Berita mengenai kehamilan Raisha sudah tersebar ke setiap penjuru. Baik di rumah sakit, maupun keluarga Revan. Semua orang tampak memberi selamat dan terlihat bahagia. Raisha dan Revan juga terlihat begitu bahagia. Tak pernah Raisha merasakan kebahagiaan seperti saat ini. Apalagi kini mertuanya sudah lebih baik terhadap dirinya.
"Apa yang sedang istriku ini pikirkan, hm?"
Raisha tersentak kaget saat sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang.
"Kamu sudah bangun?" tanya Raisha mengabaikan pertanyaan Revan.
Revan menarik tubuh Raisha hingga menghadap ke arahnya.
"Wajahmu pucat dan di jidatmu tertulis jelas bahwa kamu sedang gelisah. Ada apa Sayang? Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Revan.
"Tidak ada, Van. Aku hanya merasa begitu lemas dan tidak bertenaga. Mungkin ini bawaan bayi," kekeh Raisha.
"Benarkah begitu?" tanya Revan.
"Iya, memangnya apalagi yang membuatku gelisah," kekeh Raisha. "Tetapi kamu tidak perlu khawatir. Aku bisa menahan semua ini, karena ada kamu, suami terbaik yang selalu siaga di sampingku," seru Raisha.
"Hm, apa ini sebuah rayuan?" seru Revan menaikkan sebelah alisnya.
"Bisa jadi," kekeh Raisha.
"Mulai nakal yah. Apa ini juga bawaan bayi, hm?" seru Revan.
"Bisa jadi."
"Awas yah kamu."
"Ah!" Raisha memekik saat Revan membawa tubuhnya ke dalam gendongannya. "Jangan macam-macam, Van. Ingat kata dokter Clarissa, harus libur dulu," seru Raisha dan itu berhasil membuat Revan menghela nafasnya.
"Kejam sekali dokter Clarissa itu," keluhnya. "Tetapi tidak masalah selama istriku dan janin di dalam kandunganmu sehat-sehat terus," seru Revan mengecup bibir manis Raisha.
Revan mendudukkan Raisha di atas ranjang king size nya. Kemudian ia berjongkok di depan Raisha dan memeluk perut Raisha yang masih datar. Ia menciumi perut Raisha.
"Hai Sayang, ini Papa," seru Revan membuat Raisha terkekeh.
"Bayinya masih belum mendengar, orang baru 1,5 bulan," kekeh Raisha.
"Ya tidak apa-apa. Ini perkenalan awal kami," seru Revan membuat Raisha gemas sendiri.
Revan kembali menciumi perut Raisha sebelum akhirnya kembali berdiri.
"Mandilah, aku akan siapkan sarapan untuk kita," ucap Revan.
"Biar aku saja yang membuat sarapan," ucap Raisha,
"Tidak bisa Sayangku. Ini adalah perintah suami, jadi sekarang cepatlah mandi," ucap Revan mengecup bibir Raisha.
"Baiklah pak Dokter," kekeh Raisha.
Revan beranjak pergi meninggalkan kamar mereka.
♥
Revan membawa Raisha ke suatu tempat. Saat ini mereka berdua tengah berada di dalam mobil.
"Sebenernya kita akan kemana, Van?" tanya Raisha saat ini mereka tengah berada di dalam mobil Revan.
"Tunggu saja nanti juga kamu akan tau," jawab Revan.
"Baiklah." Akhirnya Raisha mengalah dan tidak bertanya lagi. Revan memang selalu penuh dengan kejutan.
Setelah memakan waktu cukup lama, mereka pun akhirnya sampai di sebuah persimpangan.
"Kenapa berhenti di sini?" tanya Raisha melihat ke kanan dan kiri.
"Aku ingin kamu menutup matamu dulu. Sebentar." Revan mengambil kain hitam di dashbox. Kemudian ia menutup kedua mata Raisha dengan kain itu.
"Apa harus seperti ini?" tanya Raisha bingung saat Revan mengikatkan tali untuk menutup kedua matanya.
"Iya harus dong Sayang. Namanya juga kejutan, kamu tidak perlu takut, ada aku di sini," ucap Revan.
"Baiklah," jawab Raisha milih pasrah.
Raisha merasa mobil kembali bergerak dan melaju. Iama sih duduk tenang walau kedua matanya di tutup kain, ia berusaha menajamkan kedua telinganya. Entah kejutan apa yang akan di berikan oleh suaminya itu.
Tak lama Raisha kembali merasakan mobilnya berhenti. Mungkin sudah sampai di tempat tujuan. Kemudian ia mendengar suara pintu mobil di buka dan di tutup. Ia pun mendengar suara pintu di sampingnya terbuka.
"Ayo ulurkan tanganmu, kita sudah sampai," seru Revan membuat Raisha mengulurkan tangannya dan di sambut oleh Revan.
Revan membawa Raisha berjalan beberapa langkah dari saat menuruni mobil tadi. Kini mereka berdua berdiri saling berdampingan.
