Dia menatap dirinya sendiri. Dia masih mengenakan celana piyama berwarna abu-abu. Sebuah celana yang sama yang dia kenakan sebelum tidur.
"Bahkan talinya juga sama persis." John mengangkat tangan kanannya, dan melihat pakaian yang dia kenakan ternyata sama dengan yang ada di dunia nyata.
John berhenti, bergerak dengan tegas dan berjalan lurus menuju ruang belajar. Dia telah mengunjungi sisa rumah bangsawan, dan sekarang dia paling tertarik pada ruang belajar, terutama buku yang dibuka olehnya kemarin di atas meja.
Dengan cepat dia membuka pintu kayu itu, John segera melangkah kembali ke ruang kerja yang dia tinggalkan terakhir kali.
Penelitiannya sama seperti sebelumnya. Dua rak buku yang tertata dengan kumpulan buku. Setumpuk buku itu berada di atas kayu tersebut, sedangkan ada sebuah buku besar yang tengah terbuka di atas meja.
John melangkah lebih dekat, duduk di kursi yang ada. Dia melihat dengan hati-hati pada isi buku itu. Teks dan grafik yang padat, tetapi dengan jelas.
"Ini sangat nyata. Sungguh tak berasa seperti bermimpi."
Untuk memastikan apakah dia sedang bermimpi, dia mengulurkan tangan dan meremas sudut-sudut meja kayu. Perasaan sentuhan yang dirasakannya masih sama seperti sebelumnya.
Rasanya mirip seperti kain katun yang sangat tebal, dan ujung-ujungnya tidak tajam. Hanya saja perbedaannya kali ini sentuhan yang dilakukannya terasa jauh lebih nyata dan halus daripada sentuhan dalam mimpi sebelumnya.
Sambil menarik tangannya, John kembali mencoba fokus pada buku yang ada di depannya. Sebagian besar teks tulisan kuno itu membuat kepalanya sakit.
"Aku tidak memiliki ingatan yang kuat. Aku dapat menulis sedikit demi sedikit. Tapi, berapa lama waktu untuk membaca halaman ini?" John lantas terdia setalah bergumam.
Setelah memikirkannya, dia masih memutuskan untuk terus melanjutkan aksinya dengan terus menerjemahkan sedikit demi sedikit. John berpikir mungkin dia akan menjadi mahir setelah melakukan hal ini berulang kali.
"Sepertinya aku masih harus kembali ke profesi lamaku."
Kehidupan John sebelumnya sering terlibat dalam terjemahan teks-teks kuno. Untungnya, aksara yang digunakan di dunia ini, setara dengan bahasa Inggris kuno, meskipun lebih tidak jelas, tetapi masih dapat diterjemahkan secara kasar. John telah melakukan pekerjaan dengan baik dalam bidang tersebut.
"Ini hanya seperti belajar bahasa asing. Jika buku ini benar-benar bisa memberi jawaban, maka aku juga pasti bisa," tegas John menguatkan dirinya.
Harapan dan keingintahuan seperti terhimpit oleh realita dan dunia fana. Tapi, dirinya benar-benar sangat penasaran. Apa sebenarnya yang terekam dalam buku kuno yang berada dalam mimpinya? Apakah hal tersebut lebih dari sekedar catatan sampul tentang ilmu pedang kuno?
Terlebih lagi, rasa keingintahuan membisikkan bahwa jika buku ini dapat dibaca, dapatkah dia membaca buku yang ada di rak tersebut dengan baik?
Hati John tampak begitu bimbang. Pikirannya sedang diombak-ambing oleh hal-hal yang keberadaannya masih tanda tanya. 'Saat tidur, kemana kita pergi?'
John Lin tampaknya mulai menemukan arah dari pertanyaan yang selalu terlintas di benaknya itu. Setelah memutuskan, dia mulai mengingat kembali halaman pertama yang ada pada buku tersebut. Buku itu adalah buku yang dia hafal terakhir kali, dan kali ini adalah halaman pertamanya.
