan dan ketidakberdayaan, aku menuliskan semua itu pada lemabaran surat ini. Bahkan tidak jarang juga, tangisku ikut menetes di surat-surat itu. Menjadi saksi tentang hidupku yang tidak pernah beruntung berada di bawah tekanan semua orang yang beruang.
"Nyonya, makan malam," panggil Bi Uti ke dalam kamarku.
Bi Uti adalah satu-satunya orang yang selalu mengingatkan agar aku tepat waktu untuk makan dan berisirahat. Dia sangat menjaga pola makanku. Aku sering bercerita kepadanya tentang kemalanganku. Tapi, tidak semua, aku sadar, dia adalah orang yang bekerja untuk Hans. Jika suatu hari nanti, Hans memaksanya untuk mengatakan semua, maka akan terungkap semua yang aku ceritakan kepada Bi Uti.
Aku memilih diam untuk beberapa hal mengenai diriku dan Hans kepada Bi Uti. Tapi, tidak menyurutkan rasa kagumku kepadanya. Aku bukan anaknya, tapi ia sudah seprti ibuku sendiri.
Malam ini, sangat sunyi, hanya ada aku, angin, dan bintang serta bulan di langit itu. Aku menatap ada banyak sekali bintang di langit itu. Aku mencari bintang dengan cahaya yang paling bersinar. Kata orang, semua orang yang sudah tidak ada akan menjadi bintang ketika malam hari. Aku tidak tahu, ini mitos atau sungguhan. Terlepas dari semua itu, aku hanya berusaha untuk menghibur diriku sendiri.
Berbicara sendiri kepada bintang-bintang itu. Menceritakan semua yang sudah aku lalui beberapa hari ini. Gila, ya katakan saja demikian. Aku tidak tahu harus menjabarkan diriku seperti apa.
"Nyonya," panggil Bi Uti malam-malam.
Ada apa? Suara Bi Uti seperti sangat ketakutan. Tanpa berpikir panjang lagi, aku turun dan menemui Bi Uti di bawah. Siapa sangka hal ini terjadi.