Chereads / Bertahan atau Pergi / Chapter 5 - BAB 5

Chapter 5 - BAB 5

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, kini mobil yang dikendarai oleh Pak Wijoyo telah sampai di sebuah desa yang bernama desa Marga Asih. Desa yang memang letaknya cukup jauh dari perkotaan.

Bahkan jalanan yang sedari tadi dilewati hanya ada rumah warga yang dikelilingi oleh kebun teh. Diliihat dari cuacanya yang seperti ini, pasti akan membuat Elmira merasa nyaman berada di sini, sangat jauh berbeda dengan suasana di perkotaan.

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sederhana, lokasi ini persis seperti yang diberikan oleh Bu Nilam. Elmira turun dari mobil dan berjalan mendekati seorang wanita yang sedang menjemur pakaiannya.

"Permisi, Bu."

Wanita itu menoleh dan menatap penampilan Elmira dari bawah hingga atas, sesaat kemudian wanita itu tersenyum ramah. "Iya, Neng?"

"Mau tanya, rumah yang itu pemiliknya Ibu bukan?" Elmira bertanya sembari menunjuk rumah yang bersebelahan dengan rumah wanita yang ia hampiri.

"Oh iya, Neng ini dari kota yang mau ikut pertukaran pelajar, kan?"

Dengan cepat Elmira mengangguk seraya tersenyum. "Iya, Bu. Saya dari SMA Pelita Bangsa, kepala sekolahnya bernama Bu Nilam."

"Sebentar ya, Neng. Saya ambil kunci rumahnya dulu," wanita itu masuk ke dalam rumahnya.

Sambil menunggu wanita pemilik rumah itu mengambil kuncinya, Elmira berjalan menghampiri mobilnya yang terparkir. "Pak, tolong turunin koper saya ya."

"Siap, Non!"

"Neng!"

Elmira menoleh begitu dirinya dipanggil, gadis itu mengangguk saat melihat wanita itu menunjukkan kuncinya. Elmira kembali menghampiri wanita itu dan mengikutinya saat berjalan menuju rumah di sebelahnya.

"Neng dua orang kan nanti di sini? Kebetulan rumah ini juga ada dua kamar, luasnya sama kok," beritahu wanita itu sambil membuka pintu rumah.

Gadis itu mengangguk paham. "Kalau boleh tahu nama Ibu siapa?"

"Saya Siti. Kebetulan orang-orang di sini seringnya manggil saya dengan sebutan Bi, jadi Neng panggil saya kayak gitu aja."

Lagi, Elmira mengangguk paham. "Saya Elmira, Bi."

"Iya, iya, Neng Elmira," Bi Siti mengucapkan nama Elmira seolah sembari mengingatnya. "Biar saya gak lupa, boleh gak kalau saya manggilnya Mira aja?"

Tanpa merasa keberatan Elmira mengangguk. "Iya, gak apa-apa, Bi."

"Neng, kalau perlu apa-apa panggil saya aja. Saya pergi dulu ya, Neng," pamit Bi Siti yang langsung diangguki oleh Elmira.

Pak Wijoyo yang kebetulan berada di ambang pintu langsung keluar, memberikan celah pada Bi Siti untuk keluar dari rumah itu. Pria itu masuk sembari membawa koper Elmira. "Nama Non udah bagus malah mau dipanggil kayak gitu sama orang yang baru dikenal, Non," Pak Wijoyo berdecak heran.

Mendengar itu membuat Elmira terkekeh pelan. "Gak apa-apa, Pak. Mau dipanggil El, Mira, Elmira, gak masalah buat saya, Pak."

"Ini disimpan di sini aja, Non?" tak ingin memperpanjang akan hal itu, Pak Wijoyo mengalihkan pembicaraan mengenai tiga koper yang ia bawa.

"Di sini aja, Pak. Makasih banyak ya mau bantu saya, Pak."

"Lho, itu udah kewajiban saya sebagai pekerjanya Tuan Bram sama Nyonya Yulianne. Atau Non mau saya bantu juga untuk beresin bajunya?"

Dengan cepat Elmira menggeleng. "Gak perlu, Pak. Saya bisa sendiri kok. Bapak langsung pulang aja sekarang, takutnya nanti mereka nyariin."

Pak Wijoyo pun mengangguk. "Non jaga diri di sini ya, jangan sungkan untuk telepon saya, Pak Nano atau Bi Marni."

