Chereads / Look at Me, Your Majesty! / Chapter 17 - 16 - An Exciting Game

Chapter 17 - 16 - An Exciting Game

"Allan! Di mana kamu bersembunyi?

Keluarlah!"

Helia menghela napas kesal setelah dua puluh menit mencari.

Usia gadis itu kini sebelas tahun. Dua tahun sudah berlalu semenjak dia rutin mengunjungi Allan sebagai teman bermainnya.

Helia sedikit mengangkat gaunnya karena berjalan di atas rumput yang belum dipangkas.

Area taman Istana Jersville sangat kacau. Tidak berlebihan jika dibilang hancur.

Lihat saja, air mancur yang kering, batu batanya yang dilapisi cat putih bahkan sudah mengelupas dan kusam, rumput tidak terpangkas, bunga yang layu tidak terurus, dan gazebo yang separuh runtuh.

Menyebalkan.

Dan Allan baru saja masuk ke sini saat bermain petak umpet.

"Allan!" panggil Helia lagi, sedikit berteriak. Kali ini, Helia sudah berani memanggil pangeran keenam—yang sudah diumumkan ke publik—hanya dengan sebutan nama.

Helia meringis ketika rerumputan menggores kakinya.

"Allan, aduh—"

Bruk!

Helia terjatuh ke depan.

Kakinya tadi terjegal karena batu yang tertutup lebatnya rumput, hingga akhirnya Helia jatuh.

"Allan, keluarlah. Ya Tuhan, aku jatuh." Helia berkomat-kamit, menahan kesal. Untung saja Helia tidak terluka akibat lebatnya rumput bisa menahan goresan dan cedera.

"Dasar payah."

Helia siap meledak ketika si pelaku yang mengatakannya payah hanya menatapnya sambil tersenyum geli.

Remaja berusia enam belas tahun itu tampak menawan dengan balutan pakaian semi-formal. Apalagi ditambah perak keabuan yang berantakan di berbagai sudut, dan tinggi tubuh yang semakin jangkung.

"Allan!" Helia memelotot.

Allan terkekeh geli dan mendekat. Dia lalu mengulurkan tangan, membantu Helia bangkit.

"Apa kamu terluka?" tanya Allan.

"Untungnya tidak." Helia menggeleng. "Terima kasih pada rumput yang tidak terpangkas, aku jadi tidak terluka."

"Apa kamu menyindirku sebagai pemilik istana tidak terawatini, hm?"

Helia mengalihkan pandang. "Mana mungkin aku berani padamu, Yang Mulia Pangeran."

"Dasar."

Helia merasakan sentuhan di kepalanya. Tangan Allan yang mengacak rambut hitam Helia hingga berantakan.

"Allan!" seru Helia dengan kesal.

Allan tertawa, lalu berlari menghindari Helia. Helia yang melihat hal tersebut, langsung mengejar Allan di taman yang tidak enak dipandang ini.

"Allan, berhenti!"

"Tidak mau."

Helia menghela napas, menghentikan langkahnya ketika dia merasa tubuhnya memanas dan napasnya memburu.

Ditambah detak jantung yang ketukannya seolah menggila, terkejar. Helia merasa risi. Mungkin dia merasa kalau ketukan ini diperoleh karena dia baru saja berlari.

Diliriknya Allan yang juga sudah berhenti berlari. Dia terlihat tampan, apalagi ketika dia tertimpa cahaya matahari langsung.

Helia jadi ingat ketika Nevada mengatakan padanya bahwa Allan merupakan pribadi yang tidak berperasaan. Helia jadi ingin mematahkan fakta itu di hadapan Nevada sekarang. Sebab, apa yang Helia alami selama dua tahun adalah sebuah perasaan manis.

Perasaan yang dia perlukan. Kebahagiaan, rasa dibutuhkan, kasih sayang, hubungan yang kentara. Helia membutuhkan semuanya.

"Helia, kemari."

Helia bereaksi pada panggilan Allan, dengan langkah pelan, Helia mendekati Allan.

"Ada apa?"

"Lihat, dandelion." Allan menunjuk ke tanah, lebih tepatnya pada sebatang bunga dandelion.

Helia mengikuti arah tunjuk Allan. Dia melihat beberapa bunga dandelion menghilang, terbang dibawa oleh barang dalam atmosfer.

"Kamu lihat, ada berapa dandelion di sini?"

"Hanya satu, Allan."

"Benar." Allan mengangguk, lalu melirik Helia sekilas. "Hanya satu. Jika dia sendirian, maka banyak orang yang akan menginjak-injaknya tanpa merasa risi. Lalu membiarkan bunga ini sendirian dengan kelopaknya yang tidak lagi sempurna."

