Chereads / Look at Me, Your Majesty! / Chapter 20 - 19 - Start the Revolution

Chapter 20 - 19 - Start the Revolution

Pesta itu berlangsung normal. Banyak bangsawan yang mengucapkan selamat pada Allan dan memberinya banyak hadiah mewah.

Bahkan Keluarga Kerajaan berperilaku seolah mereka merupakan orang-orang yang bermartabat dan menyayangi anggota keluarga mereka.

Allan jadi sangat ingin merobek seluruh topeng dan drama itu di depan umum.

"Selamat ulang tahun, Adikku. Akhirnya kamu akan melakukan Upacara Pendewasaan juga."

Allan bisa melihat postur tegap Pangeran Pertama, Ferdinanz Teratia. Laki-laki berusia sembilan belas tahun itu menepuk pundak Allan seolah mereka akrab, bahkan memeluk Allan sekilas.

Allan perlu menahan diri untuk tidak menghajar laki-laki yang ada di hadapannya ini. Tidak di depan umum.

"Terima kasih, Yang Mulia Pangeran Ferdinanz." Allan mencetak senyum lebar di bibirnya.

Ferdinanz terkekeh kecil. "Ada apa dengan panggilan kaku itu? Panggil saja aku Kakak. Dan tidak perlu bicara formal padaku. Kita adalah saudara, Allan."

"Baik, Kakak. Terima kasih."

Allan terlibat pembicaraan dengan Ferdinanz seolah mereka saudara yang akrab. Hal itu membuat Allan kesal karena seluruh bangsawan akan mengambil persepsi yang salah.

Pesta berlangsung lama dan meriah. Malam sudah larut. Jarum jam menunjuk angka delapan dan lentera demi lentera menyala terang di sekeliling Istana.

Allan sudah telanjur muak dengan seluruh basa-basi yang menurutnya tidak penting. Dia hanya ingin segera keluar dari ruang menyesakkan yang penuh dengan keserakahan dan topeng orang-orang.

Pada akhirnya, ketika Louise berdiri untuk menutup pesta, seluruh atensi tertuju pada pria paruh baya tersebut.

Garis kerutan Louise terlihat jelas di bawah cahaya lentera, tetapi tidak meninggalkan sosok tegas dan bermartabat.

Allan menggeretakkan rahang.

"Aku memiliki pengumuman yang penting," ujar pria itu sambil tetap memegang gelas wine.

Allan menahan diri untuk tidak memutar mata.

"Hari ini, di perayaan ulang tahun putraku yang keenam, aku ingin mengumumkan bahwa Allan Teratia berhak menjadi salah satu kandidat calon penerus tahta."

Hening.

Aula perjamuan sama-sama menaruh atensi ke setiap kalimat yang dikatakan Louise.

"Aku juga akan memberikan nama tengahku, Edelbert, sebagai bagian dari nama Allan. Berikan sambutan bagi Allan Edelbert Teratia, salah satu kandidat calon penerus tahta."

Setelah jeda, aula gempar. Tepuk tangan mengudara dengan meriah. Banyak yang meneriakkan nama Allan di sela-sela kebisingan ini.

"Aku ucapkan terima kasih pada seluruh bangsawan yang sudah datang untuk merayakan ulang tahun—"

"ARGH!"

Kalimat Louise terpotong oleh sebuah teriakan. Diikuti jatuhnya sebuah tubuh ke lantai marmer yang langsung basah oleh cairan darah. Tubuh itu milik prajurit yang menjaga pesta.

Allan membulatkan kedua matanya. Dia bangkit dari kursinya, diikuti oleh kepanikan yang mulai menyebar di aula.

"Teroris! Ada teroris di sini!"

"Ah! Tolong! Selamatkan aku!"

"Apa kau Magnolia, hah?!"

"Bajingan!"

"Di mana para ksatria dan prajurit sialan itu?! Mereka tidak melakukan tugasnya?!"

Kepanikan benar-benar menyebar selayaknya api di atas alkohol.