Elmira tak sanggup untuk menjawabnya, gadis itu hanya mengangguk sebagai responnya. Tak apa jika kedua orangtuanya tak perhatian padanya, setidaknya Elmira masih memiliki orang-orang yang menyayanginya, seperti Pak Wijoyo, Pak Nano dan juga Bi Marni.

Selama ini mereka yang selalu ada untuknya, terutama Bi Marni. Wanita itu selalu berusaha memastikan bahwa dirinya baik-baik saja, dan mencoba untuk menjadi sandarannnya di kala semesta sedang tak berpihak padanya.

**

Elmira menatap pantulan dirinya di cermin hadapannya dengan senyuman tipisnya, ini hari pertamanya ia bersekolah di tempat baru. Maka dari itu, Elmira harus bersemangat dan tersenyum di hadapan semua orang seolah semuanya baik-baik saja.

Tangannya meraih parfum yang berada di atas meja lalu menyemprotkan wewangian itu ke beberapa bagian yang biasanya disemprotkan parfum. Selesai itu, Elmira menaruhnya ke tempat semula lalu meraih tas sekolahnya yang tergeletak di atas kasur.

Meraih kenop pintu dan memutarnya, setelah itu Elmira mengetuk pintu di samping kamarnya.

"Rivanya, lo udah siap?"

"Bentar! Kamu duluan aja sarapan, El."

"Oke," gadis itu berjalan menuju ruang makan lalu duduk di salah satu kursi, menyendokkan nasi goreng yang sudah dibuat oleh keduanya tadi sebelum pergi mandi.

Baru Elmira menyuapkan nasi gorengnya, bersamaan dengan itu pula Rivanya datang dan duduk di sampingnya, melakukan hal yang sama sepertinya tadi.

"Anya, kita sekelas atau enggak?" tanya Elmira di sela-sela mereka makan.

"Kayaknya enggak, soalnya informasi yang aku denger dari Bu Nilam kalau di setiap kelas cuma ada satu murid," jawab Rivanya menjelaskan.

Mendengar itu Elmira mengangguk paham, jika memang nanti dirinya tak satu kelas dengan Rivanya maka Elmira harus bisa beradaptasi dengan orang-orang baru lagi. Ia tidak tahu apakah nanti akan bertemu dengan orang yang sifatnya dimiliki oleh Alana atau tidak.

Beberapa menit kemudian mereka berdua telah menyelesaikan sarapannya, Elmira lebih dulu berjalan keluar dari rumah lalu disusul oleh Rivanya yang langsung mengunci pintu rumah. Jarak dari rumah ke sekolah sangat dekat, hanya memakan waktu lima menit saja dengan berjalan kaki.

Pasalnya mereka berdua kemarin sudah melihat sekolah baru mereka dan tetangga sebelah—yang memiliki rumah yang mereka tempati mengatakan bahwa sekolahnya sangat dekat dan cukup dengan berjalan kaki saja.

Lima menit kemudian, mereka sudah sampai di sekolah dengan bangunan yang jelas berbeda jauh dengan sekolah lama mereka berdua. Bahkan sekolah ini tak memiliki pagar, pos satpam pun tak ada.

Begitu keduanya melangkahkan kaki langsung menjadi sorotan semua siswa yang sudah berada di sekolah, bahkan yang tengah berjalan menyusuri koridor pun memilih untuk menghentikan langkahnya demi bisa melihat mereka berdua.

"Gue berasa jadi artis kalau dilihatin kayak gini, Nya," bisik Elmira pada Rivanya yang langsung terkekeh mendengarnya.

"Kamu tenang aja, gak perlu gugup atau malu. Senyum aja kalau ada yang lihatin kita," balas Rivanya dengan berbisik juga.

"Gue gak bisa kalau jadi sorotan kayak gini."

Mungkin untuk Rivanya memang sudah jadi hal biasa, hal itu pasti karena Rivanya merupakan gadis yang sangat cantik. Maka, tak ayal jika semua orang langsung memusatkan perhatiannya pada Rivanya, sedangkan dirinya tak pernah menjadi sorotan semua orang.

"Mulai sekarang kamu harus mulai terbiasa, apalagi kamu harus aktif sekarang karena ada tugas yang harus kita penuhi."

***