Helia menyimak kalimat Allan yang entah akan membawanya pada topik seperti apa.

"Tapi bayangkan, Helia. Jika ada ribuan bunga seperti ini, diinjak-injak, maka yang menjadi korban adalah si pelaku penginjakan."

"Mengapa itu?"

Allan tersenyum miring, dia memetik satu bunga liar tersebut. "Karena kelopak-kelopak dandelion akan beterbangan di angkasa ketika diinjak, dan ribuan kelopak tersebut akan bergantian menyerang si pelaku."

Di akhir kalimatnya, dandelion di tangan Allan hancur karena diremas oleh telapak tangan. Kelopaknya beterbangan terbawa angin, batangnya patah dengan menyedihkan. Allan lalu membuangnya dan berdiri tegap sambil menatap Helia.

"Sudahi permainan kekanakan ini, Helia. Kamu mau permainan yang lebih seru lagi?"

Helia menatap Allan yang masih dengan pandangan seriusnya.

"Apa itu?"

"Berburu ribuan dandelion dan menjadikannya sebagai satu pasukan untuk menumbangkan ribuan musuh."

Helia tidak salah lihat jika seringaian di wajah Allan terlihat kentara, tetapi di satu waktu juga terlihat menyedihkan.

***

"Allan, apa ini benar-benar tidak apa?"

Allan memutar matanya pada pertanyaan Helia yang keempat kalinya pada lima menit terakhir.

Allan sedang berada di kandang kudanya, menyiapkan pelana, dan memberi makan kuda sebelum mereka menyelinap keluar dari istana.

Ya, menyelinap. Hal inilah yang membuat Helia resah dan khawatir.

Purnama di angkasa bersinar cerah, cahayanya memasuki kisi-kisi kandang kuda yang dibuat seadanya dan sembarangan. Kayu-kayu sebagai kandang dipaku dengan tidak rapi, atapnya seolah akan bocor kapan saja. Khas Istana Jersville yang tidak terawat.

"Kita berangkat tepat pukul dua belas," ujar Allan.

"Apa tidak bisa siang saja, Allan? Disertai izin keluar dari Istana?" tanya Helia dengan ragu. Di kedua bahunya, sudah tersampir jubah berwarna cokelat yang rata-rata digunakan seluruh rakyat jelata ketika bepergian. Helia juga menanggalkan gaun beratnya dan mengenakan celana.

"Tidak bisa," tegas Allan, dia membelai surai kuda yang berwarna putih. "Orang yang kita cari bekerja di perjudian dan dia bekerja pada malam hari. Dan ingat, kita melakukan hal ini secara sembunyi-sembunyi, Helia. Jika istana tahu, itu namanya bunuh diri."

Allan menghentikan aktivitasnya, jubah cokelat berkibar ketika dia berbalik. Dia lalu mengeluarkan secarik kertas dan meletakannya di atas sebatang pohon yang sudah ditebang, ukurannya empat puluh senti dari tanah. Pohon itu tidak jauh dari kandang kuda.

"Kita ulas rencana kita." Allan menunjuk denah Istana. "Ingat rute kita untuk keluar dan menyelinap dari Istana."

Helia menggigit bibir. Tidak menyangka kalau persetujuannya akan permainan yang lebih seru dari Allan akan berakibat pada keluar dari Istana dengan menyelinap.

"Keluar dari Istana Jersville tidak akan sulit. Gerbang utama hanya dijaga dua prajurit, itu juga jika mereka tidak malas. Selebihnya gerbang utara, barat, dan selatan hanya dijaga satu orang. Kita akan keluar dari gerbang selatan. Di selatan, si penjaga akan jatuh tertidur tepat pukul dua belas atau kurang. Aku sudah mengobservasi selama dua minggu terakhir."

Helia mendengarkan kalimat yang dikatakan Allan dengan serius. Meski dia tidak menyetujui permainan Allan, Helia sudah telanjur memasuki kolam, dan sudah sia-sia jika dia ingin pakaiannya tetap kering.

"Setelah keluar dari Istana Jersville, kita akan tiba di Istana Elysee sekitar lima kilometer dari sini. Kita akan melewati penjaga di belakang dengan sembunyi. Jika ketahuan, aku akan melumpuhkannya sebelum dia memanggil bantuan. Lalu tiba di Istana Romeo, Istana tempat bajingan Louise tinggal, lalu Istana Juliet di mana Permaisuri tinggal."

Allan mengatakan seluruh rencananya dengan sangat lancar seolah membaca dari buku. Telunjuknya menunjuk denah dan rute yang dibuat kecil di atas secarik kertas.

