Kedua tangan Helia tidak pernah berhenti gemetar setelah dia membuka matanya di pagi hari.
Istana sibuk, gereja nasional juga.
Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya hari ini tiba juga. Di mana tanggal yang tertera di undangan pernikahan akhirnya datang.
Hari ini.
15 Juli.
Seluruh pelayan Istana Romeo sibuk dan membagi tugas. Menghias dan mendekorasi seluruh Istana, lalu butik ternama akan menyiapkan kedua pengantin dengan pakaian pernikahan yang indah.
"Nona Helia. Anda sudah bangun?"
Pelayan pribadi Helia, Mary, membuka pintu kamar dengan perlahan.
Mary mendapati tatapan kosong Helia ketika dia membuka pintu.
Mary langsung berlari dan berdiri di samping ranjang Helia. Tangannya langsung berusaha untuk menggenggam tangan dingin Helia yang pucat.
"Nona Helia. Anda perlu bertahan." Mary mengucapkan kalimatnya dengan nada tercekat.
Helia melirik Mary, lalu tersenyum manis.
"Kamu benar," kata Helia. "Aku harus bertahan, berharap, dan berharap lagi. Mungkin saja, di sisa hidupku atau hidup Allan, akan ada sedikit perasaan yang Allan tujukan padaku. Demi sedikit perasaan itu, aku akan terus hidup."
Mary tanpa sadar menangis. Dia langsung menyeka kedua matanya yang sembap.
"Saya akan membawakan air untuk cuci muka. Kemudian saya akan merias Anda sehingga Anda akan mengalahkan pemeran utama hari ini."
Helia tertawa kecil. "Tidak mungkin. Kamu tidak boleh melakukannya."
"Kenapa? Saya akan tetap melakukannya! Saya akan membuat Anda terlihat sangat cantik dan menawan!"
"Tidak, jangan. Aku akan terlihat seperti menarik atensi raja dengan murahan, kan?"
Mary tersentak, dia lalu menundukkan kepalanya dalam. "Maafkan saya. Saya berpikiran pendek."
Helia mengangkat tangannya, mengusap bahu Mary.
"Tidak apa. Tolong rias aku dengan cantik, ya?"
Mary mengangkat wajahnya dengan sorot siap menangis lagi. "Tentu saja, Nona Helia! Serahkan pada saya."
Helia menatap kepergian Mary dengan sorot getir. Dia juga ingin mengalahkan pemeran utama hari ini. Terlepas dari bagaimana murahannya sikap itu. Helia ingin mengalahkannya, tetapi jika mengingat akan murkanya orang yang dicintai Helia, hal itu membuat Helia akan memilih opsi mati saja.
***
Helia mengetuk pintu tiga kali, seirama, hingga suara bariton di dalam menyuruh Helia untuk masuk.
Helia membuka pintu, menyadari kalau staf dari butik sudah keluar dari kamar Allan.
"Helia." Allan tersenyum lebar, menyuruh Helia untuk mendekati Allan yang sedang berdiri di depan cermin besar.
"Selamat atas pernikahanmu," ujar Helia dengan senyuman lembut.
Allan ikut tersenyum. "Terima kasih. Aku juga mengharapkan pernikahanmu ke depannya. Mari kita lihat siapa pria beruntung yang akan memilikimu."
"Tidak akan pernah." Helia hanya tersenyum membalasnya.
"Da-Dan bagaimana penampilanku, Helia?" tanya Allan, dia menggigit bibir sedikit.
Helia memperhatikan penampilan Allan. Sutra premium berwarna putih dan emas, jubah bulu berwarna merah, pedang yang tersampir di pinggangnya sebagai bukti Allan adalah master pedang, dan sepatu bot putih.
Sempurna.
"Kamu terlihat menawan," kata Helia dengan senyuman.
"Terima kasih."
Dan hening.
Helia mengobservasi Allan. Laki-laki itu gugup rupanya. Dengan seluruh badannya yang kaku dan kaki yang mengentak lantai dengan tempo yang cepat. Belum lagi, napas tidak beraturan yang terasa berat.
"Allan, tenanglah," kata Helia. "Ini pertama kalinya aku melihatmu sangat gugup. Bahkan saat kamu maju di barisan depan saat perang melawan Kerajaan lain, kamu tidak pernah gugup. Atau ketika melancarkan pemberontakan itu, kamu sangat yakin. Kamu tidak pernah gugup sebelumnya. Dan pernikahan juga sama saja, Allan. Seperti melawan di dalam sebuah pertempuran, lalu setelah pernikahan selesai, kamu memenangkan pertempuran itu."
Allan terkekeh pelan. Tangannya naik dan mengusap rambut Helia.
Helia menegang.
"Terima kasih."
Demi Tuhan, Helia berani bersumpah. Senyuman Allan terlihat sangat menawan hingga bisa saja Helia mengunci Allan di kamarnya dan tidak membiarkan laki-laki itu datang ke upacara pernikahannya sendiri.
