Aku langsung bergegas mencari dari mana asa suara minta tolong itu. Seperti suara seorang anak kecil. Melihat aku yang berlarian mencari asal suara itu, Hans ikut beranjak dari tempat duduknya dan mengikutiku.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat anak kecil yang baru berusia 7 tahun berada di lantai ketiga dari hotel tengah berusaha untuk menahan pegangan tangannya ke sebuah balkon. Entah karena apa ia bisa berada bergantungan di balkon itu. Semua orang hanya menjadi penonton seraya berteriak minta tolong.
Semuanya berkerumun di bawah, tapi tidak ada satupun yang berusaha untuk menolongnya. Suara tangis anak kecil itu semakin kencang, beberapa orang berusaha untuk menghubungi pihak hotel untuk membantu menyelamatkan anak itu.
Aku berlari bergegas masuk ke dalam lift dan masuk ke dalam koridor kamar lantai 3. Aku berusaha mencari sumber suara dari luar. Aku mengetuk beberapa kamar, tapi tidak ada jawaban. Sampai akhirnya aku menemukan sumber suara itu dari kamar nomor 37. Aku berusaha membuka pintu kamar hotel itu, beruntungnya tidak dikunci.
Aku bisa melihat kondisi kamar hotel yang dipenuhi dengan peralatan berlibur anak-anak seperti pelampung dan sebagainya. Sepertinya ia berada di tempat ini bersama dengan orang tuanya, tapi entah kemana orang tuanya saat itu.
"Kiara?" tanya Hans terkejut ketika melihat diriku yang sudah berada di balkon kamar 37.
Aku berusaha untuk membantu anak kecil itu. Terlihat air mata yang membasahi pipi anak itu. Aku mengulurkan tanganku kepada tangan anak itu. Semua orang yang berada di bawah berteriak histeris, mirisnya beberapa bukannya melakukan pertolongan, malah memegang ponsel seraya merekam kejadian saat itu. Duania sudah berubah, teknologi ternyata bisa saja mengubah rasa simpatik seseorang.
"Pegang tanganku," teriakku kepada anak kecil itu.
"Pelan-pelan saja, raih tanganku," ucapku sekali lagi.
Dengan rasa takut ia mencoba meraih tanganku, hampir saja ia kehilangan pegangannya saat ia hendak meraih tanganku, tapi atas izin Tuhan ia bisa menggapai tanganku. Aku menariknya dengan sekuat tenaga. Aku takut tangannya saat ini hampir saja terlepas dari pergelangan tanganku. Beruntungnya Hans datang dan membantu diriku untuk menarik tubuhnya.
"Huft," ucap aku, Hans dan anak itu.
Terlihat ada ketakutan yang meaish mebghantui anak itu. Aku berusaha untuk menenangkan dirinya. Aku memeluk anak kecil itu. Ternyata iahendak mengejar sebuah balon yang tidak sengaja terbang menuju balkon kamar hotel. Saat itu orang tuanya tengah turun ke bawah untuk membeli beberapa makanan ringan.
"Anakku," ucap ibunya setelah datang dan mengathui apa yang baru saja terjadi kepada anaknya.
Saat itu aku bisa melihat pelukan seorang ibu kepada anaknya dengan penuh rasa penyesalan karena merasa sudah gagal menjaga anaknya walaupun hanya dalam waktu yang singkat saja.
Setelah merasa semuanya terselesaikan, aku dan Hans segera pergi dari kamar itu. Ada banyak pelajaran dari beberapa kejadian di hari ini. Aku hanya menatap pergelangan tanganku yang masih merasakan sakit karena cengkaraman anak kecil itu terlalu kuat. Sesampainya di dalam kamar hotel, aku berusaha untuk mengompres pergelangan tanganku agar bekas cengkraman itu bisa pulih.
Hening!
Tidak ada sesuatu yang bergeming. Aku yang saat itu tengah mengobati pergelangan tanganku, Hans memperhatiaknnya dari kejauhan. Aku tahu ia sedang memperhatikan apa yang aku lakukan. Tapi, aku tidak berharap Hans akan memberikan simpatinya kepadaku, kemudian membantu aku mengobati luka ini.
"Kenapa kamu melakukan hal seperti tadi?" tanya Hans tiba-tiba.
