Chereads / Look at Me, Your Majesty! / Chapter 8 - 7 - Apricot's Flower

Chapter 8 - 7 - Apricot's Flower

Allan mengetuk jemarinya di atas meja, mengabaikan seluruh dokumen yang semakin menumpuk setiap kali dia tidak memedulikannya.

Helia, yang mengambil alih sebagian dokumen tampak terdistorsi kala Allan tidak mengerjakan bagiannya dengan benar.

Terhitung tiga hari lalu Helia menangis karena Allan hingga dia jatuh sakit dan demam. Kakaknya, Demian, mengomelinya dan akhirnya luluh karena adik tersayangnya sedang sakit hati.

Di tiga hari itu pula, Helia hanya terbaring lemah di atas ranjangnya. Juga tidak menghadiri Pesta Perayaan Ulang Tahun Kerajaan yang tersisa karena sakit.

Diam-diam bersyukur juga karena tidak perlu menemui Nona Muda Auste di pesta dengan Allan. Apa yang dia dengar dari pelayan adalah, Nona Muda Auste kini dapat keluar dan masuk Istana Romeo dengan mudah. Seolah Istana ini merupakan tempat tinggalnya.

"Yang Mulia," panggil Helia.

Allan hanya menggumam pelan.

"Tolong fokus," kata Helia. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Helia jadi jarang tersenyum. Padahal setiap saat dia melihat Allan, Helia tidak bisa menahan kedua sudut bibirnya yang tertarik secara otomatis ke atas. Perasaan berbunganya yang menggila kini meredup, seolah ada badai yang datang ke kebun bunganya.

Hal ini terjadi bukan karena rasa cinta Helia pada Allan makin menipis, justru terjadi karena Helia merasa putus asa.

Helia kian menyadari kalau apa yang dia inginkan dari Allan-cinta-tidak akan pernah bisa dia dapatkan. Oleh karena itu, Helia mencoba yang terbaik untuk menetralkan perasaannya. Kalau bisa, menghapusnya.

"Maka bantu aku," ujar Allan dengan suara yang pelan.

Kerutan tercetak jelas di dahi Helia. Hatinya mengantisipasi agar apa yang akan dikatakan Allan tidak berkaitan dengan Auste.

"Apa yang harus aku bantu? Akan aku lakukan jika kamu mau bekerja dengan benar," balas Helia dengan tenang.

Allan mendengus geli. "Aku harus memberi hadiah pada Auste."

Boom!

Helia merasa hatinya meledak karena panas. Sebagian lagi, dia merasa sebuah nyeri di lukanya yang belum sembuh. Seolah luka itu berniat untuk tinggal di hatinya hingga Helia mati.

Helia menelan ludahnya dengan sudah payah, kembali menatap dokumen seolah tidak memedulikan ucapan Allan.

"Apa yang membuat kamu bingung?" Helia bertanya, mati-matian membuat suaranya senormal mungkin.

"Apa yang disukai perempuan?"

Helia menggigit bibir, mencoret dokumen penting dengan asal oleh tinta sebagai bentuk pelampiasan emosinya. Dokumen penting di hadapannya kini kehilangan kaidah huruf karena coretan tak sejajar Helia.

"Apa yang disukai Nona Muda Auste?"

"Aku tidak tahu," balas Allan cepat.

"Kenapa? Kamu mencintainya, kan?" Helia menelan rasa pahit di mulutnya ketika dia mengucap kalimatnya.

"Itu fakta. Namun, bukan berarti aku akan tahu sekaligus semua hal tentang Auste."

"Ah, begitu." Helia berdeham. "Kalau begitu, apa yang disukai oleh perempuan tentu gaun-gaun yang manis, berlian atau perhiasan, dan sepatu-sepatu cantik. Apa itu tidak cukup sebagai saran?"

Allan mengerutkan dahi, tampak berpikir. "Kamu benar, Helia. Tapi aku sudah mengirimkan banyak gaun, perhiasan, dan sepatu pada Auste."

Helia tersedak. Dia buru-buru meneguk teh beraroma melati di cangkirnya.

"Ka-Kamu sudah mengirimkannya?" tanya Helia pelan.

Allan mengangguk. "Mungkin aku sudah memesan banyak."

"Tapi ini baru saja beberapa hari, dan kamu sudah mengirim banyak?"

Allan mengangguk.

Helia meneguk ludah dengan pahit. Allan memang melakukan hal yang sama pada Helia, tetapi tidak sesering itu. Dan Allan tidak pernah memberi Helia banyak gaun, sepatu, dan perhiasan dalam rentang waktu sependek ini.