"Apa yang harus aku ucapkan di altar?" tanya Allan tiba-tiba.
Helia menggeleng. "Aku tidak tahu. Pendeta pasti akan memberitahumu."
"Kamu benar." Allan mengangguk. "Lalu aku ... aku harus mencium pengantin wanita?"
Helia mengerjap. "I ... Iya, tentu saja, kamu harus mencium pengantin wanita. Sebagai bukti bahwa kalian berdua sudah terikat menjadi sepasang suami dan istri. Allan, kenapa kamu gugup? Ini bukan pertama kalinya kamu mencium pengantin wanita, bukan? Anggap saja ciuman di altar itu sama dengan ciuman lainnya."
Allan memberi jeda sejenak. "Ya, terima kasih, Helia. Kamu sangat membantu."
Helia mengangguk. "Tentu saja, Allan. Jika kamu bahagia, aku juga sangat bahagia."
"Bohong. Aku bohong."
"Boleh aku memelukmu? Karena setelah ini, aku tidak bisa memelukmu lagi karena kamu sudah dimiliki orang lain," goda Helia.
Allan tertawa kecil sebelum membawa Helia ke dalam pelukannya yang hangat.
Helia rasanya ingin menangis dan menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Allan untuk selamanya.
Menyaksikan sumpah pernikahan dan janji suci di altar nanti, pasti akan menorehkan luka dalam di hatinya.
Detak jantung di rongga dadanya meledak-ledak.
Helia menggigit bibir.
Meneguhkan hatinya.
***
Gereja Nasional sangat luas.
Ditambah, dengan dekorasi berupa bunga mawar putih yang diselipkan di setiap pilar-pilar raksasa di dalam bangunan.
Di setiap bangku sewarna putih, diselipkan pita penghias yang elegan.
Hari ini merupakan hari yang besar. Di mana penguasa Teratia akhirnya akan memenuhi janji sucinya terhadap putri Count.
Meski gereja memiliki tanah yang luas, tidak semua orang dapat mengunjungi upacara pernikahan ini. Hanya puluhan orang khusus saja.
Dan sekarang, seluruh kursi sudah terisi. Allan sudah berdiri di altar dengan balutan pakaian pernikahan formal yang menawan.
Pakaiannya yang putih dan emas cocok jika disandingkan dengan jubah berwarna merah.
Sorotnya yang tegas menampilkan sebuah kegugupan yang samar. Napasnya tetap beraturan, tetapi pikirannya kacau oleh gugup.
Bagaimana sosok pengantin wanitanya nanti? Apakah akan menawan? Manis? Lembut? Anggun? Atau seluruhnya dimasukkan ke dalam kategori?
Allan menunggu dengan sabar.
Hingga pintu setinggi tiga meter itu terbuka dan menampilkan pengantin wanita yang berjalan dengan balutan gaun berwarna putih. Rambut emasnya disanggul hingga menampakkan leher jenjang yang putih. Di tangannya, buket bunga berwarna putih dipegang dengan erat di balik sarung tangannya.
Wajahnya dipenuhi oleh cahaya sehangat mentari, pipinya merona mesra, bibir merah mudanya tertarik ke atas hingga menunjukkan kurva sempurna yang manis.
Suara sepatu yang menjejaki lantai marmer terbalut karpet merah menimbulkan bunyi yang khas. Langkahnya pelan tetapi pasti. Tubuhnya tegak tetapi anggun.
Di mata Allan yang berada di atas altar, Auste bagaikan seorang peri yang turun dari teritori untuk mencari sebuah cinta.
Di belakang Auste, terdapat iring-iringan kecil oleh anak-anak yang berhubungan dengan Keluarga Count Apricot.
Tidak terasa, pengantin wanita menjejaki altar pernikahan.
Setelah kedua pengantin siap, upacara pernikahan dilaksanakan.
Jauh dari altar, di bagian belakang bangku, Helia duduk. Gaunnya yang berwarna putih kusut karena diremas kuat.
Demian yang duduk di samping Helia, memeluk gadis itu erat. Menyampaikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Menyampaikan bahwa Demian akan selalu ada di samping Helia, bagaimana pun semestinya.
Helia menggigit bibirnya dengan kuat untuk menahan isakan yang lolos, hingga tanpa disadari, ada rasa amis yang mencecap lidah.
Tes.
Cairan merah itu jatuh, menodai gaun berwarna putih.
"Helia!" Demian panik.
Helia menggeleng. "Tidak apa, Kakak. Tidak apa."
Demian masih duduk kaku, rasanya seakan kedua bola matanya akan keluar dari rongga karena terlalu membulat.
Namun, ditahannya setiap perlakuan yang akan mengganggu upacara pernikahan. Dia memeluk Helia lagi, lebih erat, lebih menenangkan, lebih menunjukkan bahwa Demian tidak akan ke mana-mana.
Beberapa jam ke depan, upacara selesai. Tepuk tangan dari para bangsawan mengudara di dalam bangunan.
