"Yang Mulia, Kerajaan Magnolia kembali mengirimkan mata-mata."
Allan menyeringai ketika dia mendengar laporan dari Komandan Ksatria yang datang ke ruangannya. Sebelum kemudian dia melambaikan tangannya pada Komandan Ksatria tersebut, mengusir.
"Aku akan ke penjara bawah tanah nanti."
Komandan Ksatria menunduk hormat, kemudian keluar dari ruang kerja Allan.
Allan kemudian terkekeh, dia melirik Helia yang berdiri di sampingnya.
Gadis itu memiliki rambut panjang lembut yang berwarna pirang, iris mata merah yang mengagumkan, kulit lembut dan halus, serta perawakan yang bagus. Dan yang paling penting, gadis itu ada di sampingnya.
"Helia," panggil Allan.
"Tentu, Yang Mulia. Aku akan menemanimu ke bawah," balas Helia, seolah sudah mengerti maksud Allan tanpa Allan perlu menjelaskannya. "Sepertinya Kerajaan Magnolia menawarkan banyak kepala kepada kerajaan kita, Kerajaan Teratia."
"Benar sekali."
Kerajaan Teratia dan Kerajaan Magnolia adalah dua kerajaan yang berada di wilayah timur, keduanya telah lama bermusuhan karena sengketa wilayah yang dilakukan Kerajaan Magnolia terhadap Kerajaan Teratia sepuluh tahun yang lalu.
Dan Kerajaan Magnolia kerap mengirimkan banyak mata-mata atau pembunuh ke kerajaan Teratia secara sembunyi atau dengan menyamar. Namun, semuanya selalu dapat Kerajaan Teratia tangkap dan bunuh.
Perlakuan Magnolia yang bodoh.
Namun, khusus kali ini, tiran itu ingin merasakan perasaan memenggal kepala musuh yang dikirimkan dari kerajaan Magnolia dengan tangannya sendiri.
Dasar gila.
Dia, Raja Allan Edelbert Teratia, merupakan seorang tiran yang sadis dan keji. Dia tidak akan ragu membunuh jika dia harus membunuh. Dia akan menyiksa musuh dengan sadis serta maju di front depan ketika terdapat peperangan dengan Kerajaan Magnolia.
Meskipun begitu, Allan merupakan raja yang bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Hal tersebut membuat Allan disukai oleh rakyat.
Pria itu, menjadi raja ketika usianya 22 tahun. Dan kini sudah menjabat selama tiga tahun. Usianya saat ini adalah 25 tahun.
Allan memiliki rambut abu-abu keperakan yang lembut, iris mata safir yang menenangkan, serta tubuh kekar dan bagus. Wajah serta tubuhnya dipahat dengan sangat indah. Dan telapak tangannya kasar sebagai master pedang terbaik di sepanjang sejarah Kerajaan Teratia.
"Jadi, kapan kamu akan menemui mata-mata itu?" tanya Helia.
Helia Scarlett Floral, dia merupakan putri bungsu Duke Floral, sekaligus ajudan Raja Allan dan teman bermain Allan semenjak Allan kecil. Mereka sangat akrab karena sering bertemu setiap hari, dan Allan sendiri yang memilih Helia sebagai ajudannya.
Alasannya karena Helia merupakan gadis yang cerdas dengan usianya yang mencapai genap dua puluh tahun saat ini. Dia memenangkan banyak penghargaan dari akademi, serta dia pandai berpedang. Alasan tersebut cukup untuk membuat Helia menjadi ajudan Allan.
"Sekarang?" Allan memutar pena bulu di tangannya.
"Tidak boleh," jawab Helia tegas. "Kamu harus menyelesaikan dokumen itu, baru kamu bisa menemui si mata-mata."
Allan berdecih, merebahkan kepalanya di atas meja. "Lalu untuk apa kamu bertanya?"
Helia terkekeh kecil. Allan, manis.
Allan menghela napas, tetap merebahkan kepalanya di atas meja yang dipenuhi dokumen.
Cuma di hadapan Helia, Allan akan bertindak seperti ini. Allan sebenarnya adalah seorang pria yang manis dan lembut, tetapi hanya kepada Helia. Sisanya, dia akan bertindak sebagai tiran bajingan dan berdarah dingin.
"Ayolah, Helia Sayang. Aku mau ke penjara bawah tanah."
Helia berdeham kecil, menyembunyikan rasa gugupnya ketika Allan memanggilnya 'Sayang'. Jatuh cinta membuat Helia merasa gila.
