Port Swettenhan, Malaya, 1942
Irwansyah mencari-cari orang yang menjemputnya di antara mobil-mobil yang parkir di luar pelabuhan. Ia melihat kertas bertuliskan namanya. "Irwansyah - Langkat". Ia segera menghampiri orang berperawakan keturunan India yang memegang kertas itu.
"Saye Irwansyah," ujar Irwansyah mengenalkan diri pada orang itu.
"Ape yu punye bukti?" tanya orang itu.
Irwansyah mengambil surat jalannya dari dalam tas, lalu menunjukkannya. Orang itu memeriksa surat yang diberikan, kemudian mengembalikannya dan menyalami Irwansyah.
"A, selamat datang! Ay punya name is Anand, Mister Tun Zaenal punya diver. Biar Anand bawe Tuan punya bag," ujar Anand.
"Tak usah, biar saye bawa sendiri. Terima kasih Anand."
"Kau begitu mari kite berangkat. Anand punye vehicle parkir agak jauh, biar tak sulit keluar. Mari, Ser."
Mereka berjalan menuju mobil Anand. Irwansyah mengimbangi cara berjalan Anand yang cepat. Sesampainya di mobil Irwansyah duduk di sebelah Anand. Mobil pun berjalan.
"Hey, Ser. Anand sering menyeberang ke pulau Borneo(63), tapi sayangnye Anand belum pernah menyeberang ke Pulau Percha(64), tuan punye tempat. Same sekali tak pernah! Anand tak pernah, orang tue Anand tak pernah, begitu pule orang tue dari Anand punye orang tue," ujar Anand dengan gaya bicara yang juga cepat.
Irwansyah hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Mister Tun Zaenal dan Mendiang Mister Tengku Rasyid itu sangat dekat. Anand beberape kali berjumpe dengan beliau dan Tengku Sani, tetapi kenape Anand baru sekarang berjumpe dengan tuan?" tanya Anand.
"Saye memang belum pernah ke semenanjung Malaya, waktu itu belum suke berpergian jauh," jawab Irwansyah.
"Ow, first time rupanye. Hey, Ser! Anand want to tanye samting pade yu. May be yu pun sudah dengar sebelumnye. Kate cerite, Raje Kesultanan Perak dengan Raje Kesultanan Siak bersaudare(65). Begitu pule Raje Negeri Sembilan dan orang-orang Minangkabau(66). Ape yu tahu?"
"Ape yang tak mungkin? Kite same-same bangse serumpun yang hanye terpisah oleh Selat Melake. Cume satu hal yang menjadikannye berbede."
"Ape tu, Ser?"
"Tanah di Semenanjung Melaye dikuasai Inggris, sedangkan tanah kami di seberang dikuasai Belande."
"Wow! Sekarang Anand baru paham. Kate Tuan Tengku Sani, orang India di Pulau Percha tak sebanyak di semenanjung Malaya, ternyate itulah sebabnye, karene bangse India dan bangse Melaya same-same dijajah Inggris."
"Orang India di tempat kami mungkin memang tak sebanyak di sini, tapi apa Anand tahu? Justru Anand dan Bangsawan Deli itu bersaudare."
"Anand tak punye saudere di tempat Tuan."
"Punye."
"Hah? Yu cakap samting buat kepale Anand pening, Ser! Anand dah kate pade yu, hingge saat ini Anand tak pernah ke Pulau Percha, begitu pule orang tue Anand, begitu pule orang tue dari Anand punye orang tue. Bagaimane bise Anand bersaudare dengan Bangsawan Deli?"
"Ape Anand tahu siape pendiri kerajaan kesultanan Melayu Deli?"
Anand berpikir lama, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Tuanku Panglima Gotjah Pahlawan(67). Beliau itu berasal dari Indie," ujar Irwansyah.
Anand tampak terkejut. "Wow, luar biase! Lalu?"
"Lalu?"
"Lalu, ape soal?"
"Memang tak ada soal. Hmm, ape aku salah kire? Kupikir, kau juge keturunan dari India," ujar Irwansyah ragu.
"Siape bilang Anand keturunan dari India?"
Irwansyah heran karena wajah dan gaya bicara Anand memang seperti umumnya orang India.
"Tengok baik-baik Anand punye wajah, dengar baik-baik Anand punye logat bicare. Ha? Ha? Sangat Melayu!"
Irwansyah tertawa. "Iya, memang."
"Ha, Tuan salah sangke, hahaha. Anand memang keturunan Indie. Yang ay heran, darimane tadi Tuan sempat mengire Anand keturunan Indie?" tanya Anand.
Irwansyah tersenyum. "Walau wajah dan logat Anand sudah berubah, sesame saudare tentu akan mudah saling mengenali."
