Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.
Hans membawaku ke sebuat hotel megah di sekitar usat kota yang ramai. Ada banyak gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, kendaraan berlalulalang dengan sangat leluasa. Aku hanya menatapanya dari ketinggian kamar hotel. Di kamar hotel itu, hanya ada aku dan Hans. Dia menjadi lebih pendiam dan tenang.
"Baik, saya akan segera ke tempat tujuan," ucap Hans pada seseorang dalam panggilan.
Aku hanya menjadi pendengar, tidak bertanya apapaun tentang kegiatan yang akaan kami lakukan di kota ini. Jika sebelum berangkat ia mengatakan ingin menghabiskan waktu berdua bersama denganku, mungkin itu hanya tipu muslihatnya saja, ia sebenarnya hanya berniat agar aku dapat menemaninya melakukan perjalanan ini.
Aku merapikan semua barang-barang bawaan kami ke dalam lemari yang telah disediakan, seraya membayangkan seandainya saja di kamar hotel ini aku dan Hans adalah seorang suami sitri yang sah, aku sangat bahagia sekali bisa menghabiskan waktu bersama dengannya. Tapi, tidak. Aku bukan istrinya.
Melihat Hans yang bergegas keluar dari kamar hotel dengan pakaian kantornya, aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang terasa sangat nyaman sekali untuk punggungku setelah melakukan perjalanan sangat jauh.
"Dreett dreett dreett," suara ponselku bergetar.
Rupanya ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal, aku bingung apakah aku harus menerima atau menolak panggilan tersebut. Ketika aku menolak dan membiarkan panggilan itu tidak terjawab, aku takut ada hal penting yang disampaikan untukku. Aku memutuskan untuk menerima panggilan itu.
Aku mendengar suara serak-serak basah seseorang dari panggilan itu sedang berbicara dengan orang lain, aku hanya menunggu orang dalam panggilan itu untuk mengucapkan "hallo" saja.
Ternyata itu adalah panggilan dari seorang kepala devisi desain di salah satu tempat aku melamar pekerjaan. Dari sekian banyaknya perusahaan yang aku kirimkan CV, hanya perusahaan ini yang memberiku panggilan, dan menyuruhku untuk datang ke perusahaan mereka untuk melakukan interview secara langsung.
Aku sangat pesimis dalam melamar pekerjaan, aku hanyalah seoarang perempuan berusia 25 tahun yang minim ilmu pendidikan, tapi aku merasa bahwa diriku memiliki bakat di bidang desain. Hal ini diperkuat dengan adanya lomba desain grafis tingkat nasional. Dan aku adalah pemenangnya, aku melampirkan salah satu prestasiku dalam CV itu.
"Nona Kiara bisa datang lusa ke perusahaan kami untuk melakukan interview secara langsung kepada pimpinan HRD," jelas laki-laki di balik panggilan itu.
Aku sangat bahagia, setidaknya aku bisa mendapatkan sedikit kesempatan untuk bekerja dan memenuhi kebutuhanku sedniri. Aku tahu, fasilitas dan kebutuhanku saat ini ditanggung oleh Hans dan Deyna, tapi hanya sampai aku melahirakan anak untuk metreka. Setelah itu, mereka pasti akan membuang diriku begitu saja, karena apa yang mereka inginkan dariku sudah mereka dapatkan.
Malam ini, aku bisa terditur dengan nyenyak, jauh dari Hans, tidak tahu ia pergi kemana dan menemui siapa karena kepentingan apa, aku tidak memperdulikan hal itu. Selama ia tidak menggangguku, aku bisa tertidur nyenyak dengan beberapa anganku untuk bisa bekerja di perusahaan yang sudah memberiku kesempatan itu.
"Aku tidak mengizinkan kamu untuk mengambil pekerjaan itu,' ucap Hans dengan suara tegas membangunkan lamunanku yang saat itu tengah meminta izin kepadanya untuk pergi interview.
"Tapi aku butuh pekerjaan itu, lagi pula setelah anak yang kamu dan Deyna inginkan, kalian tidak akan memenuhi kebutuhan hidupku lagi," ucapku menolak keputusan Hans.
