Chereads / TERROR OF THE NIGHT / Chapter 8 - Mengeksplor Sebuah Mimpi

Chapter 8 - Mengeksplor Sebuah Mimpi

Terengah-engah, John mendapatkan kembali penglihatannya setelah beberapa waktu tetapi tidak tahu berapa banyak waktu yang telah berlalu. Dia hanya mendapati dirinya bangun dari tempat tidur dan berdiri di depan meja dengan tangan kanannya memegang erat bahu kanan wanita berbaju putih itu.

Dalam sepersekian detik, wanita berbaju putih, yang punggungnya menghadap ke arahnya, langsung mengerut seperti balon bocor dan sosok itu memudar dan menghilang. Hanya gaun putihnya yang tertinggal di kursi.

John kembali merasa terpaku di tempat. Dia melihat ke bawah, mencoba memeriksa gaun itu, yang dengan cepat meleleh seperti lilin putih dan menghilang sama sekali hanya dalam hitungan detik.

"Aku telah berhasil!" John merasa lega. Dia terlihat begitu terengah-engah dan melihat sekeliling, dia mendapati dirinya masih di kamar tidurnya. Tetapi, ada sesuatu yang terasa salah; kecuali meja, tempat tidur, lantai, langit-langit, dan lampu gantung yang dia pandangi, detail lain di dalam kamarnya buram.

John mengulurkan tangan untuk menyentuh kursi yang ada di kamarnya. Tetapi, dia tidak bisa merasakannya, seolah-olah dia mengenakan sarung tangan tebal.

"Apakah aku masih dalam mimpi?" John tiba-tiba sadar. Dia berusaha mempelajari cara untuk menentukan apakah seseorang masih dalam mimpi, dan salah satu metodenya adalah dengan melihat detail yang ada di sekitarnya.

Berpikir sejenak, pikirannya berputar-putar. John membungkuk dan dengan hati-hati memeriksa tekstur kursi kayu. Tekstur dan pola lengkung pada kursi kayu hitam itu sama sekali tidak terlihat seperti serat kayu, melainkan lebih seperti lukisan binatang aneh. John merasa familier tetapi tidak dapat mengidentifikasi namanya.

"Sepertinya aku benar-benar masih berada dalam mimpi," John mengatakannya dengan bersemangat dan tidak lagi takut. Dia masih bisa bergerak bebas. Kamar tidur, rak buku, tempat tidur, meja, dan kursi kayu sama seperti aslinya, kecuali detail beberapa sudut yang kabur seperti mosaik.

Menenangkan dirinya, John perlahan mengalihkan pandangannya ke ujung tempat tidur, di mana orang yang membuat langkah kaki itu berdiri lebih awal tetapi sekarang telah pergi. John juga melihat melalui pintu yang terbuka dan memperhatikan bahwa koridor sempit itu bermandikan cahaya merah redup.

Dia berhenti sebelum dia perlahan bergerak untuk membuka pintu. Melangkah keluar ke bagian koridor terasa seperti berjalan di atas kapas; dia bahkan tidak bisa merasakan lantai. John sadar bahwa dia berada di lorong rumahnya, tetapi ada ilusi berjalan di atas karpet yang lembut dan halus.

Melalui jendela kaca di sisi kiri koridor, John melihat suatu cairan berwarna merah tua mengalir perlahan dalam situasi yang hening di luar sana. Dia terus menyentuhnya tetapi tidak merasakan apa-apa.

"Itu pasti sifat khusus dari mimpi ini. Aku masih ingat kurangnya rasa sentuhan dalam mimpiku sebelumnya." Pikiran itu terlintas di benak John, tetapi dia tidak berhenti. Sebagai gantinya, dia menarik tangannya dan terus berjalan menyusuri koridor.