"Tidak boleh, Yang Mulia. Kamu harus menyelesaikan pekerjaanmu dulu."
"Malas."
Helia menyentuh dadanya yang berdebar. Untung saja Allan tidak melihat ke arah Helia, jika iya, maka Allan akan mendapat pemandangan di mana ada seorang gadis yang merona hebat.
"Ayolah, Yang Mulia. Bekerja. Kalau kamu tidak mau bekerja, kudapanmu akan dikurangi."
Seolah tersihir, pena kembali digerakkan oleh Allan. Dia kembali mengerjakan dokumennya agar jatah kudapannya hari ini tidak dikurangi oleh gadis itu.
Helia terkekeh kecil. "Kamu mudah sekali dibujuk, ya."
"Terserah, aku mau manisan untuk menyegarkan pikiranku. Jangan rampas apa yang aku punya."
Mendengar kalimat itu, Helia mau tidak mau merasa bahwa dia akan pingsan kapan saja karena Allan sangat manis.
***
Lembap dan bau.
Penjara bawah tanah itu sangat menjijikkan. Tahanan yang ditahan di sini biasanya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang sangat besar dan fatal hingga mampu untuk meruntuhkan Kerajaan Teratia.
Di sini juga di mana mata-mata dari Kerajaan Magnolia ditahan. Namun, tahanan itu sudah dipindahkan ke ruangan penyiksaan beberapa saat yang lalu.
"Yang Mulia Raja."
Komandan Ksatria menunduk hormat.
Iris safir dingin itu menatap Komandan Ksatria. "Tunjukkan jalannya."
"Baik."
Komandan Ksatria memandu jalan, tetapi tetap berjalan di belakang raja. Tangannya yang berotot kemudian membuka pintu berukuran dua meter yang terbuat dari besi tebal. Di dalam sana, ruangan seukuran lima kali lima meter terbentang.
Di dinding yang batu batanya sudah kusam, terpajang berbagai alat penyiksaan. Dan di tengah ruangan, seorang mata-mata yang tangan, kaki, dan tubuhnya terikat kuat tanpa bisa bergerak di atas kursi, memandang Allan dengan bengis.
"Yang Mulia." Helia yang berjalan di belakang Allan merasa kesal karena tatapan si mata-mata.
Allan mengangkat tangan. "Biar aku saja."
Allan maju, setelan putih dan emas yang melambangkan Kerajaan Teratia dikenakan olehnya. Memberi kesan berupa ketegasan. Pedang perak di pinggangnya bertatakan permata merah darah, merefleksikan bayangan mata-mata Kerajaan Magnolia yang terlihat menyedihkan.
Segera saja, Allan menarik pedang perak tersebut. Dengan pedang itu, Allan sudah mengambil ratusan nyawa. Mengambil satu nyawa lagi bukanlah masalah besar buat dia.
Tiran.
Pedang perak ditebaskan pada leher mata-mata itu, tetapi terhenti langsung ketika tepat berada di kulit leher. Pedang itu hanya menggores kulit, membuat darah merah langsung mengalir dari sana, menodai pakaiannya yang berwarna putih usang.
"Bunuh aku, sialan!" teriak pria mata-mata itu.
Plak! Helia menamparnya. Dia kemudian menyeka telapak tangannya menggunakan sapu tangan yang langsung dia buang.
"Lihat siapa yang kau ajak bicara, bodoh," sahut Helia dingin.
"Helia," peringat Allan, mengenyit.
"Ada apa Yang Mulia? Saya hanya membenci suaranya yang keras," balas Helia tenang.
Allan mendengus geli. Membiarkan yang satu itu.
"Lain kali jangan sentuh lagi. Mereka kotor. Kamu tidak boleh menyentuhnya."
Tangan Allan naik, mengelus tangan Helia lembut.
Kemudian Allan berbalik, tanpa tahu kalau Helia sedang menahan detak jantungnya yang berdebar.
Pedang kembali ditekan ke leher, menciptakan luka baru. "Katakan siapa yang mengirimu sekarang? Perintah raja? Duke? Atau Count itu?"
Pria itu meludah. "Tidak akan kukatakan."
Allan mengangkat alisnya. Dia memberikan kode pada Komandan Ksatria, yang berdiri tidak jauh di dalam ruangan.
Komandan Ksatria langsung mencambuk pria itu. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
"Siapa yang mengirimu?"
"Enyah, brengsek."
Suara cambukan terdengar lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali.
Kulit si mata-mata mengelupas dan robek, mengeluarkan darah segar dari setiap inci luka-lukanya yang terlihat sangat menyakitkan.
