Pasar Ikan, Jakarta, 1942
Irwansyah berhasil mencapai darat setelah berenang. Dalam keadaan basah kuyup, ia mendekati kawasan ramai yang terang oleh lampu-lampu petromak. Para nelayan dan pedagang ikan yang bertransaksi dalam tempat pelelangan ikan heran melihat Irwansyah
"Bang, nape ente ampe basah kuyup? Abis kecemplung?" tanya seorang pedagang ikan dengan bahasa Betawi.
"Betul, Pak. Saya baru saja kecemplung. Saya tidak melihat air karena gelap," dalih Irwansyah.
"Lah, lagian ude tau di sono gelap, malah nyamperin, Jangan-jangan ente dijorogin kuntilanak," komentar pedagang ikan itu.
Orang-orang yang mendengar tertawa.
"Dari ngomong ame bajunye kayanye ente orang kantoran. Ngapain tengah malem dimari?" tanya pedagang ikan yang lain.
Irwansyah memperhatikan struktur bahasa penduduk setempat. Bunyi huruf 'e' mereka terasa aneh di telinga Irwansyah. Ia pun mencoba menjawab dengan mengikuti bunyi huruf 'e' yang sama. "Saye dimari, sebetulnye hanye hendak bertanye alamat. Barangkali Tuan dan Puan di sini bise membantu."
Orang-orang tertawa mendengar ucapan Irwansyah yang aneh.
"Lidahlu juga ditekuk kuntilanak, Bang?" ledek seorang penjual ikan.
Orang-orang tertawa lagi.
"Heh, kesianan tauk! Orang lagi nyasar, lu ketawain," omel orang berpeci miring.
Irwansyah tersenyum.
"Di mane alamatnye, Bang?" tanya orang berpeci miring ramah.
"Kampung Muara, Tanjung Priok, apakah ada yang tahu?" tanya Irwansyah. Ia tidak ingin lagi sok mengikuti gaya bahasa orang-orang di sini.
"Jauh! Nah, entu ade banyak delman, minta anterin aje," sahut orang berpeci miring sambil menunjuk tempat delman.
"Entu? Entunya siapa? Maksudnya entunya Abang?" tanya Irwansyah heran, ia mengira orang di sini juga menyebut ayah dengan istilah 'entu'.
"Ape? Entunye ane?" tanya orang berpeci miring heran.
"Oh, die mau dituntun pake entuan elu, Bang! Hahaha!" sahut seorang penjual ikan.
Orang-orang tertawa.
"Heh! Orang lagi keder, ente pade sekate-kate!" Dengan sabar orang berpeci miring kembali menunjuk tempat delman. "Entu, tuh! ... Kagak liat ape?"
"Oh, naik sado itu," sahut Irwansyah.
"Iye! Lha pan ane kate jauh. Emangnye ente ke sono mau ngetuk?" tanya orang berpeci miring.
"Ngetuk?" tanya Irwansyah.
"Lha, nape ente makin keder? Kaga ade ongkos?" tanya orang berpeci miring.
Irwansyah bingung dengan kata-kata yang belum pernah ia dengar, tetapi ia paham orang itu menyuruhnya naik sado ke alamat yang ia tuju.
"Ada. Baik, Bang, saya mau naik sado itu. Terima kasih," ujar Irwansyah.
"Iye, hehe," sahut orang berpeci miring.
"Eh, Mas. Mlaku bengi nang kono ora apik, akeh begal. Ati-ati, yo!"(80) ujar salah satu tukang ikan.
"Oh, njih, Mas. Nuwun sewu,"(81) sahut Irwansyah.
"Lah? Dia malah ngarti!" komentar orang berpeci miring.
***
Rumah Asril, Tanjung Priok, Jakarta.
Irwansyah sudah sampai di rumah Asril. Di pagi hari mereka ngobrol di teras rumah Asril yang besar dan punya halaman luas.
"Nampaknye, sangat jarang orang kite yang merantau ke sini, tergelak-gelak orang-orang mendengarku bicare," ujar Irwansyah yang baru saja menceritakan pengalamannya di Pasar Ikan.
Asril tertawa. "Betul, Wan, tapi, bile lame sikit, kurase kau akan cepat beradaptasi. Kau mudah menguasai banyak bahase dan cepat pulak bise mengikuti logat, tak macam lidahku yang dah tak bise sembarang melengkung, hahaha."
