"Ini pekerjaanmu untuk hari ini." Helia meletakkan puluhan dokumen baru di atas meja.
Hal itu membuat Allan berdecih sinis, sebelum merebahkan kepalanya di atas meja.
"Helia, aku tidak mau mengerjakannya."
"Yang Mulia, itu tidak boleh. Kamu harus melakukan pekerjaanmu. Sebentar lagi adalah Perayaan Ulang Tahun Kerajaan."
Perayaan Ulang Tahun Kerajaan Teratia yang ke-132, selalu dicantumkan pada tanggal 23 April tahun Kerajaan Teratia. Di tanggal tersebut merupakan kemerdekaan yang diperoleh leluhur dari musuh-musuh. Dan pada tanggal 23 April, Kerajaan Teratia akan diwarnai oleh warna-warni selain putih yang merupakan simbol Kerajaan Teratia.
Di ibu kota, setiap tahunnya selalu terdapat festival meriah. Malam di sana akan diwarnai dengan tawa dan kembang api. Suasana yang sangat hangat. Festival akan berlangsung pada malam tanggal 22 April hingga malam 23 April.
Sementara di istana, terdapat pesta selama seminggu penuh yang hanya dihadiri oleh bangsawan dari berbagai daerah. Hal itu juga merupakan kesempatan dari berbagai pihak untuk berunding bersama raja mengenai bisnis. Kemudian, ada juga bangsawan muda yang melakukan debutnya di pesta tersebut.
"Lalu apa hubungannya dengan pekerjaanku?" tanya Allan, nada suaranya kesal.
Helia mengernyit. "'Apa hubungannya', kamu bilang?"
"Iya. Aku tanya, apa hubungannya dengan ulang tahun dan pekerjaanku."
Allan menghela napasnya, belum mengangkat kepalanya dari atas meja.
Helia ikut menghela napas. "Yang Mulia, pekerjaanmu akan lebih banyak ketika Perayaan Ulang Tahun Kerajaan selesai. Maka sebisa mungkin, kamu harus menyelesaikan pekerjaanmu yang sekarang. Menghindari penumpukan tugas."
"Malas, malas, malas."
Helia mengernyit kesal. Allan, meski dikenal sebagai raja yang tiran cuma seorang laki-laki berusia 25 tahun. Dia tergolong masih muda dan wajar bila dia merasa malas.
"Yang Mulia," panggil Helia. "Festival di ibu kota akan diadakan malam ini."
"Ya, lalu?"
"Kalau kamu melakukan pekerjaanmu sekarang, nanti malam ... itu, aku ... akan mengajakmu ke festival."
Allan otomatis mendongak, duduk tegak, dan menatap Helia dengan sorot terkejut.
"Kalau kamu tidak mau, tidak ap—"
"Aku mau!" potong Allan. Kedua iris safirnya berbinar senang. "Hanya saja, undangan itu seperti bukan kamu saja. Tapi aku tetap menantikannya. Dan itu ... hanya kita berdua, oke? Jangan katakan pada pengawal. Aku yang akan melindungimu."
Allan tersenyum lembut pada Helia. Senyuman khusus untuk Helia.
Senyuman itu sungguhan lembut hingga rasanya seorang Allan bukanlah pria tiran yang kejam, melainkan pria lemah lembut dan manis.
Helia merasa detak jantungnya terhenti, dia kesulitan bernapas. Beberapa saat kemudian, Helia mengangguk cepat.
"Aku juga menantikannya! Aku akan bawakan teh ke sini," kata Helia, keluar dari ruangan kerja tanpa menoleh lagi.
Pilar putih besar menopang tubuh Helia yang lemas. Dia mencengkeram dadanya, sakit. Jantungnya bertalu-talu dengan antusias.
"Sial, rasanya aneh," kata Helia, menggigit bibir.
***
Pukul sepuluh malam, suasana festival di ibu kota sangat hangat.
Banyak stan yang menjual pernak-pernik dan makanan. Ada juga stan ramalan, yang anehnya penuh oleh antrean.
Air mancur di tengah ibukota, berkilauan diterpa cahaya lentera yang menyala. Ibukota tidak pernah suram setiap malamnya, tetapi khusus malam ini, ibu kota berkilauan dua kali lipat dari biasanya.
Pada tanggal 23 April ini, hari yang spesial bagi Kerajaan Teratia. Di mana setiap penderitaan leluhur mereka karena kolonialisme, berakhir, digantikan sorak kemenangan. Untuk merayakannya, digelarlah festival.
"Untukmu," kata Allan, menyerahkan daging tusuk yang dibakar pada Helia. Gadis yang duduk di bangku dekat air mancur menerima daging tusuk dari Allan.
Helia dan Allan, yang mengenakan jubah berwarna putih, berkeliling festival tanpa pengawal seorang pun. Di dalam jubah mereka, terdapat pedang untuk membela diri, tetapi harapan mereka adalah tidak menggunakannya pada malam festival.
"Ini lumayan enak," kata Allan, selesai memakan dagingnya.
Helia terkekeh. "Membayangkan kalau Raja kerajaan ini sedang membeli daging tusuk."
"Hentikan itu."
Helia tertawa.
"Kembang apinya akan dimulai pukul dua belas, kan?"
