Fort De Kock, 1942
"Irwan, apa nama asli Fort De Kock sebelum diganti pemerintah Belanda?" tanya Yano Kenzo pada Irwansyah. Mereka sedang berada di Jip militer menuju kantor markas besar Angkatan Darat ke-25.
"Kalau tidak salah Bukittinggi, Tuan Yano Kenzo," jawab Irwansyah.
"Pemerintah Nippon ingin agar negeri-negeri Asia yang berada di bawah perlindungan kami, memakai kembali nama-nama yang telah diganti penjajah Eropa. Batavia sudah menjadi Jakarta, aku ingin kota ini memakai juga memakai Bukittinggi," ujar Yano Kenzo, ia sudah sangat lancar memakai bahasa negeri jajahannya.
"Saya sangat setuju," sahut Irwansyah.
Beberapa pemuda dan pemudi Minang melambaikan tangan sambil bersorak-sorak saat melihat rombongan Jip militer Jepang. Banzai! Merdeka! Hidup Nippon!
Irwansyah tahu, Jepang sudah mempersiapkan rencana pendudukannya dengan sangat matang, bahkan para intelejen mereka sudah telah lama berada di sini saat masih di bawah pemerintahan Belanda.
Hidup Nippon! Hidup Yano Kenzo! teriak para pemuda.
Yano Kenzo membalas lambaian tangan orang-orang yang menyambutnya.
Uda Irwan! Uda Irwansyah! teriak anak-anak gadis.
Irwansyah memang sudah sering berkeliling kota-kota di Sumatera Barat bersama Yano Kenzo, sehingga namanya juga ikut dikenal.
"Wah, anak-anak gadis itu mengenalmu. Lihatlah, mereka cantik-cantik. Kau pilihlah salah satu untuk menjadi istrimu," ujar Yano Kenzo sambil tertawa.
"Saya sudah punya calon istri. Nanti setelah kita tidak lagi sesibuk sekarang, saya akan melamarnya dan membawanya ke sini."
Beberapa saat kemudian, rombongan Jip militer Yano Kenzo telah sampai di kantor markas besar Angkatan Darat ke-25. Di dalam gedung, Irwansyah diminta menunggu di sebuah ruang, kemudian beberapa tentara mengantar Yano Kenzo menuju ruang yang lain.
Di ruang tamu, Irwansyah mengamati peta yang menunjukkan daerah-daerah yang telah dikuasai pemerintah Jepang.
Rupanya Sumatera Timur juga telah mereka kuasai. Hmm, bagaimana nasib kesultanan Melayu di sana? tanya Irwansyah di dalam hati.
Setelah lama menunggu, tiba-tiba terdengar suara orang bicara dan langkah kaki. Irwansyah terkejut melihat seseorang yang wajahnya sangat ia kenal, walaupun ia belum pernah berjumpa. Orang itu memang terlihat kharismatik seperti yang digambarkan para pendukungnya. Ia berjalan dengan wajah sangat percaya diri bersama Yano Kenzo dan seorang petinggi Jepang. Irwansyah berdiri.
"Selamat datang! Saya Fujiyama(75)," ujar Kolonel Fujiyama sambil menyalami Irwansyah.
"Nama saya Irwansyah," sambut Irwansyah, setelah itu ia segera menyalami orang yang membuatnya kagum. "Akhirnya saya dapat kesempatan bertatap muka langsung dengan tokoh besar pejuang kemerdekaan Indonesia. Apa kabar, Bung Karno(76)?"
Bung Karno memeluk Irwansyah, lalu mencium kedua pipinya. "Insya Allah, baik, adikku. Aku pun senang bisa berkenalan denganmu."
"Yang saya dengar, Bung diasingkan oleh Belanda di Bengkulu, ternyata Bung ada di sini," ujar Irwansyah.
"Tadinya aku memang di Bengkulu. Aku sempat dilarikan Belanda dari tempat pengasingan, tetapi akhirnya mereka meninggalkanku. Kemudian Nippon menemukanku dan membawaku kemari," sahut Bung Karno.
Kolonel Fujiyama tersenyum. "Tentu! Nippon datang sebagai pembebas bangsa-bangsa Asia, oleh karena itu kami tidak seperti Belanda yang tidak menghormati pejuang. Oh, iya, Maaf. Tuan Soekarno tidak bisa lebih lama bersama dengan kita di sini. Beliau diminta segera menemui Jenderal Hitoshi Imamura(77) di Jakarta."
"Sayang sekali pertemuan saya dengan Bung Karno sangat singkat, padahal banyak hal yang ingin saya bicarakan" sahut Irwansyah.
"Aku yakin kita akan bertemu lagi, adikku Irwansyah. Tadi aku sempat mendengar cerita singkat tentang engkau dari Tuan Yano Kenzo, engkau ini pemuda kepercayaan kesultanan Langkat yang punya wawasan keilmuan yang luas, negeri kita sedang butuh pemuda-pemuda hebat seperti dirimu. Baiklah adikku, sampaikan salamku pada Tengku Amir Hamzah. Dia adalah kawanku," ujar Bung Karno.
""Insya Allah akan saya sampaikan," sahut Irwansyah.
Bung Karno menyalami Irwansyah sambil menahan jabatan tangannya. "Katakan pesanku untuk para pejuang. Kita sedang berlayar dalam satu kapal bersama pemilik kapal sambil membawa barang kita sendiri. Janganlah kalian sembarang melompat atau bergerak sendiri-sendiri," pesan Bung Karno.
"Saya paham, Bung." jawab Irwansyah sambil mempererat jabatan tangannya.
Bung Karno kembali memeluk Irwansyah lalu melepasnya. Kolonel Fujiyama menepuk bahu Irwansyah.