"Semua penjaga tidak sadarkan diri! Racun?! Mereka diracuni dengan racun lumpuh!"

"Sial! Siapa yang melakukan ini, brengsek?!"

Tubuh demi tubuh tergeletak di atas marmer dingin. Beberapa ikut terinjak oleh kepanikan para bangsawan yang berlomba-lomba untuk keluar dari ruang pesta.

"Samantha, Lilia! Cepat, ayo pergi!"

Allan bisa mendengar suara Hemione yang mengajak dua putri kerajaan untuk meninggalkan ruang pesta.

Allan mendesis.

Sedari tadi, yang Allan dengar hanyalah teriakan dan suara tubuh yang tergeletak ke lantai. Dia sama sekali tidak tahu siapa pelakunya.

Siapa pun itu, pelakunya berbaur di kerumunan.

"Ah! Teroris itu di sini!"

Indra pendengaran Allan yang tajam membuat laki-laki itu langsung menoleh. Irisnya menyipit, agar bisa menjarah jarak pandang yang jauh.

Di sana.

Allan bisa melihat.

Sekitar dua belas orang yang mengenakan pakaian serba hitam polos. Postur tubuh mereka sedang, wajah mereka ditutupi topeng keramik polos. Tidak ada simbol apa pun di pakaian mereka. Benar-benar polos seolah terorisme ini bukanlah dinaungi sebuah komunitas.

Dan selusin orang itu memegang bilah pedang yang dilumuri oleh darah prajurit mati. Selusin orang itu sedang kemari. Lebih tepatnya, menuju Keluarga Kerajaan.

"Singkirkan Keluarga Kerajaan!" teriakan salah satu dari selusin orang itu dibalas dengan sorakan semangat.

Trak, trak, trak.

Langkah sepatu mereka menggema di aula yang separuh kosong karena para bangsawan sudah meninggalkan aula.

"Lindungi Keluarga Kerajaan!" Beberapa ksatria bangsawan mengeluarkan pedang masing-masing dan mencoba untuk menghalau para teroris.

Trang!

Suara pedang beradu kini saling menggema.

Suara tangisan Samantha dan Lilia mendominasi. Permaisuri memeluk kedua putrinya dengan tubuh yang ikut bergetar karena takut.

Louise, Ferdinanz, Gale, dan Hemione melindungi diri dengan pedang mereka.

Sedangkan dua pangeran termuda berlindung di belakang kakak mereka.

Allan harus berhenti memperhatikan Keluarga Kerajaan karena salah satu orang berpakaian hitam itu mulai menargetkan dirinya sendiri.

"Helia! Mau ke mana kamu?! Jangan menjauh dari Kakak!"

"Allan!"

"Helia?!"

Trang!

Gadis itu menangkis serangan pedang yang dilayangkan pada Allan.

Demian menggeram ketika Helia mencuri pedang yang baru saja dia ambil dari penjaga yang mati.

"Helia! Menjauhlah!" seru Allan.

"Gunakan ini!" Helia menyerahkan pedang di tangannya pada Allan.

Allan berdecak kecil dan menerima bilah pedang dari Helia.

"Pergi ke kakakmu!" seru Allan sebelum menebaskan pedangnya pada lawan.

Allan tersenyum miring. Kini, dia memiliki senjata untuk para teroris ini. Artinya, Allan tidak akan terkalahkan.

Allan belajar banyak tentang ilmu berpedang dari Nate. Bahkan Nate sendiri mengatakan kalau Allan sudah sangat mahir dalam seni pedang. Tinggal beberapa langkah lagi, Allan bisa menjajah puncak sebagai master pedang.

Gerakan demi gerakan Allan membuat beberapa teroris tergeletak bermandikan darah.

Liukan tubuh yang sempurna dan mulus. Genggaman yang kuat dan pasti. Tebasan dan tangkisan yang indah semakna bintang yang menari-nari.

Allan melakukannya dengan baik. Sangat baik.

Ferdinanz membelalak ketika Allan dengan mudah menumbangkan lawan Ferdinanz.

"Allan?"