"Menurutku, kamu mungkin sudah memberikan Nona Muda Auste banyak hadiah. Nona Muda Auste tidak membutuhkannya lagi."

Allan mengangkat alis. "Kenapa?"

"Karena dengan perasaanmu saja, Nona Muda Auste pasti sudah merasa gembira. Bukankah menikahi Raja Teratia merupakan hadiah yang paling terhormat?"

Allan mengangguk. "Itu benar." Jeda. "Dan apa benar jika Auste akan tetap senang kalau aku memberinya hanya perasaanku saja?"

"Tentu saja."

Helia tersenyum pahit. Namun, Allan mengangguk setuju.

Helia menghela napas, meremas dokumen yang berisi coretan dan melemparnya ke belakang.

Suasana hatinya buruk.

***

"Nona Auste, ada kiriman dari Istana."

Pelayan di mansion Apricot mengetuk pintu kamar nona muda mereka dengan irama tak menentu karena antusias. Pelayan wanita itu menunjukkan raut senang di wajahnya, sementara tangannya memegang sebuah kotak di tangannya.

Pintu tersebut langsung terbuka begitu pelayan itu berhenti mengetuk.

"Sungguh?" Auste menatap pelayan pribadinya dengan tatapan senang.

Pelayan itu, Mira, menyerahkan kotak besar di tangannya pada Auste.

"Tentu saja, Nona Auste. Hadiah ini dikirim dari Istana, lebih tepatnya dari Yang Mulia Raja."

Auste merona sebelum menerima kotak itu. "Jangan masuk dulu," pesannya sebelum menutup pintu.

Mira, meski merasa penasaran dengan hadiah yang dikirim Allan, tetap mengangguk patuh pada majikannya.

Sedangkan Auste, dengan perasaannya yang berdebar tidak keruan, membuka kotak hadiah dengan perlahan.

Kedua alisnya bertautan, dan mengangkat satu buket bunga apricot yang segar. Senyumnya timbul ketika menemukan sepucuk surat di antara apricot.

Jemari lentik Auste membuka surat dengan tangan yang gemetar oleh antusias, bahkan senyumannya yang secerah mentari terlukis dalam guratan bibir yang indah.

Untuk Auste,

Auste Apricot yang selalu dikelilingi bunga apricot yang seindah permata. Mari bertemu malam ini di Istana Romeo?

Dari Allan.

Rasanya Auste ingin menjerit saking senangnya. Allan sangat manis.

Dia menarik surat mendekat ke arah bibirnya, lalu mengecupnya pelan dengan perasaan yang berdebar.

Begini, ya, rasanya jatuh cinta?

Auste tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika dia selalu berkumpul dengan bangsawan lain dalam pesta teh, Auste tidak pernah mengerti dengan topik yang selalu dibicarakan teman-temannya.

Entah soal pria tampan yang selalu mereka gosipkan, kekasih masing-masing, atau apa pun yang berhubungan dengan cinta.

Biasanya, respons Auste hanyalah diam, sambil meminum teh dengan tenang.

Yang tidak Auste sangka adalah, rupanya Auste sendiri memiliki daya tarik tersendiri sehingga bisa memikat penguasa Teratia.

Auste awalnya takut. Allan dikenal sebagai tiran yang kejam dan sadis. Namun, setelah menghabiskan banyak waktu dengan Allan, Auste merubah persepsinya terhadap Allan.

Allan bukanlah tiran yang sadis, tetapi pria yang manis. Allan akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Teratia, meski itu adalah dengan mendapat gelar sebagai tiran.

Auste tersenyum lagi, perasaannya benar-benar membuncah tak keruan oleh cinta. Dia lalu berlari, dan membuka pintu kamarnya. Auste bisa mendapati Mira masih berdiri di depan kamarnya

"Mira!" seru Auste, lalu menarik kedua tangan pelayan pribadinya itu.

"Nona Auste, ada apa? Anda kelihatan sangat bahagia." Mira melayangkan senyuman jahil. "Apa ini karena Yang Mulia Raja?"

Auste bersemu. "Tolong bantu aku mencari gaun yang cocok untuk bertemu dengan Yang Mulia malam ini."

Mira terkekeh kecil. "Tentu saja, Nona Auste. Saya akan membuat Anda terlihat seperti peri sehingga Yang Mulia Raja akan sangat terpikat pada Nona-ku yang manis!"

***

idk what to say but thanks <3

9 Juli 2022