Raisha baru saja sampai di rumah sore hari. Ia tadi sempat berbelanja ke swalayan dan ingin memasak untuk makan malam keluarga malam ini.
Ia berjalan menuju teras rumah dan hendak memasuki rumah dimana pintunya terbuka. Gerakannya terhenti saat mendengar obrolan dari dalam.
"Ah selamat untuk cucu pertamamu. Aku pasti akan datang ke acara empat bulanannya, jeung." Terdengar suara Ibu mertuanya.
"Iya, aku sangat bahagia, Jeung. Bagaimana dengan menantumu, apa dia sudah isi?"
"Entahlah. Dia sibuk dengan pekerjaannya dan tidak perduli dengan suaminya. dia juga belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Padahal mereka menikah sudah satu bulan. Kau beruntung memiliki menantu yang hanya diam di rumah dan sepenuhnya melayani suaminya," seru Ibu mertuanya membuat Raisha tertegun.
"Ah kenapa seperti itu. Padahal diakan seorang dokter. Kau beruntung memiliki menantu seorang Dokter."
"Apanya yang beruntung. Sebenarnya aku kurang setuju dengannya karena bibit bebet bobotnya tidak jelas. Walau seorang dokter kalau keluarganya tidak jelas sama saja bohong, Jeung."
"Semoga menantumu juga cepat hamil," seru teman mertuanya seakan tidak ingin membahas panjang lebar.
Raisha menekan perasaannya kembali dan ia memejamkan matanya seraya menghirup udara sebanyak-banyaknya. Raisha memutuskan kembali ke mobilnya dan menunggu teman mertuanya itu pergi.
♥
Raisha berusaha melupakan semua kata-kata yang di lontarkan oleh mertuanya tadi sore. Ia berusaha focus untuk memasak.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ibu mertuanya saat memasuki dapur dan melihat Raisha tengah memasak di sana.
"Aku sedang memasak, Ma. Aku membuat opor ayam kesukaan Revan," seru Raisha tersenyum kecil.
Ibu mertuanya itu meneliti semua bahan yang tengah Raisha olah.
"Rempah-rempahnya kurang. Revan tidak akan suka kalau opornya hambar," seru Ibu mertuanya.
Raisha terdiam.
"Bi, bibi!"
"Iya nyonya."
"Kamu sedang apa?" seru Ibu mertuanya yang bernama Hani.
"Sedang mengupas buah untuk pudding," seru Bibi.
Hani melihat ke arah Raisha. Ia tau Raisha meminta Bibi untuk mengupas buah.
"Setelah itu bersihkan dapur. Kami akan makan di luar malam ini," seru Hani beranjak pergi.
"Makan di luar?" gumam bibi seraya melihat ke arah Raisha yang berdiri memunggunginya.
"Bi, aku akan menyelesaikan memasak ini. Nanti tolong simpankan dan jangan sampai Mama tau. Besok aku akan membawanya ke tempat kerja," seru Raisha.
"Baik Neng." Bibi merasa simpati pada Raisha yang selalu di perlakukan seperti ini oleh mertuanya.
♥
Saat ini Raisha bangun lebih dulu dari Revan. Terdengar adzan subuh berkumandang, ia beranjak memasuki kamar mandi. Raisha mengambil sesuatu di bucket yang menempel di dinding. Itu adalah alat untuk tes kehamilan.
"Semoga saja," gumam Raisha.
Ia berjalan menuju closet untuk melakukan tes kehamilannya.
---
Raisha menatap alat tespeck itu yang hanya menunjukkan satu garis merah.
"Huff..."
Raisha terduduk di atas closet dengan perasaan kecewa juga gundah.
Kenapa...? kenapa masih belum juga hamil, padahal ia begitu menginginkannya dan memberi kejutan kepada Revan. Padahal banyak teman-temannya yang baru menikah dan langsung hamil. Belum lagi kata-kata Ibu mertuanyakemarin.
Tok tok tok
"Sayang... kamu di dalam?" seruan itu menyadarkan Raisha dari lamunannya.
"Iya, sebentar." Raisha bergegas menyimpan kembali alat itu ke dalam bucket dan mengambil air wudhu.
Tak lama Raisha keluar dari kamar mandi dan terlihat Revan tengah duduk di atas sofa menunggunya.
"Sudah selesai?" tanya Revan yang di angguki Raisha. "Baiklah aku ambil dulu air wudhu dan kita solat berjamaah." Sekali lagi Raisha menganggukkan kepalanya.
---
Mereka berdua baru saja selesai melaksanakan solat subuh berjamaah. Raisha bersimpuh di atas hamparan sajadah dengan menengadahkan kedua tangannya ke atas.
Raisha berdoa di dalam hati, ia berharap Allah segera menitipkan seorang buah hati kepada mereka. Ia ingin sekali menyenangkan suaminya itu.
Revan lebih dulu menyelesaikan doa nya dan menoleh ke arah Raisha yang terlihat khusu berdoa dengan terurai air mata. Ada rasa penasaran, akan apa yang sedang di minta oleh istrinya itu. Apa yang tengah membuatnya selalu gundah gulana akhir-akhir ini.