"Butuh waktu satu setengah jam kita menyelinap keluar dari area Istana. Kamu siap, Helia? Beberapa menit lagi kita akan memulai rencana."

Allan menatap Helia dengan serius, sementara Helia tampak ragu.

"Apa kamu yakin ini akan berjalan dengan sempurna?"

"Tentu saja. Kenapa kamu ragu pada rencana yang sudah kita buat selama satu bulan, Helia?"

"Aku tidak tahu." Helia menggeleng. "Mungkin karena aku merasa bahwa rencana ini salah. Kita tidak harus menyelinap atau melakukan pemberontakan pada keluarga kerajaan. Ini salah, Allan. Lagipula, apa yang bisa dilakukan olehku yang masih berusia sebelas tahun dan kamu yang berusia enam belas tahun?"

Allan mendengus. "Tidak ada jalan untuk mundur, Helia. Kamu sudah menyetujui rencana ini tepat satu bulan yang lalu. Dan apa katamu? Salah? Justru apa yang akan kita lakukan adalah memulai revolusi, Helia.

"Apa kamu yakin mau membiarkan bajingan Louise tetap dalam tahtanya? Seluruh keluarga kerajaan sama saja, Helia. Ferdinanz, Gale, Heminoe, tiga pangeran sialan itu bekerja sama untuk korupsi, kan? Eleanor, permaisuri dan dua putri selalu menggelapkan dana untuk kemewahan. Kamu pikir ada berapa pelayan dan prajurit yang tidak mendapat gaji dengan semestinya?"

Helia menggelengkan kepalanya kuat. "Aku tidak tahu, aku tidak tahu, Allan. Namun, Pangeran Salix dan Pangeran Pressa adalah dua pangeran yang baik. Usia mereka bahkan belum lima belas."

Allan menghela napas, lalu melirik purnama di angkasa. "Dengan keberadaan bajingan penghuni istana di sana, cepat atau lambat Salix dan Pressa akan terkontaminasi dan menjadi bajingan juga."

"Lalu, kamu pikir apa yang kamu lakukan adalah tindakan yang mulia?"

Brak!

Allan melampiaskan emosinya pada pohon yang ditebang. Dia lalu menenangkan dirinya dengan mengatur napas.

"Helia." Allan mengikis jarak, dia lalu menggenggam tangan Helia. "Apa yang kita lakukan adalah revolusi. Revolusi adalah mengubah tatanan kenegaraan menjadi lebih baik. Dan tentu saja, apa yang akan kita lakukan merupakan tindakan yang sangat mulia. Di tangan kita ini." Allan membuka telapak tangan Helia. "Kita akan mengubah negara ini menjadi lebih baik. Kita akan menggaji pelayan dan prajurit dengan benar, kita akan memberantas korupsi, kita akan memakmurkan ekonomi negara yang hancur."

"Tapi Allan. Tangan kita terlalu kecil untuk melakukan tanggung jawab yang besar ini."

"Aku tahu. Sangat tahu. Makanya, kita akan menyelinap keluar dari sini. Mencari tangan-tangan lainnya. Lalu kita akan melakukan revolusi. Lalu mengubah negara ini menjadi negara yang kita impikan. Kamu siap?"

Jeda. Cukup lama.

Keheningan yang hanya diisi oleh suara serangga terasa sangat lama bagi Allan.

"Aku siap."

Allan tersenyum tulus.

"Aku akan melindungimu, Helia. Aku berjanji."

Allan bahkan tidak tahu jika apa yang membuat Helia terus menyetujui setiap kalimat Allan adalah Helia yang kehilangan akal sehat.

Sebuah perasaan di dadanya kerap kali membisikkan sebuah sisipan bahwa Allan adalah segalanya bagi Helia.

PMenentang Allan adalah bunuh diri.

Menyetujui setiap perilaku Allan adalah kewajiban Helia yang membawanya pada bahagia.

Di malam yang semakin larut, degup jantung Helia memburu. Sedikit demi sedikit. Membuat gadis berusia sebelas tahun itu merasa risi, tetapi Helia tidak merasa bahwa debaran itu menyebalkan. Debaran itu meskipun memburu, terasa cukup menyenangkan. Di mana sensasinya seakan membuat Helia merasa lebih hidup.

Pada akhirnya, sebuah perasaan mendominasi. Membuat akal sehat Helia berhenti bekerja. Dan insting di mana bertahan hidup bersama Allan lah yang rupanya mengambil alih seluruh detik Helia.

***

writer's corner:

remaja bucin ×

bocah bucin ✓

tolong sempatkan untuk vote dan komen, ya <3!

27 Juli 2022