***
Tak terasa beberapa waktu berlalu. John berulang kali menghafal satu petikan pendek dari halaman pertama walau tidak tahu dari mana sumber cahaya itu berasal. Tanpa mengetahui makna isinya, sangat sulit untuk menghafal seluruh paragraf teks kuno.
Namun, John pernah melakukan hal serupa dalam kehidupan sebelumnya. Dia sangat berpengalaman. Segera setelah itu, dia membuat kode seluruh paragraf dari halaman pertama sesuai dengan keterampilannya sendiri.
Dengan begitu dia yakin bahwa dirinya dapat menciptakan kode sendiri, dia akan dapat memahami buku itu lebih cepat. Karena akan terlalu makan waktu jika dia terlalu bermain-main dengan beberapa kata di tiap malam.
Kemajuan terjemahan terasa sangat lambat di zaman ini. Mungkin hal itu didasari karena kurangnya penelitian tata bahasa pada teks Gulene. John Lin sendiri hanya dapat menerjemahkan satu kata secara perlahan.
Hal itu jelas tertinggal dari terjemahan yang bisa dilakukan mesin pencari di masa depan. Terutama, saat dirinya bertemu dengan kata-kata yang menggunakan istilah pasaran. Semuanya akan tampak rancu dan membuat kepalanya semakin terasa sakit.
Setelah memasuki mimpi untuk kedua kalinya, dia dapat menghafal beberapa transkrip dari kata kuno tersebut. John lantas memasuki kediaman yang sama dalam mimpinya setiap malam.
Setiap kali dia masuk ke sana, dia menulis dua kalimat dan menerjemahkannya secara langsung ke esokan harinya. Kegiatan ini menjadi rutinitasnya setiap hari.
Kehidupan seperti itu berlangsung selama empat hari. Berangsur-angsur, dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dia lakukan, membuat pekerjaan dalam menerjemahkan berangsur-angsur berjalan lancar.
Skrip Guren sebenarnya bukan sebuah naskah yang teramat langkah. Yah, itu mungkin termasuk dalam jenis bahasa kuno. Tapi, ada beberapa buku yang memiliki tata bahasa terkait yang tersedia untuk diunduh di Internet. John berulang kali memeriksa dan juga mengumpulkan banyak informasi untuk membantu urusan penerjemahannya.
Segera, halaman pertama buku itu secara bertahap berhasil diterjemahkan, dia merasa sangat senang. Dia bergumam singkat, "Yang benar-benar membatasiku adalah ingatan."
***
John tengah duduk diam di sudut sofa, melihat apa yang diterjemahkan kemarin. Hari ini hari Minggu. Kerabatnya tengah datang berkunjung ke rumah. Mereka adalah Elijah, sang paman dan putranya yang bernama Zein Lin.
Anak itu berusia sembilan belas tahun, satu tahun lebih tua darinya, tetapi terlihat sangat keren. Zein mengenakan kacamata persegi, duduk di samping ayahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatap ke bawah pada buku kata bahasa asing di tangannya.
Elijah mengerutkan kening saat berdiskusi dengan ayah John tentang perawatan sang kakek. Menurut apa yang dia jelaskan, kakek sudah terlampau tua, dan kejadian ini terjadi lagi. Kedatangannya bermaksud untuk mengajak ayah John untuk memikirkan mengenai warisan harus dibuat. Karena pada akhirnya harta keluarga itu harus dibagi, pendapat saudara-saudari harus dikoordinasikan.
Masalah yang lebih realistis yang terus diungkit olehnya adalah sesuatu mengenai kuburan kakek yang harus dipersiapkan dengan cepat. Siapa yang harus membayar hal tersebut. Dia ingin tahu pandangan semua orang, dan bagaimana kewajiban itu harus dibagi.
Namun, beberapa orang dari keluarganya sangat miskin sehingga mereka tidak mampu memberikan banyak uang. Kakek bahkan masih hidup, dan kekhawatiran Elijah bukanlah mengenai kesembuhan sang ayah, tetapi bagaimana warisan keluarga bisa segera diatur dan malah membahas mengenai persiapan pemakaman.
**To Be Continued**