"Oh, betul, tadi Tuan bilang pendiri kerajaan Deli memang orang India. Pantas wajah kite berdue same."
Irwansyah tertawa. "Betul, macam pinang dibelah due."
Anand tampak senang, kemudian laki-laki yang senang bicara itu terus berkicau menceritakan segala hal tempat-tempat yang mereka lewati.
Irwansyah memandangi kota-kota yang mereka lewati. Negeri Malaya cukup untuk mengobati kerinduannya pada tanah kelahirannya. Malaya mirip dengan Sumatera Timur. Selain kesamaan bahasa dan budaya, di sini juga banyak terdapat kawasan perkebunan yang luas, yang tampak berbeda hanya pada bangunan-bangunan kantor pemerintahan yang memiliki gaya arsitektur Inggris, bukan Belanda.
*****
Langkat, 1942
Tengku Farisya menuntun sepedanya yang kempes di jalan raya. Mobil yang melintas berhenti di dekatnya. Seorang pemuda keluar dari dalam mobil.
"Kenapa sepedamu? Bannya bocor?" tanya pemuda itu.
"Iya, Bang," sahut Tengku Farisya.
"Kalau begitu, biar sepedamu saya ikat di punggung mobil, saya antar kamu pulang."
"Tak usah, Bang. Terima kasih"
"Jangan sungkan, Dek. Saya ini anggota volksraad(68) yang kebetulan sedang lewat. Nama saya, Syam. Kamu?" tanya Syam sambil mengulurkan tangannya.
Tengku Farisa menyambut dengan menyatukan tangannya sendiri. "Nama saya Farisya."
"Farisya. Nama yang indah, sama seperti wajah pemiliknya."
Mendengar pujian orang yang baru dikenalnya, malah membuat Tengku Farisya terlihat risih.
"Saya pernah tinggal sebentar di Langkat. Beberapa orang di sini masih banyak yang kenal dengan saya. Sombong betul rasanya, jika tak membantumu," ujar Syam.
"Sekali lagi terimakasih, tapi tak usah, Bang. Rumah saya tak terlalu jauh dari sini," tolak Tengku Farisya.
Tiba-tiba ada sepeda lain yang melintas dan berhenti.
"Oh, mobil Bang Syam rupanye," sapa orang itu pada Syam, lalu ia beralih pada Tengku Farisya. "Ade ape Akak Farisya, sepedenye kempis?"
Tengku Farisya mengangguk.
Syam mengeluarkan tali dari bagasi lalu menyerahkannya pada laki-laki bersepeda. "Kamu angkat dan ikat sepeda ini di belakang mobil."
Laki-laki bersepeda itu mengangkat sepeda Tengku Farisya tanpa menunggu persetujuannya. "Daripade mendorong, lebih baik bersame Bang Syam. Tak usah risau, nanti awak ikuti."
Tengku Farisya bingung karena sepedanya sedang diikat di mobil Syam.
"Oh iya, Bang. Akak Farisya ini anak Wak Tengku Rasyid, bangsawan Langkat," ujar laki-laki bersepeda.
Syam mengangguk lalu mengajak Tengku Farisya masuk ke mobil.
*****
Di dalam mobil Syam, wajah Tengku Farisya terlihat tidak nyaman.
"Tadi Dek Farisya bersepeda dari mana?"
"Dari Istana Darussalam, mengambil surat dari calon suami saya," sahut Tengku Farisya agar Syam tahu kenapa ia tidak ingin diantar.
"Siapa namanya?."
"Irwansyah."
"Irwansyah? Anak angkat bangsawan Deli yang sedang sekolah di Belanda itu?"
"Betul. Bang Syam kenal rupanya?"
"Hmm. Saya pernah bertemu sekali. Apa dia belum pulang dari Belanda?"
"Kabarnya dalam perjalanan pulang, Bang, tapi sudah berbulan-bulan belum juga sampai. Makanya saya mencari surat untuk memastikan kabarnya."
"Mungkin dia tidak jadi pulang. Kau tahulah bagaimana kebiasaan orang-orang Belanda itu, pergaulannya bebas dan perempuannya cantik-cantik," ujar Syam.
Tengku Farisya tidak berminat menanggapi hasutan Syam.
"Bang, berhenti di simpang tiga itu saja. Rumah saya belok ke situ, jalannya tak beraspal."
"Mobil saya bisa masuk ke situ. Biar saya antar sampai rumah untuk berkenalan dengan orang tua kamu. Pasti dia senang melihat seorang anggota volksraad mengantar anaknya," ujar Syam.
Wajah Tengku Farisya semakin terlihat tidak nyaman.