Segera saja, satu lusin teroris yang sulit dilumpuhkan oleh banyak ksatria sudah roboh oleh satu orang.

Allan mengembuskan napas. Melirik seluruh tubuh yang tergeletak di lantai.

Allan menunduk, mencoba untuk meraih topeng keramik yang menutupi wajah.

Namun, seseorang mencegahnya. Ketika Allan melirik wajah pria itu, Allan yakin bahwa orang itu adalah Duke Holland Floral hanya dari iris matanya yang merah.

"Biar saya saja, Yang Mulia," ujar Duke Holland, berusaha untuk tidak membahayakan Keluarga Kerajaan lebih jauh lagi.

"Aku tidak membiarkan yang satu ini mati. Introgasi dia," kata Allan sambil menjauhi onggokan tubuh.

Holland mengangguk patuh dan mulai membuka topeng keramik yang menutupi wajah pelaku.

Pelaku tersebut seorang pria di awal usia tiga puluh. Wajahnya asing, tetapi Holland yakin bahwa pria ini merupakan rakyat Teratia.

"Brengsek."

Allan mendengar gumaman dari sosok di sampingnya.

Ferdinanz.

***

"Kacau! Kacau! Kacau! Para bajingan itu tidak melakukan tugasnya dengan benar!"

Para pelayan menghindari setiap lemparan barang yang dilakukan oleh pangeran pertama.

"Yang Mulia—"

"Berisik, jalang!" teriak Ferdinanz. "Keluar! Keluar dari kamarku!"

Beberapa pelayan di dalam langsung melangkahkan kaki mereka keluar dari ruangan pribadi Ferdinanz dengan sorot ketakutan.

Prang! Prang!

Seluruh pernak-pernik berbahan kaca sudah pecah karena dilempar Ferdinanz secara ganas. Banyak sekali lukisan mahal yang robek dan jatuh ke lantai.

"Kakak, hentikan."

"Gale?! Kamu tahu itu, kan?! Kamu pasti tahu kalau Allan bajingan itu bisa berpedang?!"

Gale mengernyitkan dahinya iritasi. Dia meringis kesal dan melangkah ke arah kakaknya sambil menghindari pecahan kaca.

"Bajingan mana yang mau mengajari bajingan itu ilmu pedang?! Katakan padaku! Siapa pun ksatria sialan yang melakukannya, aku akan memenggalnya! ARGHHH!"

Gale sedikit bersimpati pada Ferdinanz yang depresi karena kegagalannya untuk membunuh Allan di pesta ulang tahunnya sendiri.

"Teroris palsu itu! Mereka juga gagal! Bunuh mereka!"

"Allan sudah membunuhnya, Kakak. Satu orang yang sudah disisakan Allan juga bunuh diri sesuai perintah Kakak."

"BRENGSEK!" Ferdinanz menendang meja bundar di sampingnya hingga terdorong beberapa meter.

"Tenanglah."

"Bagaimana aku bisa tenang?! Aku tahu dari awal saat Allan datang ke istana, dia akan membawa bencana! Kamu pikir apa yang dia lakukan di luar istana setiap malam?! Menyelinap keluar! Brengsek!"

"Kakak—"

"Gale, cepat atau lambat, lehermu juga akan terpenggal oleh bajingan itu."

Gale meraba lehernya. "Masih di sini."

"Dasar bodoh! Keluar dari kamarku! Ah, brengsek! Tahtaku, kekuasaanku, kekayaan, martabat. Jika Allan masih ada di istana, dia akan menjadi halangan bagiku!"

Gale menghela napas. Dia merapikan rambut emasnya sambil menghela napas.

Ferdinanz, satu-satunya kakak Gale yang sangat Gale sayangi. Maka dari itu, Gale akan melakukan apa pun untuk Ferdinanz. Gale tidak peduli tahta dan akan memberikannya pada Ferdinanz, bahkan membantu Ferdinanz ke puncak. Bahkan jika diperlukan, meracuni Allan dengan perlahan-lahan setiap hari.

"Kue itu."