Revan membiarkannya dan beranjak dari duduk silanya terlebih dulu seraya melipat sajadahnya dan membuka peci yang ia gunakan.
Tak lama Raisha selesai berdoa dan ia terlihat tengah melipat mukenanya.
"Apa yang kamu doakan, Sayang?" tanya Revan yang tengah duduk di atas ranjang dengan bersandar ke kepala ranjang.
Raisha berjalan mendekati Revan dan duduk di hadapannya. Ia menggenggam tangan Revan kemudian ia mengecup punggung tangan suaminya itu.
"Maaf yah, sepertinya kali ini kembali negative," seru Raisha dengan nada sedih.
Revan barulah paham apa yang membuat istrinya itu terlihat sedih. Ia menggenggam tangan Raisha kemudian sebelah tangannya lagi membelai wajahnya.
"Kenapa harus minta maaf, kamu tidak salah. Kita tetap harus sabar dan tak putus berdoa sama Allah. Mungkin untuk sekarang Allah masih memberi kita berdua kesempatan untuk berpacaran halal lebih lama," ucap Revan.
"Tapi aku belum bisa membahagiakanmu," seru Raisha.
"CK, kamu ini ngomong apa sih, Sayang. Apa kebahagiaanku hanya ini? Dengan bisa terus bersamamu, di dekatmu dan bisa mencintaimu adalah kebahagiaan terbesar untukku," ucapnya membuat Raisha merebahkan kepalanya di dada bidang Revan.
"Terima kasih,"
"Jangan sedih lagi, kita harus tetap berusaha dan bersadar.Lagipula usia pernikahan kita baru jalan dua bulan. Aku yakin nanti saat sudah waktunya, Allah akan menitipkan buah hati kepada kita," ucapnya yang di angguki Raisha.
♥
Raisha tengah memasukkan opor yang ia masak ke dalam kotak bekalnya. Ibu mertuanya masuk ke dapur dan melihat Raisha.
"Raisha, apa kamu sudah coba tes kehamilan?" pertanyaan mertuanya itu membuat Raisha tertegun.
"Raisha, Mama bertanya kepadamu. Kamu mendengarnya, bukan?" seru Hani.
"Itu-" Raisha berbalik badan melihat ke arah Hani. "Sudah Ma, tetapi masih negative."
"Coba kamu ambil cuti kerja dulu. Jangan terus focus bekerja. Perhatikan suamimu, dia butuh keturunan dan bahagiakan dia. Jangan hanya memikirkan diri sendiri!" seru Hani dengan nada dingin, setelah itu ia berlalu pergi meninggalkan Raisha seorang diri. "Jadi istri yang berguna, jangan hanya mengambil keuntungan dari putraku!"
Tanpa sadar air mata Raisha jatuh membasahi pipinya. Ia benar-benar sudah sangat sakit hati.
---
Raisha menaiki mobil dimana Revan berada.
"Ada apa?" tanya Revan saat Raisha masuk ke dalam mobil dengan mata memerah.
"Aku tidak apa-apa," seru Raisha tersenyum.
"Matamu merah," seru Revan melihat ke arah Raisha.
"Ah ini. Aku tadi kemasukan merica," seru Raisha tersenyum kecil.
"Benarkah?" seru Revan meneliti wajah Raisha yang terus saja menghindari tatapan Revan.
"Raisha," seru Revan memegang kedua pundak Raisha hingga Raisha melihat ke arahnya. "Aku mohon katakan padaku apa yang terjadi."
Revan menatap mata Raisha yang berkaca-kaca.
"Raisha-"
Tiba-tiba saja Raisha menangis sesegukan. "Hei?" Revan sangat kaget melihat Raisha menangis seperti itu. Ia membawa Raisha ke dalam pelukannya. Revan membelai lengan Raisha dan membiarkan Raisha meluapkan kesedihannya.
"Van,"
"Hmm. Katakanlah," seru Revan.
"Apa aku bukan istri yang baik untukmu?" tanya Raisha membuat Revan melepaskan pelukannya.
"Apa yang kamu katakan. Kamu adalah istri terbaik untukku, kenapa kamu berpikiran seperti itu?" seru Revan membuat Raisha menggelengkan kepalanya.
"Kau berdebat kembali dengan Mama?" tanya Revan dan itu membuat Raisha terdiam.
"Maaf yah, Mama memang kata-katanya selalu menusuk hati," seru Revan.
Raisha menghapus air matanya dan tersenyum ke arah Revan. "Maaf, aku hanya sedang sensitive. Aku tidak apa-apa, ayo kita berangkat sebelum terlambat."
"Kamu yakin tidak apa-apa?" tanya Revan masih cemas.
"Ya. Sudah aku katakan bukan, kalau dada bidang ini adalah tempat ternyamanku. Dan aku sudah lebih baik sekarang setelah merebahkan kepalaku di sini," seru Raisha tersenyum lebar seraya menyentuh dada bidang Revan.
Revan tersenyum. "Yakin?"
Raisha menganggukkan kepalanya. "Aku sungguh sudah baik-baik saja."
"Baiklah, kita berangkat sekarang," seru Revan yang di angguki Raisha.
♥