Chereads / Perfect Dokter / Chapter 7 - Bab 7

Chapter 7 - Bab 7

Raisha termenung di dalam ruangannya. Sudah tidak ada pasien lagi. Ia kembali teringat dengan kata-kata ibu mertuanya mengenai keturunan. Rumah tangganya sudah 2 bulan lebih dan hampir 3 bulan, dan kondisinya yang masih belum hamil, apa itu sangat mengkhawatirkan?

Entah sudah kesekian kalinya ia menghela nafasnya. Ternyata hidup berumah tangga itu tidak seindah yang di bayangkan. Kenyataannya biduk rumah tangga ini tidak hanya di jalani oleh dua orang saja, melainkan keluarga besar termasuk Ibu suaminya yang seakan memiliki andil paling besar.

"Apa aku bisa bertahan terus tinggal bersama dengan Ibu mertua," gumam Raisha.

Raisha beranjak dengan membawa stetoscopnya. Kini saatnya ia berkunjung ke setiap ruang rawat untuk melakukan pemeriksaan pada pasien yang di rawat inap.

Ia berjalan dengan langkah anggun sampai langkahnya terhenti saat tak sengaja melihat suaminya tengah berbicara dengan seseorang.

"Revan!"

Revan mengangkat kepalanya saat mendengar sapaan itu. Di depannya terlihat seorang wanita tinggi, langsing, putih dan begitu cantik.

"Laura?" seru Revan.

"Hei apa kabar?" wanita yang di panggil Laura itu berjalan mendekati Revan.

"Alhamdulillah baik. Ngomong-ngomong kapan kamu kembali dari Malaysia?" tanya Revan.

"Sudah satu minggu aku di Indonesia. Dan rencananya aku akan menetap cukup lama di sini," jelasnya diiringi senyuman manisnya. "Kamu bekerja di sini?"

Laura terlihat memperhatikan Revan yang menggunakan jas dokter dari atas hingga bawah.

"Iya aku bekerja di sini. Kamu ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya Revan.

"Aku kebetulan mau nengok adik sepupuku yang di rawat di sini," jelasnya.

Dari sudut lain terlihat Raisha tengah berjalan dengan memegang berkas medis di tangannya. Langkahnya terhenti kala melihat Revan dan Laura yang sedang berbincang dengan tawa.

"Wanita itu sepertinya tak asing," gumamnya menatap ke arah mereka berdua. "Kenapa dia ada di sini?"

Terlihat Laura berpamitan pada Revan dan berlalu pergi meninggalkan Revan. Setelah kepergian Laura, Revan pun kembali melanjutkan langkahnya. Raisha masih berdiri menatap ke arah mereka berdua.

'Ya Allah... Wanita itu adalah Laura. Kenapa dia kembali?' batinnya ada rasa bimbang di sana.

Melihat pemandangan itu entah kenapa dada Raisha menjadi semakin sesak dan terasa di hantam sesuatu yang keras. Sebelumnya ia terus kepikiran ucapan mertuanya, sekarang ia malah harus melihat pemandangan seperti ini.

Raisha berbalik dan mengambil arah lain untuk menuju lift yang lainnya.

"Aku percaya pada Revan," gumam Raisha.

---

Raisha memasuki kamar ruang inap kelas 1 dimana ada 4 orang anak yang di rawat di sana.

"Hallo Syeilla, apa kabar?" sapa Raisha menyapa seorang anak berusia 9 tahun.

"Hallo tante Dokter," jawabSyeilla.

Raisha mulai melakukan pemeriksaan pada Syeilla menggunakan stetoscopnya. Kemudian ia mengambil rekam medis dari tangan suster yang mendampinginya dan menulis sesuatu di sana.

"Bagaimana makannya?" tanya Raisha.

"Dia sudah mau makan cukup banyak," seru Ibu Syeilla.

"Baguslah. Lalu pencernaannya?" tanya Raisha.

"Kemarin sempat sembelit, tetapi kemarin sore dia sudah buang air besar dengan baik," jelas Ibunya membuat Raisha menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan rekam medis pada susternya. Kemudian melihat Syeilla yang duduk manis di atas brankar.

"Syeilla mau pulang?" tanya Raisha yang langsung di angguki oleh Syeilla.

"Aku udah kangen sama teman-temanku, tante Dokter," jawab Syeilla.

"Tapi Syeilla jangan dulu main di luar rumah yah. Syeilla harus istirahat yang cukup dulu sampai benar-benar pulih," seru Raisha.

"Baik tante Dokter."

"Tante punya hadiah buat Syeilla karena Syeilla sudah menuruti kata-kata Dokter," seru Raisha mengambil boneka dari suster yang membawa tas berisi mainan. Kemudian Raisha mengambil salah satu boneka kelinci dan memberikannya kepada Syeilla.

"Kamu suka?"

"Suka sekali tante Dokter. Terimakasih," seru Syeilla sangat senang.

"Kamu boleh pulang hari ini yah. Dan ingat, jangan jajan di luar dulu. Di jaga dulu pola makannya yah Bun," seru Raisha kepada bunda Syeilla.

"Baik Dokter. Terimakasih," seru Ibunya.

Setelah itu Raisha beranjak pergi dan melakukan pemeriksaan pada pasien lain.

Raisha kini duduk di taman dengan menggenggam satu cup kopi panas. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sekarang tengah beristirahat.

"Minum kopi sendirian saja," seruan itu membuat Raisha menoleh dan melihat sosok suaminya di sana yang tersenyum manis kepadanya. Revan terlihat memakai pakaian steril menandakan ia baru saja melakukan sebuah operasi.

"Baru selesai operasi?" tanya Raisha yang di angguki Revan.