Irwansyah tersenyum. "Mungkin kau terlalu banyak makan daun ubi, Ril. Katenye itu mengandung zat besi."
"Pantaslah lidahku macam ade kawat, hahaha. Eh, Wan. Karene kau tak bise lekas pulang. Aku nak mengenalkan kau dengan pare pejuang di sini," usul Asril.
"Entahlah, aku sangat kuatir dengan kondisi di kampung kite," ujar Irwansyah.
"Tenang, besok kite pantau lewat radio di tempat kawanku."
"Hmm, nampaknye aku harus menyiapkan name samaran, Ril."
"Kau memang patut berhati-hati. Ape name samaranmu?"
"Suwandi, biar kau tak silap, kau kan sering menyebut, Wan."
"Macam name orang Jawe."
"Memang sengaje. Nanti sampeyan ndhuak usah huweran ndhengerinnya."
"Hahaha! Ini aku dah sering dengar. Aku tak sabar mendengarmu memakai bahasa Betawi, Wan."
"Sebetulnye ketimbang bahase suku lain, justru bahasa Betawi tu paling mirip dengan bahase Melayu. Cume, mengucapkan bunyi ujungnye saje yang perlu terbiase, lalu nampaknye banyak pulak kate yang mirip tapi maknanye tak same."
"Ha, nampaknye akan cepat kau kuasai, Wan."
"Tengok nantilah, hahaha. Nah, ceritekan tentang pete politik di Jakarta, Ril. Setahuku ade due kubu pejuang. Pihak Bung Karno dan Bung Hatta yang kooperatif pade Jepang dan pihak garis kerasnye Bung Sjahrir. Cemane hubungan mereke?"
"Secare perkawanan, nampaknye tak ade masalah, tapi secare pemikiran, cukup keras perdebatan antare Bung Karno dan Bung Sjahrir(82). Untungnye ade Bung Hatta sebagai penengah. Sebetulnye ade tokoh yang lebih keras lagi pade Bung Karno, Wan."
"Siape?"
"Nanti siang kau kuajak berkunjung ke rumahnye. Nampaknye akan ade perdebatan yang panas nanti."
*****
Rumah Ilyas Hussein, Tanah Tinggi, Jakarta.
Setelah melewati gang-gang sempit di perumahan padat penduduk, Asril mengetuk pintu salah satu rumah sewa yang sempit.
"Bang Ilyas. ini saya, Asril Rusli."
Pintu rumah dibuka sedikit oleh pemiliknya dengan tetap menyembunyikan diri di balik pintu. Setelah Asril dan Irwansyah masuk, orang itu segera menutup dan mengunci pintu.
Ilyas dan Asril bersalaman, setelah itu ternyata Ilyas tidak mau menyambut tangan Irwansyah yang mengajak bersalaman. Ilyas menatap Irwansyah dengan wajah marah.
Walau menangkap suasana aneh, Asril tetap ingin mengenalkan Irwansyah. "Kenalkan, Bang. Namanya Suwandi, dia ... "
"Bukan! Aku tahu siapa orang ini! Ternyata betul, kolaborator Jepang asal Deli-Langkat ada di sini. Kenapa kau bawa bajingan ini ke rumahku?" tanya Ilyas pada Asril.
Asril terkejut. Ia tidak enak hati mendengar ucapan kasar Ilyas. "Maaf, Bang. Saye ... "
"Bawa orang ini pergi, jangan sampai dia tahu siapa diriku!" usir Ilyas.
"Saya tahu siapa Abang," ujar Irwansyah.
"Kau tak tahu apa-apa," sahut Ilyas.
"Nama lengkap Abang adalah Ilyas Hussein, tapi itupun nama samaran. Nama Abang yang sebenarnya adalah Sutan Ibrahim, tetapi orang-orang lebih mengenal Abang sebagai Tan Malaka(83)," ujar Irwansyah.
Asril dan Ilyas terkejut.
"Aku tidak pernah mengatakannya, Bang Ilyas. Bagaimana kau bisa tahu, Wan?" tanya Asril.
"Foto dan data Bang Ilyas sering saya lihat saat berada di kantor pemerintahan Jepang di Sumatera Barat," jawab Irwansyah.
