Zona Kematian (Haimati)
Udara dingin menusuk kulit menipiskan cadangan oksigen hangat yang bisa dihirup oleh tubuh. Tak ada kehidupan dan pergerakan dari penduduk di tempat yang disebut Zona Kematian. Sebuah wilayah yang ditinggalkan penduduknya karena cuaca ekstremnya yang tak bisa dijadikan tempat tinggal yang layak. Rei duduk diam bermeditasi melipat kaki nya di sebuah gua di tengah gunung.
Kakek Linco yang sudah mengalirkan energi sihir di badannya membuat Rei sedikit lebih hangat. Remaja itu mulai mampu mempertahankan energi panas di tubuhnya. Dia duduk memejamkan mata, mendengarkan suara api perapian, suara tetesan air dari sumber di dalam gua dan mendengarkan hembusan angin yang sepertinya kencang di luar.
Bocah itu sendirian, dia ingin membuka kunci energi dasar yang lama disegel dalam dirinya. Hanya saja saat bermeditasi ada pikiran-pikiran aneh melintas. Entah kenapa Rei merasa seperti ada yang salah dengan ingatannya di dunia.
Memang dia ingat bahwa dia adalah anak dari Ibu Anastasia, Ayah William dia tinggal di Jerman lalu ke Indonesia hanya saja ingatan itu tidak penuh. Dia lupa seperti apa senyum ibunya saat dia balita, seperti apa ayahnya saat mengajaknya olahraga, bahkan Nenek Mariana, dia lupa apa saja yang dia lakukan dengan nenek itu saat dia masih kecil. Seperti hanya ada penggalan-penggalan memori di otaknya tapi ternyata setelah dirunutkan semua itu tidak komplit.
Rei mencoba menghilangkan pikiran-pikiran aneh itu. Kali ini dia akan lebih konsentrasi dengan cara mengosongkan pikirannya. Benar saja bayangan-bayangan itu lambat laun hilang dan Rei benar-benar masuk ke fase meditasi yang dalam. Dia tidak bisa mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya bahkan dia tidak merasakan lapar. Remaja 13 tahun itu menjadi sangat TENANG.
Usai menemui Ewa Lani dan Cedrico di Hutan Hujan Kristo, Kakek Linco kembali ke Haimati, dia melihat Rei yang sangat konsentrasi tak menyadari kedatangannya. Rupanya Rei sudah mulai bisa membuka energi dasarnya. Aura kemerahan tampak mulai keluar dari badan Dionne itu. Walaupun energinya masih sangat samar.
Entah apa yang terjadi, Rei mulai terbangun dan membuka matanya. Dia melihat ada Kakek Linco yang ternyata duduk santai menemani meditasinya.
"Kakek di sini sudah lama?Aku tak mendengar Kakek datang?" ujarnya heran.
"Oh ya? Aku sudah ada di sini sekitar seminggu yang lalu," jawabnya di luar dugaan.
"Seminggu? Berapa lama aku bermeditasi?"
"Sekitar sebulan! Kenapa? Apa kau tak merasakannya? Waktu terasa berjalan sangat cepat bukan?" duga Kakek Linco.
"Iya, tak kusangka secepat ini, aku merasa hanya tidur sekitar 10 menit Kakek!" ujar Rei.
"Ya begitulah, hal ini dikarenakan kau kemarin masuk ke fase meditasi yang dalam, terasa sebentar untukmu, tapi sudah sangat lama untuk orang lain," jelas Kakek Linco.
"Lalu Kakek apa ada kabar dari luar? Bagaimana dengan Iyork? Apa terjadi perang di luar sana?" tanya Rei mulai khawatir.
"Ya begitulah Rei, pasukan dari Iyork mulai melancarkan serangannya ke kota-kota yang tak mau bergabung menjadi sekutunya. Mereka membakar kota-kota dan membunuh banyak orang. Benar-benar pemerintahan yang sangat kejam!"
"Astaga, mereka sungguh jahat! Aku masih khawatir dengan nasib temanku! Apa benar Nona Ewa Lani ada di dunia bawah? Ataukah dia sudah kembali di dunia atas? Semoga dia baik-baik saja!" ujar Rei sedih.
"Jangan khawatir dia baik-baik saja Rei! Aku bertemu dengannya satu bulan yang lalu. Dia mencarimu sampai ke Hutan Hujan Kristo. Dia juga mengkhawatirkan kondisimu. Hanya saja aku melarangnya untuk datang menemuimu. Aku takut nanti kehadirannya malah menggangu meditasimu. Karena saat membuka energi dasar dan terjadi kegagalan dalam bermeditasi bisa saja menyebabkanmu cacat, akan ada lonjakan energi tak terkontrol yang bisa berbalik melukai dirimu sendiri!" jelas Kakek Linco panjang.
"Lalu di mana dia sekarang? Apa dia menungguku di Hutan Hujan Kristo?"
"Aku menyuruhnya pulang dan dia setuju untuk segera pergi ke Hutan Carmella. Mungkin dia sedang memperingatkan ibunya tentang kekacauan yang dilakukan iyork.