"Tuan Yano Kenzo telah ditunjuk menjadi Gubernur Sumatera Barat. Tuan Irwansyah diminta Tuan Yano Kenzo untuk membantu tugasnya di sini." ujar Kolonel Fujiyama.
"Baik, Tuan Fujiyama," sahut Irwansyah.
*****
Apartemen Rizal, Kuala Lumpur, Malaysia 1990.
Fania tercengang. "Masya Allah, Atuk sempat berjumpa langsung dengan Bung Karno?"
"Ya, alhamdulillah. Aku memang beruntung dapat kesempatan bertemu dengan banyak orang-orang besar, mengunjungi tempat-tempat penting hingga mengalami peristiwa hebat dalam sejarah. Sayangnya, aku tak punya kamera, sehingga tak bisa membanggakannya pada cucuku," canda Atuk Irwansyah.
Fania dan Rizal tertawa.
"Lalu, setelah Atuk mau menuruti kemauan Yano Kenzo, apa boleh pulang kampung?" tanya Rizal.
"Boleh, tapi menurutku belum saatnya. Aku harus memastikan posisiku kuat sebelum pulang. Masih ingat pada Syam? Aku bekerja dengan para intelejen Jepang sehingga punya banyak informasi. Menurut informasi, pemuda yang sangat membenci kaum bangsawan itu, telah mendapat kepercayaan penuh dari pemerintah Jepang untuk kawasan Sumatera Timur. Aku menduga, dia sedang memanfaatkan lemahnya posisi daya tawar Kesultanan-kesultanan Melayu pada Jepang, karena pernah punya hubungan kerjasama dengan Belanda.
"Apakah Syam orang dengan ideologi kiri seperti Amin?" tanya Rizal.
"Syam komunis, Amin sosialis. Kalau meminjam istilah kawanku Salim, sosialis itu kiri tapi belum kaffah. Orang sosialis merengek, orang komunis merebut," jawab Atuk Irwansyah.
"Wah, berarti Syam sangat bahaya," komentar Rizal.
"Betul. Kaum kiri pada saat itu sebetulnya juga merupakan pejuang yang menginginkan kemerdekaan Indonesia, tetapi cara dan tujuan utama perjuangan mereka berbeda. Sejak kuliah aku telah mempelajari ideologi dan gerakan revolusi kaum komunis di berbagai belahan dunia. Apa yang dilakukan Lenin pada kaisar Tsar di Rusia, Mao Zedong pada kaum nasionalis di RRC dan sebagainya, semuanya kudeta berdarah. Sayangnya aku baru sadar betapa bahayanya berkawan dengan mereka setelah merasakannya sendiri. Mereka tak segan menghabisi yang tak sepaham, sekalipun itu kawan," sahut Atuk Irwansyah.
*****
Rumah Tengku Hasyim, Langkat, 1942.
"Saya datang karena ingin mencoba lagi melamar Farisya," ujar Syam.
Tengku Hasyim menghela nafas berat. "Syam. Ini sudah ketige kalinya kau menyampaikan niatmu. Bukankah kau tahu, Farisya tlah punye calon suami."
"Betul, Pak Hasyim, tetapi bukankah hingga detik ini, belum ada satupun laki-laki yang menikahinya? Apa salahnya, saya terus mencoba melamar seorang gadis yang masih sendiri karena digantung bertahun-tahun oleh laki-laki yang jelas tidak terlalu menginginkannya. Lihatlah kenyataan, siapa sebenarnya yang lebih mencintai Tengku Farisya?" tanya Syam.
Di dalam kamar, Tengku Farisya dan ibunya mendengarkan pembicaraan itu. Wajahnya Tengku Farisya tampak kesal.
"Sudahlah, Syam. Aku menghargai lamaranmu, tetapi aku bukan orang tua yang suka memaksakan jodoh."
"Apa yang Farisya harap dari Irwansyah? Seandainya dia muncul sekarang, dia sudah bukan siapa-siapa lagi. Jangankan masa depan dia, masa depan kesultanan pun telah tamat," ujar Syam.
"Syam, jangan kau hine kesultanan dihadapanku," sahut Tengku Hasyim kesal.
"Saya tidak menghina, hanya mengingatkan. Saya pikir, justru sebagai orang tua, sebaiknya Pak Hasyim mau bersikap bijaksana sekaligus bertanggung jawab, mulai memikirkan masa depan Farisya.
"Aku pikir sebaiknya kau pulang saja."
Syam menggeleng-gelengkan kepala. "Saya kasihan pada kaum bangsawan. Rupanya, kemakmuran dari Belanda sudah membuat mata kaum bangsawan buta. Pak Hasyim, hadapilah kenyataan. Jepang telah membuat Belanda lari terbirit-birit, apa Bapak pikir Belanda berani kembali lagi?"
"Apa kau tak mendengar kalimatku? Sebaiknya kau pulang, Syam!" bentak Tengku Hasyim.
Syam tertawa mengejek. "Oh, ada yang masih merasa menjadi penguasa. Tahu siapa yang sedang anda usir? Bahkan, jika mau, saya bisa mengambil paksa apapun yang saya mau."
"Keluar, kau!"
Syam meninggalkan rumah Tengku Hasyim dengan rasa dendam.
*****
Catatan Kaki
75. Kolonel Fujiyama adalah Komandan Gerakan F-Kikan, intelijen yang bertugas di Sumatera sebelum kedatangan pemerintah Jepang yang menggantikan pemerintah Belanda.
76. Ir. Soekarno adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945-1967. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) pada tanggal 17 Agustus 1945.
77. Hitoshi Imamura adalah Panglima Tentara ke-16 sekaligus Gubernur Jenderal di Jawa periode Maret - November 1942.