Ilyas tersenyum sinis. "Baiklah, panggil tentara Jepang yang bersembunyi di luar untuk menangkapku!"
"Kami memang hanya berdua, Bang," ujar Asril.
"Izinkan saya bicara, Bang. Apa Abang mendapat informasi tentang diriku dari Syam?" tanya Irwansyah.
"Syam? Bekas orang Volksraad itu? Dia tidak ada bedanya dengan kau. Sama-sama penghianat bangsa! Kalau dia yang datang, aku sudah mengambil pisau di belakang," ujar Ilyas.
"Justru kalau begitu, kita punya musuh yang sama," sahut Irwansyah.
"Sudahi ocehanmu. Kalau tujuanmu kemari bukan untuk menangkapku, pulang!" usir Ilyas.
"Baiklah. Aku pamit pulang. Aku berjanji akan merahasiakan keberadaan dirimu dan tolong juga rahasiakan keberadaanku. Ternyata benar kesimpulanku tentang orang-orang berhaluan kiri, tadinya, kukira Tan Malaka seorang kiri yang punya pemikiran berbeda. Sayang sekali, jika perbedaan ideologi menghalangi diskusi," ujar Irwanysah.
Wajah Ilyas yang tadinya keras jadi melunak. "Kau salah. Aku dan Asril jelas berbeda, tapi kami biasa berdiskusi. Aku memang sangat benci pada semua penindas rakyat, mau kanan, tengah, kiri, tak peduli!. Sebaiknya kau bercerita tentang dirimu, supaya aku bisa mengenalmu dengan baik."
Akhirnya Ilyas mau bicara dengan Irwansyah. Suasana diskusi mereka memang sepanas yang Asril perkirakan. Terkadang mereka tertawa, terkadang mereka bicara dengan nada yang sangat tinggi, bahkan hingga wajah keduanya merah, tetapi keduanya menyadari bahwa lawan bicaranya sama-sama ingin berjuang untuk rakyat Indonesia.
"Wan, sudahlah. Kita sudah bicara berjam-jam tanpa titik temu. Kau sendiri yang bilang, bahwa aku sudah memikirkan struktur bangunan bernama Indonesia sejak anak-anak muda seperti kalian baru belajar berjalan, tetapi kau tetap saja keras kepala. Dengan kelihaian argumentasi, kau terus memaksakan pemikiranmu yang kuanggap tidak murni. Darah yang mengalir di tubuhmu berasal dari kaum proletar, tetapi kau tumbuh karena asupan makanan kaum feodal. Perjuanganmu kunilai hanya sebuah upaya mencari jalan tengah. Dengan adanya syarat, maka itu bukan tentang Indonesia yang kucita-citakan. Kurasa cukup sudah diskusi kita," tutup Ilyas.
*****
Rumah Salim, Menteng, Jakarta.
Besoknya Asril mengajak Irwansyah mendatangi rumah temannya lagi. Ternyata pemiliknya Salim, teman kuliahnya di Leiden. Di situ ia juga bertemu Amin.
Rumah Salim sama seperti rumah Rusdi di Medan, dijadikan tempat berkumpulnya para pejuang muda dan memiliki peralatan radio komunikasi.
Irwansyah senang sekaligus kuatir karena penyamaran lagi-lagi tidak berguna, tetapi ia agak tenang setelah mengetahui situasi di kampung halamannya yang masih aman. Irwansyah pun diajak teman-teman Asril berdiskusi.
"Wan. Bung Adam ni pernah juge sekolah di Langkat," ujar Asril pada Irwansyah.
"Di sekolah mana, Bung Adam?" tanya Irwansyah pada teman Asril.
"Di Langkatsche School, Bung Irwan," sahut Adam Malik(84).
"Kalau saya dan Asril di Madrasah Jam'iyah Mahmudiyah," ujar Irwansyah.
"Buat kawan-kawan yang belum tahu, Langkat itu memang kota pendidikan. Belanda mendirikan Langkatsche School, Europese Lagere School dan Holland Chinese School, sementara Sultan Abdul Aziz juga membangun Madrasah Jam'iyah Mahmudiyah. Setahu saya, sekolah itu memang luar biasa. Bahkan, Sultan sampai mengirim beberapa gurunya ke universitas Al Azhar, Kairo saking memperhatikan kualitas pendidikan. Saya juga dengar, salah satu dari guru tersebut melanjutkan sekolah ke Eropa, apa betul?" tanya Adam Malik.