Helia mengangguk sebagai balasan. "Sudah lama aku tidak datang ke festival ibu kota, mungkin lima tahun lalu. Itu juga bersama kakakku."
"Oh, Demian? Dia cukup dekat denganmu. Apa kamu rindu padanya?"
"Dia satu-satunya anggota keluarga yang selalu ada di sampingku, aku tentu merindukannya. Tapi dia akan jadi Duke di masa depan, maka kita akan sering bertemu di istana bukan?"
Allan mengangguk, tersenyum. "Ayo keliling festival dulu. Kita harus kembali sebelum pukul satu atau istana akan gempar."
"Kamu benar."
Allan kemudian bangkit dari kursi, diikuti Helia. Allan mengulurkan tangannya, menggenggam langsung tangan Helia.
Helia merona samar di balik tudung jubahnya. Keduanya kemudian menyusuri festival dengan tangan saling menggenggam. Saling memberi kehangatan pada udara malam yang dingin.
Allan tidak bisa menahan untuk tidak membeli makanan di semua stan yang mereka lewati. Membuat Helia terkekeh kecil.
"Tunggu sebentar," kata Allan, melepaskan genggaman tangan mereka.
Helia mengernyit, menatap punggung Allan yang menghampiri salah satu stan.
Dia kembali beberapa saat kemudian dengan gelang besi dan permata merah, tentu imitasi.
"Yang ini imitasi, tapi aku mau memberikannya untuk mengingat malam ini." Allan meraih tangan kiri Helia, memasangkan gelang itu di tangan Helia. "Ketika kembali ke istana, aku akan mengirimu permata asli."
Helia menunduk, menatap gelang di tangannya sambil merona. "... Tidak apa," sahutnya pelan.
"Kamu mengatakan apa?"
Helia mendongak, menatap Allan yang lebih tinggi dua puluh senti darinya. "Tidak apa-apa. Aku menyukai gelang ini."
Allan tersenyum lembut, menyelipkan rambut emas Helia yang menutupi matanya. "Aku tetap akan mengirim permata yang asli."
Helia menghela napas. "Terserahmu saja."
Allan tertawa puas. "Sekarang ayo coba ramalan."
"Ramalan?"
Allan menunjuk stan ramalan, yang kini keramaiannya sudah berkurang. Menyisakan orang-orang yang bisa dihitung jari saja.
"Kamu percaya ramalan, Allan?"
"Iya, bagus, panggil namaku saja daripada 'Yang Mulia'."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Aku tidak percaya ramalan." Allan tersenyum lebar. "Aku mau meramal karena sepertinya menyenangkan. Dan mungkin saja tidak akan ada kesempatan soal mendengar ramalan ini di masa depan untukku. Jadi, begitulah."
Helia mengangguk. Menjadi raja di usia 22 tahun merupakan pencapaian yang besar bagi Allan. Namun, hal itu pula yang membuat kebahagiaan dan kebebasan Allan terenggut.
"Ayo meramal," kata Helia, dia tersenyum. Sebisa mungkin, Helia ingin membuat memori menyenangkan bagi Allan di kesempatan ini. Menarik tangan Allan menuju stan ramalan. Mereka mengantre.
Ketika sudah giliran Allan, Allan duduk di atas kursi merah. Sementara Helia berdiri di samping Allan.
Di hadapan mereka, terdapat nenek tua yang mengenakan selendang merah transparan, menutupi rambut beruban, hidung, serta mulutnya. Kedua tangannya yang kurus tanpa daging dilapisi puluhan gelang emas, menimbulkan bunyi gemerincing pelan ketika tangan bergerak di atas bola ramalan berwarna ungu.
"Aku mau meramal soal—"
"Harganya lima puluh tera," potong nenek itu.
Allan mengernyit. "Ini perampokan," katanya.
"Maka tidak ada ramalan."
Allan berdecih, mengeluarkan koin emas berukuran sedang yang bernilai lima puluh tera. Untung saja dia kaya.
"Aku mau meramal soal—"
"Ramalan yang aku buat tidak bisa disuruh-suruh olehmu," potong si nenek tua sinis.
Allan berdecak. "Jadi ramalanku itu terserahmu?"
"Tepat, Tuan Muda."
Allan mengernyit kesal, tetapi tetap memberikan atensi pada si nenek tua. Kini, nenek tua itu menggerakkan tangannya di atas bola ramalan dengan mata tertutup.
"Cinta. Air mata," gumam nenek tua itu, yang masih bisa didengar keduanya.
Si nenek tua membuka mata, menatap tepat pada Allan.
"Akan ada satu yang mendapatkan cinta di pesta kerajaan, sementara akan ada satu jiwa yang menangis di tengah malam dan misterinya."
Tepat setelah apa yang nenek tua itu katakan, kembang api meledak di belakang mereka. Bersahutan. Di langit malam yang berubah menjadi warna-warni.
Orang-orang berkumpul, mendongak, menatap kembang api yang meledak di langit dengan mata berbinar.
Si nenek tua melanjutkan di tengah ledakan kembang api, "Itu artinya Anda akan mendapatkan cinta, Yang Mulia Raja Allan."
***
writer's corner:
please support the story and promote this if you find my story is enjoying.
haha.
5 Juli 2022