Mendengar perkataanku itu, Hans sangat murka. Hans tidak suka jika ada yang menentang keputusannya. Terbilang egois memang, itu sifat buruknya sejak dulu, tapi ia tidak pernah memperlakukan aku kasar seperti saat ini, sewaktu kami menjalin hubungan dulu.
Hans memukul tembok dan membiarkan aku merasa ketakutan berada di dalam ruangan itu. Setelah melakukan perdebatan panjang dan tidak menemukan titik terang, aku duduk di atas sofa, sementara Hans masih kekeh tidak mau memberi izin kepadaku untukberangkat interview.
Tanpa mendengar perkataan Hans lagi, aku melangkahkan kakiku dan pergi keluar, niatku hendak berangkat menuju perusahaan itu. Tapi, Hans malah menghentikan diriku. Dia menarik tanganku dan mendorong tubuhku hingga terjatuh ke lantai.
"Aduh," ucapku terkejut setelah merasakan sakitnya tubuhku yang terjatuh ke lantai.
Aku merasakan sakit dibagian belakang, betapa terkejutnya diriku ketika melihat ada darah yang membasahi bagian paha sampai betisku. Pendarahan terjadi padaku saat itu. Hans juga melihat darah itu, ia menjadi sangat panic.
"Kiara? Darah itu?" ucap Hans ikut terkejut.
"Hans, sepertinya aku pendarahan," ucapku merasa takut.
Hans takut akan terjadi sesuatu pada janinku. Saat itu ia memperlihatkan simpatiknya kepadaku, ia menggendong diriku dan membawaku ke rumah sakit terdekat.
"Cepat bawa dia," ucap Hans berteriak menyuruh perawat agar segera menanganiku.
Hans ikut sampai di depan ruang ICU. Terlihat ada kekhawatiran dari wajah Hans. Beberapa kali ia memegang tanganku yang saat itu sedang menggenggam erat perutku. Beberapa kali juga Hans meminta maaf atas perlakukan dan sikapnya kepadaku hari ini. Ada banyak rasa bersalah dari dalam diri Hans terhadap apa yang sudah ia lakukan.
"Dok, tolong selamatkan anak dan ibunya, kalau sampai terjadi sesuatu kepada keduanya, maka saya tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri," ucap Hans mmeohon kepada dokter yang menangani diriku.
Air mata sedang berlinang di dalam matanya, mata Hans menggambarkan bahwa dia masih mengharapkan aku dan janin dalam perutku ini selamat. Aku sangat bahagian ketika tanpa sengaja mendengar hal itu terucap dari mulut Hans. Entah ia mengatakannya hanya karena aku yang sedang mengandung anaknya bersama dengan Deyna atau tidak, yang jelas aku bahagian mendengar hal itu.
Rasa sakit akibat pendarahan ini terus mengancam ketenangan hati, pikiran dan fisikku. Satu-satunya hal yang snagat aku takuti saat ini adalah kehilangan anak yang ada di dalam perutku. Sekalipun, setelah kelahirannya aku akan jauh dari dirinya dan juga Hans, aku sangat takut nyawa calon anak ini tidak terselamatkan.
Dalam ruangan yang disoroti oleh lampu operasi dan beberapa orang yang berkumpul di hadapanku, aku hanya dapat mendengar pembicaraan mereka yang saat ini sedang berusaha untuk membantu menyelamatkan diriku dan juga janinku. Dengan penuh harapan, calon anak Hans dan Deyna ini bisa terselamatkan.
Di luar ruang ICU terdapat beberapa orang, disana ada Hans dan juga Deyna serta Bi Uti yang ikut bersama denganku sejak aku di bawa ke rumah sakit ini. Wajah mereka terlihat sangat tegang dan cemas. Termasuk wajah Deyna, tapi dia tidak sedang mencemaskan diriku, dia hanya takut anak ini tidak lahir ataupun tidak terselamatkan semenatara keluarga besar mereka sudah menunggu pewaris dari harta kekayaan.
Betapa tersiksanya hati seorang ibu keteika mendengar kabar ini. Aku tidak kuasa menahan tangis yang ada di mataku, aku seperti kehilangan satu-satunya alasan kenapa aku bisa bertahan sampai detik ini.
Dokter memberi kabar bahwa janinku tidak bisa diselamatkan.
"Apa?" ucapku terkejut.