"Betul, Bung Adam. Nama beliau tuan guru Oka Salamuddin. Setelah dari Al Azhar, beliau melanjutkan ke Sekolah Hakim Tinggi di Paris pada tahun 1923," tambah Irwansyah.
"Sebentar, Bung Adam. Sultan Langkat mendirikan sekolah seperti itu?" tanya Amin.
"Betul! Yang lebih menarik untuk saya, Madrasah Jam'iyah Mahmudiyah juga memiliki kegiatan luar sekolah jurnalistik. Guru dan siswa di sana pernah menerbitkan majalah Bintang Islam pada tahun 1930," ujar Adam Malik.
Amin tercengang.
"Luar biasa. Tapi, hehe. Apapun kebaikannya, jika yang melakukannya kaum feodal, pasti tetap salah di mata Amin, hahaha!" pancing Salim.
Amin tertawa. "Bung, Kita baru saja bertemu. Kasihlah dia nafas dulu, biar perlawananannya agak sedikit seimbang."
Orang-orang tertawa, termasuk Irwansyah.
"Ah, apa iya Bung Irwan perlu diberi kesempatan bernafas, hanya untuk melawan Amin? Kau kan dijuluki singa Leiden," pancing Salim lagi.
Irwansyah tersenyum. "Aku justru malah tidak berani. Berdosa rasanya jika aku melawan pejuang."
"Nah, kau dengar itu, Lim? Singa Leiden ini akhirnya sadar, dia tidak mau selamanya terkurung dalam kandang emas kaum feodal," ledek Amin.
Salim tertawa. "Jangan senang dulu Bung Amin. Sebentar, kupastikan lagi, apakah betul Bung Irwan sudah percaya bahwa orang-orang kiri itu pejuang yang membela kaum lemah."
"Percaya," sahut Irwansyah.
"Wah, aku sudah tak punya penyeimbang tampaknya," ujar Salim.
"Kita kan sudah lama tidak bertemu, jangan-jangan Bung Irwan juga sudah berada di kiri," ujar Amin.
Irwansyah hanya menjawab dengan tersenyum.
"Betul, Bung?" tanya Salim.
"Betul, bahkan anggap saja sekarang ini semua orang sudah berada di kiri, bahkan juga termasuk Bung Salim. Jika itu terjadi, lalu selanjutnya apa lagi yang harus kita lakukan?" tanya Irwansyah.
"Maksudnya bagaimana, Bung?" tanya Amin.
Adam Malik tertawa. "Ini tampaknya akan seru."
"Izinkan kupinjam kalimat Bung Salim. Saat kita semua sudah jadi pembela proletar atau jadi orang yang hanya bisa berteriak-teriak kepada kaum pemilik modal, kaum feodal dan kaum-kaum lain yang dianggap beruntung secara ekonomi. Lalu telinga siapa lagi yang bisa kita teriaki?" tanya Irwansyah.
Salim tertawa terbahak-bahak.
"Aku serius bertanya, bukan bermaksud mengejek. Aku justru bingung, di saat orang-orang seperti Bung Salim sudah tidak termotivasi lagi menciptakan lapangan pekerjaan dan mungkin semuanya pun sudah diambil alih oleh negara, lalu jika upah para proletar itu tetap kecil atau hidup sengsara, apakah kita boleh berteriak-teriak pada negara?" tanya Irwansyah.
"Diberi waktu bernafas, kawan ini malah ganas menyerang. Jawab, Min!" pancing Salim lagi.
Amin diam. Wajahnya tampak merah padam.
Salim tertawa terbahak-bahak. "Kau sudah menang Bung Irwan! Cepat sekali kawanku ini kau buat jinak."
"Yang tertawa paling keraslah yang menang. Aku memang sengaja meladeni provokasi Bung Salim, tapi bukan untuk mencari kemenangan. Maksudku sebenarnya begini, kita semua kan sudah paham, hanya persatuanlah yang bisa membuat kita merdeka. Kenyataannya, hanya karena perbedaan ideologi saja, kita masih sulit bersatu. Begitu mudah dipecah belah dan bahkan bisa saling bermusuhan, lalu bagaimana mungkin kita bisa merdeka? Maafkan atas keisenganku teman-teman, terutama Bung Amin," ujar Irwansyah sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman pada Amin.