Akan tetapi, sorot Allan tetap sama. Dingin.
"Namamu Jake Nelond, kan?"
Suara Allan kali ini sukses membuat si mata-mata memelotot.
"Dari mana ... dari mana kau tahu itu, bajingan?! Aku menggunakan nama samaran! Kenapa ... kenapa kau tahu namaku?!"
Tubuhnya dicambuk lagi, enam kali. Setiap dicambuk, angkanya bertambah satu.
Darah kini benar-benar menodai pakaiannya. Seluruh tubuhnya dibanjiri darah berwarna merah, menetes ke lantai, dan tebercak di dinding bata.
Allan terkekeh, mengacak surai abu-abunya dengan perasaan berdebar.
"Iya, kan? Dari mana aku tahu? Benar begitu?"
Iris mata Jake bergetar. "Apa yang akan kau lakukan?"
Allan bergedik. "Entah ya, apa yang akan aku lakukan pada dua putrimu itu."
"Jangan lakukan apa pun pada putriku!"
"Katakan siapa yang mengirimu?"
"Duke Elios! Duke Elios! Jangan lakukan apa pun pada putriku!"
Allan mengangkat satu sudut bibirnya. "Apa tujuan Elios kali ini?"
Jake menelan ludahnya. Mengabaikan luka-luka berdarahnya yang semakin perih setiap angin berkesiur.
"Mencari kelemahan Raja Allan."
"Dan kau menemukannya?"
"Iya. Saya menemukannya." Dia mengangguk kuat.
Allan geli. Sebelumnya, pria itu sangat kukuh dan memiliki pribadi yang jelek terhadapnya. Dan di saat Allan mulai menyebutkan kelemahan Jake, di sana pula Jake mengangguk seperti anjing penurut.
Allan tentu sudah mengetahui informasi pribadi dari mata-mata itu karena koneksi kerajaannya yang kuat, termasuk Duke Elios selaku pengirim Jake ke Kerajaan Teratia. Namun, mendengar suara ketakutan dan panik itu sendiri dari mulut musuh memberikan sensasi menyenangkan tersendiri pada Allan.
"Katakan apa itu."
Jake menelan ludahnya lagi, lalu melirik sekilas pada Helia.
"Ke-Kelemahan Raja Allan adalah Helia Scarlett Floral."
Tepat setelah Jake menyelesaikan kata-katanya, sebuah kepala menggelinding di lantai yang dingin.
"Ah, sial. Aku lupa bertanya soal jumlah yang dikirim Elios bajingan itu," kata Allan, menyesal, tetapi sorot wajahnya masih datar dan tenang. Dia kembali memasukkan pedang perak ke dalam sarung.
Helia terkekeh. "Itu tipikal Anda. Anda selalu membunuh tanpa bertanya."
Allan keluar dari ruang penyiksaan, ditemani Helia. Meninggalkan tubuh mati dan Komandan Ksatria di sana.
"Itu karena aku emosi. Dan berhenti bicara formal padaku. Kenapa juga kamu harus bicara formal di hadapan musuh? Setiap aku menghadapi musuh, kamu selalu bicara formal."
"Itu untuk menunjukkan kalau kamu yang berkuasa."
Allan terkekeh geli, mengacak surai hitam Helia.
"Kamu menggemaskan," katanya, sebelum berlalu.
Helia mendesis. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang.
Perasan ini terkadang mengganggunya. Membuat pekerjaannya tidak selesai dengan benar, akan tetapi di saat yang bersamaan, perasaan ini sangat menyenangkan. Menerbangkan ratusan kupu-kupu di perutnya.
Senyuman manis timbul di bibir Helia.
"Berheti mengatakan kalau aku menggemaskan, aku sudah dua puluh tahun!"
"Kamu masih gadis berusia sembilan tahun," balas Allan tanpa menoleh. "Ah, iya. Aku akan menulis surat pada bajingan Elios itu. Aku ingin tahu reaksinya ketika dia tahu kalau mata-mata yang dia kirim sudah mati."
Helia bisa melihat seringaian di bibir Allan. Dia menikmati ini. Pembunuhan, pemenggalan, mata-mata. Allan menikmatinya, seolah semua permasalahan ini adalah adrenalin yang menantang.
Hal itu membuat Helia merasa kalau Allan menjadi sangat menyedihkan.
***
sudut penulis:
yo! kamu suka ini? dukung aku terus, yu! vote dan komentar misalnya, biar aku semangat update! ❤️❤️
4 Juli 2022