Rumahnya di mimpi itu sama seperti aslinya, desain dan tata letaknya sama. Koridor itu panjangnya hanya belasan meter, dan di ujungnya, dapur ada di sebelah kiri, sedangkan ruang tamu di sebelah kanan. Ketika Lin John masuk di antara dapur dan ruang tamu, dia mengintip ke sekeliling.

"Kemana aku harus pergi?" Selimut kabut sepertinya menutupi kesadarannya dalam mimpi. Dia punya perasaan bahwa dia perlu memusatkan pikirannya untuk tetap berada dalam mimpi. Kalau tidak, dia akan segera bangun.

Setelah ragu-ragu selama beberapa detik, John memutuskan untuk melangkah ke kiri, di mana dapur berada. Dia ingin memeriksa apakah makanan yang dia makan dan hidangan di siang hari masih ada. Anggota keluarganya biasanya akan meninggalkan sisa makanan di atas meja dan menutupinya dengan penutup makanan anti lalat.

Dia dengan lembut mendorong pintu hingga terbuka dan hal itu berhasil mengejutkannya. Wastafel, meja makan, dan talenan semuanya masih berada di posisinya masing-masing.

Ubin putih di dinding, ubin kisi hitam dan putih di lantai, dan sayuran yang baru dibeli di sudut dapur, semuanya ada di sana. Beberapa wortel merah berserakan di sekitar tas belanjaan, potongan kubis masih memiliki embun di daunnya, dan ada dua tomat yang bulat dan sebesar apel. Tomat itu konon merupakan varian baru yang lebih bergizi.

"Semuanya sama seperti kenyataannya, tapi apa ini?" John dengan hati-hati berjalan melewati bahan makanan tersebut. Matanya mendarat di celah di dinding di sisi kanan dapur.

Retakan, yang tampak seperti lorong, seharusnya tidak ada di sana. Tingginya lebih dari satu meter dan lebar setengah meter dengan kabut hitam bergulir di dalamnya.

John Lin berdiri membatu di depan lorong. Dapur di sekitarnya tampak berputar dari waktu ke waktu bagai mimpi, tidak mungkin seperti ilusi yang mengalir. Tak tahu berapa lama hal itu terjadi, sepuluh detik, atau dua puluh detik. Tidak ada konsep waktu yang pasti dalam mimpi. John perlahan mengangkat kakinya dan berjalan lebih dekat ke arah lorong.

"Retakan ini… sepertinya ada hubungannya dengan sosok di dalam mimpi yang membuatku takut sebelumnya."

John memiliki banyak dugaan di dalam hatinya saat ini.

"Deru nafas yang mengalir ke dalam memberiku perasaan yang sama seperti ketika aku mengalami mimpi tersebut!"

Dia hanya berdiri di depan retakan itu, tetapi entah mengapa terasa bahwa kulit di bagian depan tubuhnya cukup dingin dan agak kaku. Hal itu persis sama dengan yang dia alami sewaktu dirinya bermimpi buruk.

"Aku ingin masuk dan melihat."

John berhenti, lalu mengambil keputusan. Dia sadar bahwa dirinya tengah bermimpi dan bukannya sedang sekarat. Rasa penasaran juga akhirnya membanjiri sedikit ketakutan yang terbetik di dalam hatinya saat ini.

Dia menenangkan diri sejenak, kemudian mengangkat kakinya perlahan. Dirinya melangkah ke arah celah tersebut. Langkah demi langkah dia arahkan sembari mengosongkan rasa takut yang menjanggal di batinnya.

"Hah..."

Begitu kepalanya memasuki celah tersebut, John mulai merasa sangat kedinginan, seolah-olah dirinya masuk ke dalam air es yang begitu menggigil.

Matanya tampak menggelap, dan ada gumpalan angin di kedua sisi yang dapat dirasakan. Memutuskan untuk mengabaikan segalanya, dalam tiga detik, dia segera melintas. Sensasi dingin memudar secara perlahan, meskipun masih terasa cukup dingin, tetapi John tampak sudah bisa menyesuaikan diri.

**To Be Continued**