"Kamu sudah siap?" tanya Revan saat mereka sudah berdiri tegak saling berdampingan.
"Iya aku sudah siap," seru Raisha.
"Baiklah. Aku akan membuka penutup matamu." Revan pun membuka ikatan kain yang menutup mata Raisha. Setelah di lepas, perlahan Raisha pun membuka matanya.
"Kejutan," seru Revan.
Saat ini di depan mereka terdapat sebuah rumah mewah yang sangat indah. Desain rumah ini mengambil gaya ala Eropa seperti yang Raisha inginkan.
"Ini adalah rumah masa depan kita," seru Revan membuat Raisha menoleh ke arahnya. "Kamu suka tidak?"
"I-ini sangat indah," seru Raisha. "Van, sejak kapan kamu mempersiapkan semua ini?" tanya Raisha.
"Sejak kita menikah. Maaf sedikit terhambat karena ada beberapa bahan yang sulit di dapatkan," ucapnya tersenyum kecil.
"Terimakasih Van, aku sangat suka," kekeh Raisha memeluk tubuh kekar suaminya.
"Tidak perlu berterima kasih. Aku akan selalu mengusahakan apapun yang kamu inginkan," seru Revan mengecup puncak kepala Raisha.
"Aku mencintaimu…"
"Aku juga, lebih mencintaimu," seru Revan. "Bagaimana kalau kita melihat bagian dalamnya."
Raisha menganggukkan kepalanya dan ia melepaskan pelukannya. Mereka berdua berjalan mendekati pintu rumah.
"Selamat datang," seru Revan merangkul Raisha saat sudah membuka kedua pintu di depan mereka.
Mereka berdua berjalan memasuki area rumah yang sudah di isi dengan beberapa perabotan.
"Aku belum menghias dan mengisi semua perabotannya. Itu akan menjadi tugasmu nanti," seru Revan.
"Kamu tenang saja. Serahkan semuanya kepadaku," kekeh Raisha.
Hari ini Revan dapat melihat Raisha kembali bahagia tanpa ada kecemasan apapun di wajahnya. Ia sedikit lega bisa melihatnya. Sebenarnya walau Raisha tidak mengatakan apapun, tetapi Revan tau kalau Raisha tengah memikirkan hal yang berat dan terlihat kecemasan di matanya. Walau ia tidak tau apa itu, tetapi Revan hanya bisa berusaha menghibur Raisha dan menghilangkan kecemasannya itu.
Saat ini Revan mampu bernafas lega karena kecemasan di mata Raisha telah menghilang.
Mereka melihat kesemua ruangan, dapur yang luas, tempat makan, tempat laundry yang berada di taman belakang dengan view outdoor. Mushola kecil di tengah-tengah taman seperti sebuah gazebo.
"Kamu nanti bisa bebas menanam tanaman apapun di sini. Aku sengaja belum menanam tanaman apapun selain rumput ini. Itu nanti kamu yang tentukan," seru Revan.
"Oke Sayang," seru Raisha.
Revan memang tau kalau Raisha sangat menyukai tanaman dan senang bercocok tanam. Bahkan dia juga memiliki keahlian meracik obat sendiri.
"Ayo kita ke lantai dua," seru Revan.
"Ada lift?" tanya Raisha kaget melihat lift di dekat tangga. "Memangnya ada berapa lantai sih sampai harus menggunakan lift segala," seru Raisha memasuki lift mengikuti Revan.
"Tiga lantai. Lagipula kita bisa mencoba gaya baru di dalam lift, bagaimana?" goda Revan mengedipkan sebelah matanya.
"Ck dasar mesum," kekeh Raisha.
"Kamu sedang hamil dan aku juga tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkanmu turun naik tangga. Menggunakan lift lebih efektif," seru Revan.
"Benar-benar suami yang penuh perhatian dan persiapan," kekeh Raisha.
"Harus dong sayangku." Revan tersenyum bangga. "Di lantai dua ini kamar kita, kamar anak-anak, ruang kerja, perpustakaan, dan ruang keluarga," seru Revan.
"Dan lantai tiga itu kolam renang, tempat fitness, taman kecil, dan ruangan music juga ruang rapat. Mungkin nanti sesekali akan melakukan meeting di sini," jelas Revan.
"Wah, perfect!" kekeh Raisha membuat Revan kembali tersenyum puas.
"Ayo aku akan tunjukkan kamar utama kita," seru Revan yang di angguki Raisha.
Mereka berjalan keluar dari lift dan langsung di suguhi ruang keluarga dengan televise dan sebuah balkon yang hanya terdapat kursi santai dan ayunan.
"Wah ayunan!" Raisha berjalan cepat menuju balkon.
"Aku tau kamu suka ayunan. Makanya aku khususkan untukmu. Di lantai tiga juga ada ayunan di dekat kolam renang," seru Revan.