Ferdinanz melotot marah. "Kue?! Kau membicarakan kue di saat seperti ini?!"

"Kue yang dikirim untuk Allan. Itu mengandung racun. Aku juga yakin bahwa Allan memakannya karena pelayan memberitahu. Namun, Allan tidak mati."

"Naikkan dosisnya."

"Kakak?"

"Naikkan! Kita harus membunuhnya! Harus!" Manik safir Ferdinanz menatap nyalang ke arah Gale. "Jika Allan tidak mati, aku yang akan mati."

Iris safir Ferdinanz membara. Di dalamnya, seolah tertera sebuah lautan dalam yang gelap. Penuh buih-buih dendam, takut, marah. Seakan-akan dapat menenggelamkan pemiliknya di sana dengan keji.

***

Besoknya, Allan dan Helia menyelinap keluar dari Istana dengan rute aman mereka pada pukul dua belas malam.

Dua kuda putih melintasi sebuah perumahan kumuh yang ditinggali. Rumah-rumah tersebut sudah roboh dan beberapa tidak berbentuk dengan semestinya.

Di sana gelap, sehingga tidak akan ada yang ingin ke sana bahkan hanya untuk melintasinya.

Akan tetapi, tidak ada yang tahu jika rupanya beberapa kilometer dari perumahan ini, terdapat sebuah tanah yang luas.

Di sana terang, tetapi tetap memastikan untuk tidak menarik perhatian.

Rumah-rumah sederhana dibangun dengan api unggun yang selalu dinyalakan setiap malam untuk menjaga tempat tersebut hangat.

Di sana, visi di balik ruby Helia memandangi sebuah panorama kehangatan.

Walau sudah lebih dari tengah malam, kehangatan di desa masih kentara. Seolah mengusir malam yang dingin dan beku.

Ketika Allan dan Helia mendekati desa kecil itu, atensi orang-orang teralih.

"Yang Mulia!"

"Ada Yang Mulia di sini!"

"Yang Mulia Pangeran dan Nona Helia di sini!"

Segera saja, pengumuman itu menyebar di desa kecil itu.

Orangtua dan anak-anak langsung mengelilingi sosok Allan dan Helia.

Namun, hanya anak-anak yang menunjukkan antusiasme mereka dengan jelas.

"Yang Mulia, apa Anda kedinginan?"

"Perjalanannya jauh, bukan?"

"Yang Mulia, Ibu baru saja memanggang kue! Yang Mulia menyukai makanan manis, bukan?"

Allan tersenyum kecil dan membalas beberapa kalimat anak-anak dengan lembut.

"Aku dengar, terdapat kerusuhan di Istana."

Allan menoleh untuk mendapati Nate di sana.

"Nate," panggil Allan.

"Kamu tidak terluka, kan, Allan?"

Plak!

"Nate! Panggil Allan dengan gelar Yang Mulia! Dasar tidak sopan!"

"Helia, aduh! Kamu sangat kasar! Tidak akan ada pria yang mau denganmu, lho!"

Allan hanya terkekeh kecil ketika Helia membelanya. Bukannya Allan peduli juga dengan semacam gelar seperti itu. Namun, menyaksikan Helia membelanya cukup manis.

"Nate, bagaimana progresnya?" tanya Allan.

Helia berhenti memukuli punggung Nate dan Nate langsung menatap serius Allan.

"Memuaskan. Seluruh Ksatria Rahasia semakin berkembang. Pemberontakan tidak akan memakan waktu sampai puluhan tahun seperti perkiraan."

Allan tersenyum miring untuk sesaat.

Di sini lah, tempat Allan memulai rencana pemberontakannya.

***

Writer's corner;

Kebanyakan flashback, wkwk. Tapi rame aja liat kehidupan Allan dan Helia without Auste.

Lama-lama aku bikin kisah masa lalu Allan dan Helia terpisah juga.

Anyway, kalau udah bosen sama flashback, chapter besok terakhir. Kalau yang kangen Auste, bisa ketemu lagi di chapter 21. Seeya!

29 Juli 2022