Revan tengah membaca berkas berisi hasil medis pasien. Kemudian ia melihat layar besar di depannya yang menampilkan organ tubuh manusia.
"Sepertinya ini akan cukup beresiko," gumamnya memperhatikan layar itu dengan seksama seraya memijat pangkal hidungnya.
Revan mengambil handphone dari dalam saku jas dokternya, kemudian ia mengotak atiknya dan menempelkan handphone ke telinganya.
"Hallo Dokter Arya, bisa ke ruangan saya segera dan perintahkan anggota team operasi untuk ikut hadir."
"....."
"Ya, kita akan briefing."
Setelah mendapat jawaban dari sebrang sana, Revan memutuskan sambungan telponnya. Ia kemudian berjalan menuju kursi kebesarannya, menunggu para anggota teamnya datang.
Selang 15 menit, empat orang datang. Tiga di antara mereka memakai jas dokter dan satu orang lagi memakai pakaian suster.
Dokter Arya adalah wakil ketua atau asisten Revan saat melakukan operasi, Dokter Sani adalah seorang Dokter Anestesi dan Dokter Harun adalah seorang Dokter spesialis paru-paru dan Jantung. Terakhir adalah suster Nana.
"Selamat siang Dokter Revan," sapa mereka semua.
"Silahkan duduk." Revan mempersilahkan mereka berempat untuk duduk di sofa yang ada di dalam ruangannya.
Di depan mereka adalah layar besar tadi yang masih memperlihatkan organ tubuh manusia.
"Lihatlah gambar ini," seru Revan yang kini berdiri di dekat layar itu.
"Kanker paru-paru yang di derita pasien sudah semakin membesar. Bahkan kankernya sudah mencangkup setengah dari paru-paru pasien. Jika melakukan operasi, kalian semua akan paham resikonya," jelas Revan.
"Emm.. apa sebaiknya tidak perlu di operasi dan hanya melakukan kemoterapi saja?" tanya dokter Harun.
"Aku juga tidak menyarankan itu, kalian tau efek samping dari kemoterapi. Aku takut pasien tidak akan mampu menahan lagi," seru Revan.
"Apa tidak ada jalan lain?" tanya dokter Sani.
"Bukankah dengan jalan operasi juga masih memiliki peluang, Dok?" tanya Arya.
"Kamu benar Dokter Arya, tetapi peluangnya sangat minim," seru Revan.
Semua orang di sana terdiam membisu.
"Kita serahkan pada wali pasien saja. Suster Nana tolong kamu siapkan dokumen perjanjian untuk proses operasi yang harus di sepakati pihak keluarga pasien," seru Revan.
"Baik Dok, saya akan segera siapkan."
"Dokter Arya dan Dokter Sani tolong terus awasi kondisi pasien. Catat setiap saat perkembangannya dan laporkan padaku," seru Revan.
"Baik Dok."
"Baiklah, kalian boleh kembali bekerja," suruh Revan membuat mereka bubar.
"Ngomong-ngomong Raisha sedang apa yah, kenapa tidak ada menghubungiku," gumam Revan mengeluarkan handphone dari dalam saku jas Dokternya dan terlihat tak ada notifikasi masuk.
♥
Raisha baru saja sampai di rumah mertuanya. Hari sudah berganti menjadi malam. Ia yakin Revan pun sudah ada di rumah.
"Ck, baru pulang jam segini? Bahkan lebih terlambat dari suamimu," sindir Hany yang membukakan pintu.
"Maaf ma, banyak pekerjaan di rumah sakit," seru Raisha.
"Ck, suamimu juga butuh perhatian dan perlu di layani. Dia menikah untuk memiliki seseorang yang bisa melayaninya dengan sepenuh hati. Dan yang selalu mengutamakannya bukan fokus pada hal lain. Kamu terlalu mengutamakan pekerjaanmu, jadi belum juga hamil." Hany mulai mengomel. "Bagaimana pun juga Revan menginginkan keturunan, jadi coba pikirin suamimu juga jangan hanya mengutamakan pekerjaanmu saja."
Setelah mengatakan hal itu Hany berlalu pergi meninggalkan Raisha seorang diri. Air mata Raisha sudah menumpuk di pelupuk matanya. Ia ingin menangis tetapi tidak bisa. Ia sudah terbiasa menahan tangisannya dan tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya di depan oranglain. Hidupnya sangat sulit dan begitu menderita, tetapi Raisha selalu berlajar menjadi sosok yang kuat dan pantang menyerah.
---
"Sayang, kamu baru pulang?" tanya Revan saat Raisha baru saja memasuki kamar mereka. "Apa lancar di jalan? Kenapa kamu menolak aku menjemputmu sih. Kamu tau, aku sangat khawatir. Kamu bahkan tidak mengaktifkan handphone mu. Menaiki taxi di malam hari itu tidak aman untuk seorang perempuan," seru Revan terlihat jelas kekhawatiran di mata elangnya.
Raisha tak mampu untuk berkata-kata lagi, ia langsung memeluk Revan. Merebahkan kepalanya di dada bidang milik suaminya itu.
"Ada apa?" tanya Revan terlihat kebingungan.
"Biarkan seperti ini beberapa saat, aku ingin merasakan kehangatan ini," gumam Raisha.
Revan membalas pelukan Raisha dan mengecup puncak kepalanya. "Ada apa? Apa kamu sakit?" tanya Revan.
"Tidak. Aku hanya Lelah saja," seru Raisha memejamkan matanya. Sebenarnya bukan fisiknya yang Lelah melainkan mentalnya. Berhadapan dengan mertua yang tidak menyukainya itu sangatlah sulit.
Ia memejamkan matanya dan memeluk tubuh Revan dengan sangat erat seakan tidak ingin terlepas dan menjauh. Revan sebenarnya bertanya-tanya dan curiga kalau terjadi sesuatu dengan istrinya ini. Tetapi ia tidak akan bertanya, biarkan istrinya merasa tenang lebih dulu.
♥
Malam menjelang, Revan menatap wajah terlelap Raisha di sampingnya. Setelah tadi saling berpelukan, Raisha kemudian memilih mandi tanpa berkata apapun dan langsung tidur.
"Sebenarnya apa yang membuatmu sedih," gumam Revan membelai wajah cantik Raisha.
Revan terus menatap dan meneliti wajah Raisha tanpa ingin membangunkannya.
"Apa ini karena Mama lagi?" gumam Revan.
♥