Bisa saja aku membiarkan anak itu, kemudian ia akan tiada kemungkinan terburuknya. Tapi, hatiku tidak bsia melihat hidup seorang anak berakhir begitu saja di depan mataku. Aku tahu mereka punya harapan dalam hidup, belum lagi orang tua yang akan kehilangan dirinya.
Pertanyaan Hans kali ini terdengar sangat bodoh. Pertanyaannya tidak berbobot. Aku tidak menjawab pertanyaan Hans. Sampai akhirnya, Hans bertanya hal yang sama kepadaku untuk kedua kalinya. Akupun menjawab tentang hatiku yang tidak bisa melihat seorang anak kehilangan hidupnya begutu saja.
Ia berhenti mempertanyakan hal itu ketika aku menjawab salah satu pertanyaannya.
"Karena aku tidak mau jika suatu saat anakku yang akan aku serahkan kepadamu dan deyna diperlakukan buruk, sudah cukup bagiku kehilangan anak itu, tapi dia berhak mendapatkan bahagia layaknya anak pada umumnya, tidak masalah ia tidak mengenaliku sebagai ibunya, tapi ia hidup bersama dengan ayahnya bukan? Jadi, ayahnya pasti bisa untuk menjaganya, dari semua hal yang mengganggu hidupnya, termasuk ketika istri ayahnya yang ingin menghancurkan hidup anakku nanti," ucapku.
Aku mengatakan hal itu dengan tangan dan bibir yang bergetar. Melihat emosi yang ada di mata Hans, membuat aku takut ia akan memperlakukan aku dengan kasar. Aku mengakhiri ucapanku saat itu, dan memilih diam. Sekarang entah apa yang aka nada di dalam pikirannya tentangku.
Aku belum juga mengandung anaknya, dan itu adalah tujuan yang Hans dan Deyna miliki, serta hal itu juga yang menjadi alasan kenapa sampai saat ini mereka masih membutuhkan diriku.
"Kenapa kamu bisa berpikir seburuk itu kepada Deyna?" tanya Hans seolah-olah ia sedang membela istrinya tanpa memikirkan ketakutan yang ada pada diriku.
Aku tidka menjawab pertanyaannya. Aku mengambil handuk dan segera masuk ke kamar mandi untuk mmebersihkan diriku. Dalam hatiku sempat terbesit apakah ia terlalu bodoh, bahwa tidak mudah bagi seorang istri menerima anak dari perempuan lain? Sekalipun anak ini ada hanya untuk memenuhi kepuasaannya semata, tapi tidak terpungkiri juga, Deyna akan bersikap kasar kepada anakku ini setelah ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Seandainya dunia tahu dan bisa membantuku untuk terlepas dari jeratan ini. Aku ingin mengatakan bahwa aku tersiksa berada diantara mereka, dijadikan alat menghasilkan keturunan untuk keluarga mereka. Seandainya aku bisa, aku akan mengatakan kebenaran tentang sitri sah Hans yang tidak dapat mengandung seorang anak.
Aku tidak sejahat itu.
Walaupun hal itu aku lakukan, aku harusnya bisa sadar diri, tidak ada yang dapat melindungiku dari seorang perempuan yang memiliki kekuasaan dengan nama keluarga besar terpandang seperti Deyna. Mungkin keluarga mereka akan malu dan menjadi kerugian tersendiri untuk nama baik keluarga mereka.
Tapi bagaimana denganku? Hidupku akan dipenuh dnegan bayang-bayang ketidakberdayaan, Deyna akan dengan mudah mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk menghabisiku, aku tidak mau berakhir begitu saja di tangan perempuan sepertinya.
"Dreet dreet dreet," suara ponsel Hans bergetar.
"Iya sayang, aku ada di luar kota. Urusan pekerjaan kantor belum selesai, aku maish harus menemui beberapa client untuk membicarakan masalah ekspor dan impor perusahaan," ucap Hans terdengar ke dalam kamar mandi.
Sepertinya Hans sedang menerima panggilan dari Deyna. Dulu panggilan sayang itu hanya ia tujukan kepadaku, sekarang ia tujukan kepada perempuan yang lain. Secepat itu dunia membalikkan keadaan.
Aku menangis bersama dengan air shower yang membasahi tubuhku.