*****
Kuala Lumpur, Malaya, 1942
Mobil Anand melaju dengan kencang. Tiba-tiba dari arah berlawanan Anand melihat iringan mobil-mobil militer milik tentara Inggris. Anand segera menepi sambil memandangi para tentara yang lewat.
"Tak biasanye, banyak betul tentare yang melintas, macam nak perang saje," ujar Anand sambil melirik Irwansyah yang sedang tidur.
Setelah rombongan itu lewat Anand menjalankan mobilnya lagi. Beberapa menit kemudian, Anand melihat banyak tentara Inggris yang menghadang orang-orang lewat di tengah jalan. Seorang tentara berteriak agar Anand membawa mobilnya parkir di tempat yang ia tunjuk. Anand mengikuti perintah tentara itu. Irwansyah bangun.
"Sori, Ser. Kite disuruh berhenti oleh tentara. Anand pun tak paham, ape yang jadi soal. Tidak seperti biase, sangat banyak tentare Inggris di jalan," ujar Anand.
Seorang tentara lain berteriak menyuruh Anand dan Irwansyah turun dari mobil seta mengikuti orang-orang sipil lain menuju ke sebuah gedung besar.
"Hmm, nampaknye, Jepang telah tibe di wilayah Melaye," ujar Irwansyah sambil mengambil tasnya.
"Jepang? Ape yang nak mereke buat di sini, Ser?"
"Sepertinye gelombang Perang Dunia Kedua tlah sampai ke tanah Melayu. Jepang nak merebut Malaya dari Inggris."
"Hah? Perang, Ser?"
Irwansyah mengangguk. Para tentara Inggris terus berteriak menghalau semua pelintas jalan untuk menuju ke gedung yang ingin mereka jadikan tempat perlindungan.
"Ape Anand tahu di mane markas tentare Inggris?" tanya Irwansyah.
"Dekat betul, Ser. Bile kite tadi terus berjalan, kite pasti sudah melewatinye," jawab Anand.
"Astagfirullahaladzim! Semoge dugaanku salah. Kite akan berade di tengah medan pertempuran. Pantaslah mereke menyuruh kite menyingkir ke dalam gedung," ujar Irwansyah.
Kedua orang itu memasuki gedung bersama orang-orang sipil lainnya. Irwansyah mendekati kaca untuk mengintip, Anand mengikutinya.
"Ini adalah perang perebutan tanah jajahan dari due negare kuat, Inggris melawan Jepang, yang bise kite lakukan cume berusahe agar tak satupun bom atau peluru menyambar diri kite," ujar Irwansyah.
"Dari keduanye, siape yang nampaknye lebih kuat?" tanya Anand.
"Secare jarak, Malaya lebih dekat dengan Jepang, ketimbang Inggris. Ku rase, Inggris akan kalah di sini. Selain merebut jajahan Inggris, Jepang juga pasti akan merebut jajahan Belande, yaitu negeriku," jawab Irwansyah.
Suara desingan peluru dan ledakan mulai terdengar. Tentara Inggris sudah berhadapan dengan tentara Jepang.
"Tiarap!" teriak Irwansyah pada penduduk sipil yang berada di dalam gedung.
Sebagian orang mau mengikuti perintah Irwansyah, sebagian lagi tetap berdiri. Ada yang lari tidak tentu arah karena panik, ada pula yang penasaran ingin melihat melalui jendela kaca.
Di luar sana, tentara Jepang yang jumlahnya lebih banyak terus menekan tentara Inggris. Satu-persatu tentara Inggris tertembak. Beberapa tentara Jepang mendekati bangunan tempat evakuasi. Karena melihat ada orang di dalam bangunan, tentara-tentara Jepang menembaki gedung. Kaca-kaca gedung pecah terkena peluru.
Irwansyah berlari sambil menunduk mendorong orang-orang yang masih berdiri. Melihat beberapa orang sipil tertembak, akhirnya semua orang di dalam gedung mau tiarap, menyisakan seorang anak kecil yang berjalan sambil menangis mencari orang tuanya yang terpisah.
Irwansyah merayap cepat memeluk anak kecil tadi, sayangnya ia malah menangis semakin keras. Ayah anak itu berdiri karena mendengar suara anaknya.
"Tiarap!" teriak Irwansyah pada ayah anak itu.
Sang ayah tetap berdiri mencari posisi keberadaan anaknya.
Rentetan peluru menembus kepala sang ayah sehingga membuat si ibu menjerit dan menangis. Irwansyah segera merayap membawa anak itu pada ibunya.
Para tentara Jepang yang berada di dekat bangunan masih terus menembak dengan membabi buta. Irwansyah segera mengambil baju putih dari dalam tasnya, kemudian membuat tulisan 'orang sipil' dalam bahasa Jepang dari darah yang menggenang, ia menjadikannya semacam bendera dan mengibarkannya di dekat jendela yang sudah bolong.