Revan mengambil duduk di samping Raisha dan merebahkan tubuhnya di atas kursi taman itu. Ia dengan santai merebahkan kepalanya di pangkuan Raisha.

"Tidak boleh bermesraan di rumah sakit," seru Raisha.

"Hanya sebentar saja, aku sangat Lelah." Revan terlihat memejamkan matanya.

Raisha akhirnya membiarkan Revan untuk tiduran di atas pangkuannya.

"Apa kamu bahagia?" tanya Revan tiba-tiba saja.

"Kenapa bertanya hal yang sudah pasti?" seru Raisha membuat Revan membuka matanya hingga tatapan mereka berdua bertemu.

"Aku hanya ingin memastikan," seru Revan tersenyum hangat. "Kalau ada yang mengganggu perasaanmu, katakanlah padaku. Jangan memendamnya seorang diri."

"Baiklah." Raisha tersenyum ke arah Revan.

Revan bersama dengan Raisha baru saja sampai di rumah. Mereka di sambut oleh kedua orangtua Revan. Mereka berpamitan untuk masuk ke dalam kamar mereka.

Sesampainya di dalam kamar, Revan tiba-tiba saja memeluk tubuh Raisha dari belakang.

"Hmm, ada apa ini. Kau terus bersikap manja padaku," seru Raisha tersenyum.

"Tidak apa-apa. Aroma tubuhmu sangat menenangkan," seru Revan menyusupkan wajahnya di sela leher Raisha dan meniupnya membuat Raisha kegelian.

"Revan, apaan sih," kekeh Raisha berusaha melepaskan diri dari pelukan Revan tetapi sangat sulit.

Revan tidak menjawab dan malah mengecupi leher jenjang Raisha.

"Van, aku belum mandi. Ah geli," kekeh Raisha.

"Hmm..." Revan hanya bergumam dan focus dengan kegiatannya.

Tok toktok

Ketukan pintu membuat mereka kaget, Raisha dengan cepat melepaskan pelukan Revan.

Revan berjalan membuka pintu kamarnya dan di sana Hani berdiri dengan membawa satu gelas teh.

"Ma?"

"Van, ini Mama buatkan teh untukmu. Kamu pasti lelah," seru Hanny.

Revan sedikit tertegun. "Hanya satu?" tanya Revan membuat Hanny tertegun dan sedikit kesal.

"Iya, ini buatmu. Harusnya tugas ini di lakukan oleh istrimu. Dia harusnya melayanimu, tetapi istrimu tidak melakukan semua itu," seru Hany sedikit kesal seraya memberikan gelas teh itu kepada Revan.

Revan tak banyak bicara dan hanya mengucapkan terimakasih pada Hany yang berlalu pergi.

Revan melihat ke arah Raisha yang seakan berusaha mengalihkan fokusnya pada yang lain.

Revan menutup pintu kamarnya dan menyimpan gelas di atas meja nakas. Kemudian ia berjalan mendekati Raisha dan berdiri di hadapan Raisha.

"Aku yang mandi duluan yah," seru Raisha berusaha menghindar.

Revan menahan lengan Raisha. "Kamu baik-baik saja?" tanya Revan.

"Iya. Pertanyaan kamu ini," kekeh Raisha seakan berusaha menutupi luka di dalam hatinya.

"Aku ingin buang air," seru Raisha membuat Revan melepaskan pegangannya.

Raisha memasuki kamar mandi dan menutup pintunya dengan rapat. Dan Revan hanya bisa menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu.

Revan berjalan menuruni tangga. Ia berniat untuk mengambil minum untuk Raisha.

"Si Raisha itu benar-benar yah," seru Hany dengan sangat kesal.

"Ada apa sih ma?" tanya Ayah Revan.

"Iya itu, dia pasti laporan ke Revan kalau aku sering mengomelinya. Revan tadi terlihat kesal sama mama, Pa. Wanita itu membuat Revan membenciku!" keluh Hany.

"Jangan suudzon ma. Revan mungkin hanya lelah, dan lagi papa tidak yakin kalau Raisha mengadu pada Revan," seru papa. "Makanya mama jangan terus omeli Raisha, kasian."

"Dia tuh gak becus jadi istri. Dia udah gagal jadi istri. Lihat aja, harusnya dia berhenti kerja dan ngurusin Revan. Sekarang bahkan dia tidak melayani Revan dengan baik. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri," seru Hany. "Apalagi dia belum hamil juga padahal sudah menikah selama 2 bulan. Benar-benar tidak bisa di andalkan wanita itu!"

Revan mendengar semuanya.

"Padahal aku sudah menyuruhnya untuk mengambil cuti dan berhenti bekerja supaya bisa cepat-cepat punya momongan. Tetapi wanita itu sangat bebal!" keluh Hany.

"Ma, jangan mencampuri kehidupan rumah tangga mereka. Revan dan Raisha sudah besar dan dewasa, mereka bisa berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk kehidupan rumah tangga mereka," seru Papa.

"Papa selalu saja membela wanita itu. Ck, papa benar-benar sudah terhipnotis oleh keluguan wanita itu," seru Hany.

'Jadi selama ini Raisha tak baik-baik saja,' batin Revan.

Revan memasuki kamarnya dan melihat Raisha sudah terlelap di atas ranjang.

Revan mengambil duduk di sisi ranjang, perlahan tangannya terangkat dan membelai rambut lembut Raisha.

"Kamu selalu saja diam dan berusaha menghadapinya seorang diri," gumam Revan. "Aku pikir kamu baik-baik saja di sini. Maaf karena aku kurang peka." Revan mengecup kening Raisha.