Setelah memastikan bahwa John benar-benar sudah pergi dari rumah, Matheo segera memasuki kamar, menghampiri Phoebe yang sedang duduk meringkuk di atas ranjang sambil menangis. Melihat kakaknya yang begitu menyedihkan, remaja itu benar-benar merasa hancur dan lemas.
"Aku sudah dengar semuanya tadi," ucapnya.
Phoebe segera mengusap air matanya, kemudian menoleh menatap Matheo. "Ternyata kamu sudah pulang. Kamu pulang lebih cepat dari biasanya."
"Dosen hanya memberi ulasan satu materi karena dia mendadak ada urusan penting," jelas Matheo sambil duduk di tepi ranjang. "Lebih baik kita pergi dari sini. Ini bukan tempat yang baik untuk kita, terutama kamu," lanjutnya.
Phoebe menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya.
"Pria sepertinya tidak pantas menjadi suamimu. Aku pun tidak rela jika kamu disakiti terus menerus," ucap Matheo dengan menekuk wajahnya.
"Jika kita pergi dari sini, itu percuma karena dia pasti mengejarku. Lagi pula kamu belum selesai kuliah ... Aku tidak ingin kuliahmu jadi berantakan hanya karena terkena dampak dari masalah rumah tanggaku," sahut Phoebe dengan tabah. "untuk sementara waktu biarlah seperti ini ... Aku tidak ingin masa depanmu jadi hancur. Lagi pula kita akan lari ke mana ... Kita tidak memiliki tujuan selain ke Kanada. Tapi itu percuma karena dia pasti akan datang ke sana lalu menjemput aku lagi. Tidak mudah untuk lari dari kenyataan ini," lanjutnya dengan sendu.
"Jangan terlalu memikirkan pendidikanku. Aku bisa menghandle nya dengan berkompromi dengan dosenku dan dengan teman-temanku yang mungkin bisa membantu aku. Aku akan jelaskan tentang situasi saat ini supaya mereka mau membantu aku,"ucap Matheo, kemudian menoleh menatap Phoebe dengan iba. "ayo kita pergi dari sini. Kita cari tempat yang paling aman yang tidak mungkin didatangi oleh suamimu yang gila itu. Aku tidak ingin kamu terus-menerus di sini menahan rasa sakit hati yang akan malah membuatmu menjadi down ... lalu sakit ... Kamu lebih berharga dari apapun."
Phoebe terdiam dengan menekuk wajahnya, merasa apa yang dikatakan oleh Matheo adalah benar. Dia akan semakin terluka jika terus-menerus di sini, bersama John yang bersamanya tetapi mencintai wanita lain dan mungkin masih bertemu wanita itu secara diam-diam.
"Kak, ayo pergi dari sini," ucap Matheo dengan lembut.
"Tapi kita akan pergi ke mana?" tanya Phoebe dengan suaranya yang terdengar serak.
Matheo terdiam sejenak, kemudian merebus aku jaketnya. "Aku akan coba hubungi temanku yang punya keluarga di New York," ucapnya.
Phoebe menghela napas, menunggu Matheo yang sedang mencari solusi. Dia pun memilih untuk beranjak dari ranjang, kemudian berjalan menuju kopernya yang tergeletak di lantai di depan ruang walk in closet. Melihat koper itu, dia kembali teringat tentang bagaimana John begitu marah saat dia akan pergi, lalu menyeretnya menuju kasur.
'Baru kali ini dia sangat kasar padaku hanya karena tidak ingin aku pergi dan juga ingin mempertahankan perselingkuhannya dengan wanita itu. Mungkin dia bisa terus berbuat kasar jika aku tetap memilih bertahan di sini ... Lalu bukan kebahagiaan yang aku dapatkan atas pernikahan ini, tapi hanya penderitaan dan mungkin anakku juga akan menderita karena dia akan melihat ayahnya mencintai wanita lain selain ibunya,' batin Phoebe, meraba perutnya yang masih datar. 'Aku bahkan belum ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilanku.'
"Kak, aku sudah temukan solusi," ucap Matheo.
Phoebe pun menoleh pada Matheo yang beranjak berdiri dan menghampirinya.
"Kita akan ke New York hari ini juga. Lalu setibanya di sana kita akan menempati salah satu apartemen temanku yang tidak ditempati karena dia sedang ada di kota ini," ucap Matheo dengan antusias.