"Jadi dia pergi, padahal aku sangat ingin bertemu dengannya. Ya tentu saja dia pergi, aku meditasi sangat lama!" gumam Rei yang tampaknya masih kecewa karena tak bisa bertemu temannya.
"Sudahlah Rei, oh iya ini..! Dia meninggalkan ini untukmu!" Kakek Linco memberikan gelang titipan Ewa Lani.
"Gelang?"
"Gadis itu bilang, gelang ini milik ibumu Anastasia, selama ini Reina kakak kembarmu yang menyimpannya. Dia menitipkan gelang ini untuk diberikan padamu melalui Ewa Lani,"
"Reina? Jadi benar Reina adalah saudaraku? Apa Ewa lani datang bersama kakakku juga? Apa mereka bersama?"
"Tidak Rei, saat ini Reina masih ada di Green Hole. Tempat itu sangat aman, sebaiknya dia ada di sana sementara waktu! Nah, sekarang kau tak perlu mencemaskan mereka lagi! Yang perlu kau lakukan hanyalah berlatih untuk mendapatkan kekuatanmu sebagai Dionne!" saran Kakek Linco.
Rei menerima gelang batu dari Kakek Linco. Dia mengamati dengan seksama gelang batu merah milik ibunya itu. Tiba-tiba Rei merasa ada yang salah dengan kepalanya, dia merasa pusing dan ada bayangan memori yang tiba-tiba muncul tentang masa lalunya.
Dalam bayangannya Rei melihat, tawa ceria seorang gadis kecil yang berlarian berkejaran dengannya di sebuah padang rumput. Ayah dan ibunya juga ada di sana. Mereka tampak sangat tenang dan bahagia. Rei mulai mengingat wajah seorang wanita. Mata, hidung, dagu, rambut hitam panjang dan kulit putih yang bersih. Wanita itu tersenyum ramah. Wanita yang tak ada dalam ingatannya selama ini, tapi terasa sangat dekat.
"Kau kenapa Rei?" tanya Kakek Linco yang melihat keanehan pada diri muridnya.
"Entah lah Kakek, aku seperti melihat sebuah memori lama saat memegang gelang ini. Tapi aku tidak tau sebenarnya itu ingatanku atau hanya halusinasi karena aku sangat lapar," ujar Rei.
"Mungkin kau lelah, makanlah dulu sudah sebulan kau tak makan apa-apa. Sangat wajar kalau kau berhalusinasi. Makan lah sup jamur Ling Ci ini untuk menyegarkan badanmu. Aku juga membuat ikan bakar dan ubi kesukaanmu. Makan yang banyak!" saran Kakek Linco.
"Iya Kek, terima kasih," Rei yang lapar langsung makan dengan sangat lahap. Dia tak sadar bahwa gelang yang dia bawa sekarang memang berkaitan erat dengan memori masa lalunya.
(Satu bulan yang lalu di Hutan Hujan Kristo)
Ewa Lani yang mendengar tentang Rei yang bermeditasi dan Reina yang memiliki energi Dionne mulai optimis bahwa mereka mempunyai kesempatan setidaknya untuk bisa melindungi diri dari seragan Iyork yang pelan tapi pasti.
"Tuan Linco..! Apa aku bisa menemui Rei sebentar saja?"
"Jangan Nona Ewa, kau bisa merusak konsentrasinya! Kau tau kan fase terdalam di meditasi, Rei bisa terluka bila dikejutkan oleh hal-hal dari luar!"
"Baiklah Tuan, aku titip dia padamu. Tolong jaga dia! Oh iya, apa bisa aku mengajak Grif bersamaku. Aku ingin pulang ke Hutan Carmella untuk sementara waktu. Aku harus memberitahu ibuku tentang Floy dan Iyork," ujar Ewa lani.
"Kau butuh kendaraan untuk pulang? Aku bisa dengan cepat mengantarkanmu lewat air Ewa Lani!" tawar Cedrico.
"Sudah kubilang, aku tak suka air!" jawabnya ketus.
"Bawa saja Burung Roc itu bersamamu Nona. Rei masih punya Scot, macan besar itu juga punya sayap jika Rei berhasil mengendalikannya!"
"Maksudmu macan legendaris itu? Ah, apa dia benar-benar aman?"
"Mungkin untuk orang lain tidak, tapi kurasa cukup aman untuk Rei. Bawa saja Burung Rocmu ke Carmella aku rasa kau memang butuh tumpangan agar bisa segera sampai ke sana!" saran Kakek Linco.
"Terima kasih Tuan Linco, aku pergi sekarang!" pamit Ewa Lani seusai mendapatkan Burung Rocnya kembali.
"Ya Nona, tak masalah!"
"Sampai jumpa Linco, aku akan pulang bersama Ewa Lani ke Hutan Carmella, sudah seharusnya aku menemui calon mertuaku dulu!" pamit Cedrico juga.
Ewa Lani menatap Cedrico dengan dingin, sebenarnya dia tak mau diganggu oleh pria itu. Tapi bagaimana lagi dia sudah terikat sumpah peri dengannya, Ewa Lani mau tak mau harus mengajak Cedrico pulang bersamanya.