Amin merangkul Irwansyah.
"Aku juga minta maaf, kawan-kawan. Aku memang suka bikin gaduh," ujar Salim sambil merangkul Amin dan Irwansyah. "Jadi, kau masih bukan orang kiri, Bung Irwan?"
Adam Malik tertawa. "Mulai lagi kawan provokator kita."
"Dari dulu pemikiranku tentang perjuangan kemerdekaan negeri ini tak pernah berubah. Rangkullah semuanya dengan cara yang adil, siapapun itu, selama mereka berada di jalan yang benar. Adil merupakan syarat mutlak untuk bersatu, jika masih ada yang kau pinggirkan atau kau paksakan harus mengikuti pemikiran atau kepentingan kelompok yang kau bela, maka kau sudah mengoyak cita-cita kemerdekaan kita," ujar Irwansyah.
*****
Apartemen Rizal, Kuala Lumpur , Malaysia, 1990
Atuk Irwansyah tersenyum. "Aku memang tidak kayak disebut pejuang. Pendapat Bang Ilyas betul, yang kulakukan hanya sebuah upaya mencari jalan tengah. Orang biasa yang berupaya membalas kebaikan orang-orang yang membesarkanku dan berbakti pada negeri tempat aku lahir dan dibesarkan agar tetap damai."
"Sebagai mantan analis perang tak resmi di Inggris, Atuk pasti sudah berhitung tentang kemungkinan nasib kesultanan-kesultanan. Itulah sebabnya Atuk berusaha mencari jalan tengah," komentar Fania.
"Ah, betul, tak lebih dari sekedar menyiapkan tempat mendarat yang landai," sahut Atuk Irwansyah.
"Menurut Fania, Atuk tetap pejuang."
"Tentulah, kau kan cucuku," sahut Atuk Irwansyah sambil tertawa.
Rizal tersenyum. "Lalu kapan Atuk kembali pulang kampung?"
"Aku tidak bisa pulang karena kapal minyak Asrul mendadak bertugas ke lintas negara untuk kebutuhan logistik perang Jepang. Sudah itu, karena penyamaranku menjadi Suwandi tidak terlaksana, akhirnya Shinichi Hayasaki mengetahui keberadaanku di Jakarta bersama para pejuang garis keras. Untungnya Shinichi sangat menghormati Yano Kenzo, di Medan statusku tetap dianggap belum terbukti bersalah dan ia tetap memburu Syam. Sayangnya, Shinichi juga melapor ke Jakarta, sehingga di sana statusku jadi buronan. Aku pun pergi dari rumah Asril tanpa memberitahunya, agar dia dan teman-temannya tidak tersangkut dalam masalahku, kebetulan nama Asrul masih bersih."
"Tanpa Asril dan teman-temannya, kali ini Atuk bisa jadi orang Jawa yang bernama Suwandi," tebak Fania.
"Tidak, itu sangat mudah terbaca," jawab Atuk Irwansyah.
*****
Catatan Kaki
80. "Eh, Mas. Jalan malam-malam ke sana tidak aman, banyak begal. Hati-hati, ya! "
81. "Oh, iya, Mas. Terimakasih banyak,"
82. Soetan Sjahrir adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Sjahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia
83. Tan Malaka atau Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka (2 Juni 1897 - 21 Februari 1949) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri. Tan Malaka berargumen dengan kuat bahwa komunisme dan Islam sejalan. di Indonesia, revolusi harus dibangun di atas keduanya. Oleh karena itu, dia adalah pendukung kuat dari aliansi lanjutan PKI dengan Sarekat Islam (SI). Tan Malaka ditembak mati oleh pasukan TNI saat penumpasan pemberontakan PKI/FDR di Madiun pada tanggal 21 Februari 1949. Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
84. H. Adam Malik Batubara (22 Juli 1917 - 5 September 1984) adalah seorang politikus Indonesia dan mantan jurnalis yang menjabat sebagai wakil presiden ketiga. Di zaman penjajahan Jepang, Adam Malik juga aktif bergerilya melawan Pemerintahan Jepang dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, ia pernah membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.