"Tapi ... Apa itu tidak masalah?" tanya Phoebe dengan cemas. "Maksudku ... Gimana kalau orangtuanya tidak setuju jika kita tinggal di apartemennya?"
"Orangtuanya sangat kaya. Dia bilang orang tuanya tidak akan mempermasalahkan kita yang akan tinggal di apartemennya," jawab Matheo dengan tenang, menunduk menatap sang kakak yang lebih pendek darinya. "Kamu tidak perlu khawatir. Sekarang sebaiknya kamu bersiap. Kita harus segera pergi sebelum John sialan itu pulang dan mencegah kita," lanjutnya dengan antusias.
"Baiklah kalau begitu ..." Phoebe menggangguk-anggukkan kan kepalanya. "Sebaiknya kamu juga segera berkemas. Kita harus cepat karena Jhon bilang akan segera kembali."
"Aku bantu kamu dulu," ucap Matheo segera mengambil koper Phoebe. Dia segera membantu kakaknya itu untuk berkemas secepat mungkin, dia juga memesan tiket pesawat menuju New York dalam waktu dekat ini.
Phoebe mengeluarkan beberapa pakaiannya dari dalam lemari, kemudian Matheo memasukkannya ke dalam koper. Dia juga membawa beberapa benda-benda yang sering dia gunakan untuk kehidupan sehari-harinya, lalu melepas cincin pernikahannya dan meletakannya di atas dipan.
"Matheo, tapi setelah ini kita tidak akan punya uang," ucapnya.
"Masalah uang kita bisa cari. Aku akan mencari pekerjaan saat sudah tiba di sana. Mungkin bekerja paruh waktu supaya aku bisa fokus kuliah," sahut Matheo dengan santai.
"Untuk sementara, kita bisa hidup nyaman tanpa bekerja karena aku punya tabungan dari hasil kerjaku sebelum menikah dengan John. Itu bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan kita, membayar kuliah mu ... Atau mungkin membuka bisnis kecil-kecilan," ucap Phoebe, memilih beberapa dua sendal yang cukup bagus tersedia di dalam rak yang dipenuhi oleh sendal mewah dan juga heels, kemudian memasukkannya ke dalam koper.
"Untuk sementara memang harus begitu karena aku harus berurusan dengan dosenku. Setelah itu aku janji aku akan segera mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan kita," sahut Matheo, memasukkan pakaian Phoebe dengan cepat.
"Matheo, sebaiknya kamu segera berkemas sekarang. Aku akan lanjut berkemah sendiri," seru Phoebe, merasa takut jika John akan kembali secepatnya dan mengacaukan rencananya dengan Matheo.
Matheo pun segera meninggalkan kamar, menuju kamarnya untuk berkemas juga.
Phoebe menutup kopernya, kemudian membawanya keluar dari ruang walk in closet. Dia segera memakai make up tipis, lalu memasukkan peralatan make up nya ke dalam tas selempang berukuran sedang, lalu mengambil ponselnya yang terletak di atas meja dekat ranjang.
"Aku tidak boleh menggunakan SIM card ponselku lagi karena itu akan membuat John bisa menemukan aku," ucapnya, segera mengambil mengeluarkan simcardnya dari dalam ponselnya. Setelah itu dia menyimpan ponsel itu ke dalam tas bersamaan dengan charger.
Merasa siap, Phoebe segera berjalan menuju keluar kamar sambil menyeret kopernya. Dia berhenti saat tiba di ambang pintu, menoleh ke belakang dan menatap suasana kamar itu. Bayang-bayang saat dirinya bersama John menghabiskan malam-malam yang indah di kamar itu kembali terlintas di benaknya, membuatnya merasa sedih karena hal manis itu tidak akan terulang lagi.
'Aku harus kuat ... Aku tidak boleh lemah. Di sini terus-menerus hanya akan membuat aku terus-menerus direndahkan oleh John ... Dia akan terus berbuat semena-mena hanya karena dia kaya raya dan memenuhi semua kebutuhanku dan juga Matheo. Aku bahkan sanggup membesarkan anakku sendiri,' batinnya, kemudian segera keluar dari kamar dengan segala kedekatan di hatinya. Wanita itu sungguh tidak memiliki keraguan lagi untuk meninggalkan suaminya, karena hatinya sudah sangat kecewa dan sakit.