Sorakan, tepuk tangan, sorai gembira. Semuanya tercampur manjadi satu.
Semua yang ada di dalam gedung, bahagia. Terkecuali bagi Helia. Yang merasakan kalau udara semakin menipis hingga seluruhnya terasa menyesakkan.
Helia berlari keluar gereja. Mengabaikan Demian yang memanggilnya panik dan segera mengejar Helia.
Helia tidak berlari jauh, hanya sampai taman gereja.
"Ah, sial," Helia memaki.
Dia terduduk di atas rumput karena kedua kakinya melemas.
"Helia."
Demian tentu dapat mengejar Helia sebagai Komandan Ksatria Utama pasukan Teratia.
Namun, bukan berarti Helia merupakan gadis yang lemah. Helia sendiri merupakan anggota ksatria Teratia. Demian dapat mengejar Helia dengan mudah karena Helia sangat lemas. Tubuhnya selayaknya jeli dan dapat tergelincir kapan saja.
Demian berlutut, meraih Helia ke dalam pelukannya lagi. Dada bidang Demian dijadikan tumpuan Helia untuk menangis lebih lepas.
Demian menepuk punggung ringkih Helia.
"Menangis saja, tidak apa," bisik Demian. Duduk diam di atas rumput sambil mendekap erat tubuh Helia.
Demian membiarkan Helia untuk menangis. Agar seluruh perasaannya negatif yang mengerubungi Helia luruh, sehingga Helia bisa merasa lebih baik.
Semenjak kecil, Demian tidak pernah melarang Helia untuk menangis. Ketika adik kecilnya jatuh dan melukai lututnya, Demian hanya akan memeluk Helia dan membiarkan Helia menangis. Atau ketika Helia dipaksa untuk belajar ketika Helia tidak menginginkannya, Helia akan dibiarkan menangis.
Bagi Demian, menangis adalah hal yang wajar. Menangis adalah cara memanusiaan manusia.
"Kakak," panggil Helia di sela isakannya.
"Iya, Adikku, Sayang. Ada apa?" Demian membelai rambut Helia selembut mungkin.
Mencoba agar sentuhan Demian tidak lagi melukai tubuh rapuh gadis itu.
"Aku pernah mengatakan kalau Allan bahagia, aku pasti akan bahagia sebelumnya, bukan? Tapi itu semua bohong."
Demian menggigit bibir.
"Dibandingkan dengan bahagia, aku sangat-sangat ingin menggantikan peran Nona Muda Auste di altar pernikahan. Aku ingin bertindak egois sekali saja. Aku selalu mengalah pada Allan. Mengalah pada permainan-permainan kami sejak kecil, atau bagaimana mengalahkan musuh-musuh saat sudah dewasa. Namun, aku ingin menjadi egois sesekali. Misalnya, aku ingin Nona Muda Auste tidak menjadi pendamping hidup Allan."
Jeda. Helia menggunakan kesempatannya untuk menarik napas sebanyak mungkin.
Karena terlalu banyak menangis, dada Helia jadi terasa lebih sesak. Oksigen tidak masuk ke dalam paru-paru dengan semestinya, justru terlalu banyak membuang napasnya.
Demian masih mendengarkan, sesekali membelai rambut Helia. Sesekali mengecupi kening Helia.
"Aku tidak bahagia. Jika Allan bahagia, Nona Muda Auste bahagia, bagaimana denganku? Bagaimana mungkin aku bahagia jika hal yang membuatku senang tidak lagi milikku? Ah, pada awalnya pun, Allan ternyata bukan milikku."
Tawa getir mengalun.
Padahal matahari bersinar terik di atas sana, awan selembut kapas melayang dengan cerah, langit sebiru permata terbang di angkasa. Akan tetapi, apa yang dirasakan kakak-adik itu hanyalah sebuah kotak Pandora.
"Aku mengatakan "selamat atas pernikahannya" sebelum Allan memasuki gereja. Aku menyaksikan seluruhnya, sumpah, janji suci, ciuman, semuanya. Aku tahu pikiranku ini menjijikkan." Helia berbisik, "Tapi aku sangat ingin mencekik leher Auste. Lalu menghancurkan janji suci di altar, dan mengacaukan upacara pernikahan. Lalu masalah kompleksnya adalah berteriak di hadapan Allan bahwa aku mencintainya."
Hari upacara pernikahan selesai. Dengan dua hati yang disatukan, dan satu hati yang hancur lebur.
Helia tidak datang ke dalam resepsi pernikahan dengan dalih bahwa Helia tidak enak badan.
Helia tidak berbohong, tubuhnya memang sakit. Demian juga mengatakan kalau Helia demam.
Helia diam-diam bersyukur karena dia tidak perlu menyaksikan Allan dan Auste lagi untuk memperparah luka di hatinya yang masih menganga.
***
Cup, cup, cup. Kacian Helia 🥺 Nanti pasti ada yang lain, kok 😌
22 Juli 2022