"Ayo kita ke kamar kita," bisik Revan membuat Raisha terkekeh.
Mereka menuju kamar utama yang cukup besar, dengan kamar mandi, ruang pakaian yang baru terisi sebagian.
"Bagaimana?" tanya Revan.
Raisha berjalan menuju jendela dan melihat pemandangan indah kota Jakarta. Revan mengambil rumahnya di daerah dataran tinggi sehingga mampu melihat beberapa rumah di Jakarta dengan hiasan lampu dan terlihat sangat indah dan menawan. Rumah mereka memang berada di perbatasan kota Jakarta.
"Sepertinya saat malam, semua ini akan sangat indah," seru Raisha.
"Memang," seru Revan memeluk Raisha dari belakang.
"Selanjutnya apa yang akan kamu perlihatkan kepadaku?" tanya Raisha.
"Kamar anak kita," bisiknya membuat Raisha berbinar. "Ayo kita lihat."
Revan menarik tangan Raisha menuju kamar sebelah. Ia melihat ruangan itu masih kosong dan belum di isi furniture.
"Kenapa masih kosong?" tanya Raisha.
"Ya, aku ingin kamu yang mendesainnya," seru Revan. "Kamu pasti mengetahui apa yang di inginkan calon anak kita," seru Revan mengusap perut Raisha.
"Baiklah, serahkan padaku. Aku akan mendesainnya dengan sebaik mungkin," seru Raisha tampak bersemangat membuat Revan tersenyum seraya mengusap kepala istrinya itu.
"Sayang."
"Hmm?" Raisha menoleh ke arah Revan.
"Maaf yah karena aku sudah membuatmu terluka karena ucapan Mama. Harusnya kita tinggal berdua setelah menikah. Aku pikir Mama sudah menerimamu dengan sepenuh hati," ucap Revan.
"Tidak apa-apa sayang. Aku tidak marah maupun benci sama Mama Hany. Lagipula kata-katanya memang ada benarnya juga walau terkadang menyinggung hati," kekeh Raisha. "Lagipula sekarang mama sudah bersikap baik kepadaku. Janin ini benar-benar membawa keberuntungan," seru Raisha mengusap perutnya.
"Ya, semoga mama semakin menyayangimu dan calon anak kita," seru Revan yang di angguki Raisha.
"Selain ini, ada ruangan apalagi?" tanya Raisha.
"Ruang kerjamu. Selain ruang kerjaku, aku sengaja membuat ruang kerja untukmu. Aku tau kamu senang meracik obat dan membaca. Jadi aku buat ruang kerjamu di samping ruang baca," seru Revan.
Raisha tersenyum. "Kamu selalu memahamiku."
"Karena aku suamimu," seru Revan berjalan mendekati Raisha dan memangku tubuh Raisha membuatnya memekik.
"Apa yang kamu lakukan," seru Raisha.
"Emm bagaimana kalau kita mencoba kamar kita dulu," serunya tersenyum penuh makna.
"Dasar kamu ini," kekeh Raisha.
Revan membawa Raisha menuju kamar utama.
♥
Hari ini adalah syukuran rumah baru mereka. Keluarga Revan hadir semua juga para sahabatnya.
Suasana di sana begitu ramai.
Raisha menyiapkan beberapa cemilan dan minuman kembali di atas meja. Ibu mertuanya berjalan mendekatinya.
"Kenapa harus memilih rumah yang cukup jauh seperti ini sih? Suamimu kan kerja, apa gak kasian dia harus menempuh perjalanan jauh," seru Ibu mertuanya membuat Raisha menoleh ke arahnya.
"Daerah sini bukan kawasan macet walau cukup jauh, Ma. Setelah keluar dari tol, sudah langsung menuju kesini. Jadi setidaknya Revan tidak akan terlalu lelah dan memakan banyak waktu," ucap Raisha.
"Tetap saja. Kamu kan tidak menyetir, jadi kamu tidak akan merasakan bagaimana lelahnya. Kasian sekali Revan harus pulang pergi menyetir sejauh ini. Lagian kenapa gak ambil rumah di perumahan yang sama dengan Mama sih? Apa karena kamu tidak ingin dekat dengan Mama?" seru Ibu mertuanya.
"Astagfirulloh Ma. Raisha tidak ada pikiran itu sama sekali. Sebenarnya Raisha juga tidak tau kalau Revan sudah menyiapkan rumah ini. Raisha bahkan baru mengetahuinya satu minggu lalu sebelum syukuran," seru Raisha.
"Alasan kamu saja. Mama yakin yah kamu yang menghasut Revan supaya jauh dari Mama." Setelah mengatakan itu, Ibu mertuanya berlalu pergi meninggalkan Raisha dalam keheningan.
Raisha memejamkan matanya seraya menarik nafasnya. Ia tidak boleh terpancing emosi dan terbebani, ia tidak ingin beresiko apapun pada janinnya. Lagipula sejak awal memang Ibu mertuanya tidak menyukainya.
♥