"Utanaide! Watashitachiha minkan hitodesu!"(69) teriak Irwansyah berulang-ulang kali..
Para tentara Jepang yang melihat bendera itu saling berpandangan, mereka heran mendengar teriakan seseorang berbahasa Jepang. Tembakan ke arah gedung berhenti.
"Kao misete!"(70) teriak komandan tentara Jepang, ia memerintahkan Irwansyah menunjukkan wajahnya.
Irwansyah berdiri sambil mengangkat tangan, lalu berteriak, "Koko ni wa heishi wa imasen. Iru no wa minkan hito, ryōshin, hahaoya, kodomo dakedesui!"(71)
Komandan tentara Jepang menyuruh beberapa anak buahnya masuk ke dalam gedung untuk membuktikan ucapan Irwansyah. Setelah terbukti benar, beberapa tentara Jepang lainnya masuk, mereka menodongkan senjata dan menyuruh orang-orang sipil untuk duduk di lantai sambil meletakkan tangan di atas kepala. Irwansyah mengikuti perintah sambil menerjemahkan ucapan para tentara pada orang-orang sipil.
Beberapa saat kemudian, suara tembakan di luar sana terhenti. Tentara Inggris telah menyerah. Komandan tentara Jepang masuk dan mencari Irwansyah, setelah menemukannya ia menyuruh anak buahnya membawa Irwansyah.
****
Catatan Kaki
63. Pulau Kalimantan juga dikenal dengan nama lain yaitu, Borneo. Pulau Kalimantan adalah pulau ketiga terbesar di dunia. Nama Borneo berasal dari kesultanan Brunei.
64. Pulau Sumatera juga dikenal dengan nama lain yaitu, Pulau Percha, Andalas dan Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti 'pulau emas'). Pulau Sumatera adalah pulau keenam terbesar di dunia.
65. Ketika kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, Sultan Malaka terakhir, yaitu Sultan Mahmud Syah mundur ke Kampar, Sumatera. Ia tinggal disana hingga meninggal. Sultan Mahmud meninggalkan dua pangeran bernama Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Muzaffar Syah. Nantinya Sultan Alauddin Riayat Syah mendirikan Kesultanan Johor dan Sultan Muzaffar Syah mendirikan kesultanan Perak. Keturunan Sultan Mahmud di abad 17, Raja Kecil dari kerajaan Pagaruyung mendirikan Kesultanan Siak Sri Indrapura di Buantan pada tahun 1723. Raja kecil juga dikenal dengan nama Sultan Abdul Jalil. Raja Kecil melakukan perluasan wilayah kesultanan Siak di Sumatera dan Semenanjung Malaya, yaitu Rokan, Bintan hingga Johor. Pada tahun 1717 Raja Kecil atau Sultan Abdul Jalil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor, dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menaklukkan kesultanan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Selangor dan sebagainya.
66. Kerajaan Negeri Sembilan berasal dari para perantau dari Minangkabau. Besarnya peran orang-orang Minang di sana, membuat rakyat Negeri Sembilan selalu pergi ke Minangkabau agar Raja Pagaruyung memberi mereka pemimpin. Pada tahun 1773 Raja Pagaruyung mengirim Raja Melewar atau Raja Mahmud menjadi raja pertama Negeri Sembilan. Begitu pula dengan raja kedua, yaitu Raja hitam pada tahun 1798. Begitu pula dengan raja ketiga, yaitu Raja Lenggang pada tahun 1808. Sebelum Raja Lenggang meninggal pada tahun 1824, Raja Lenggang mengatakan keinginannya bahwa Tuanku Radin dijadikan Yang Di-Pertuan Besar. Dengan keputusan ini, maka datuk-datuk undang tidak lagi melakukan perjalanan ke Pagaruyung. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Negeri Sembilan memiliki seorang pemimpin turun-temurun.
67. Muhammad Delikhan atau Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan adalah seorang tokoh pendiri Kesultanan Deli. Dia seorang keturunan bangsa India yang diangkat menjadi panglima dan ditugaskan oleh Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1612 untuk memerintah di daerah bekas Kerajaan Aru dan melawan bangsa Portugis di wilayah tersebut.
68. Volksraad atau Dewan Rakyat adalah sebuah lembaga penasihat bagi gubernur jendral Hindia-Belanda.
69. "Jangan tembak! Kami adalah warga sipil!"
70. "Tunjukkan wajahmu!
71. "Tidak ada tentara di sini. Hanya ada warga sipil, Orang Tua, Ibu dan Anak Saja."