Chereads / Ambang Senja / Chapter 16 - Siasat - b

Chapter 16 - Siasat - b

Jalan raya, Medan.

Di dalam mobil Tengku Sani, Irwansyah kembali membuka pembicaraan.

"Kenapa tadi kau lebih banyak diam, San?" tanya Irwansyah pada Tengku Sani.

"Aku menduge di antare pare pemude tadi ade orang-orang Syam. Sebetulnye, aku pun tak yakin Syam sudah betul-betul pergi. Ku tengok, Rusdi terlalu mudah percaye pade orang baru. Bukankah dulu, Rusdi pule yang membawe Syam ke Langkat," jawab Tengku Sani.

"Bagaimane menurutmu Burhan?" tanya Irwansyah.

"Bang Rusdi tu memang orang yang membawe Syam, tapi sejak awal die pun dah tak cocok dengan Syam, sayangnye die memang tak tegas. Makanye sepulang pertemuan pemude Langkat, kutumbuk muke Syam karene menghine Bang Irwan. Itulah sebab dulu Syam pergi dari Langkat," ujar Burhan.

"O, Mak, begitu ceritenye?" Irwansyah tertawa.

"Sekarang pun, kalau awak tak Abang ajak ke Langkat. Pasti dah kuikuti si Yunus. Pang! Kubentur kepalenye ke dinding, biar belajar adab sikit. Pendatang-pendatang yang mentiko jangan kite kasih hati. Disepaknye kepale kite bile terlalu menunduk," ujar Burhan.

Tengku Sani tertawa. "Ngeri kali kau! Bagus kami ade dipihakmu. Bile tidak, sudah hilanglah kepale kami ni."

"Astaghfirullahaladzim. Tak mungkinlah awak berani pade abang-abangku ni. Apa kali rupanya awak? Awak ni, bukannya apa, karene kelian ni dah apa kali sama awak, jadi apapun awak apakanlah biar makin apa ... "

"Eh, Burhan, apanya, kau ni? Banyak kali apamu, hahaha!" ujar Tengku Sani.

Burhan dan Irwansyah tertawa.

"Intinye, Bang Irwan. Awak dan Bang Sani tu, same-same tak yakin pade beberape kawan Bang Rusdi, kami curige masih ade pengikut Syam," ujar Burhan.

"Betul. Sebaiknye kau berhati-hati, Wan. Bawalah pistolmu kemanepun kau pergi."

"Baik, San. Kau pun harus berhati-hati, semue orang Syam pasti tahu kau saudareku." sahut Irwansyah.

*****

Hutan Tempat Latihan Militer, Langkat.

Irwansyah, Tengku Sani dan Burhan sudah berada di tempat latihan menembak bersama para pemuda yang dilatih tentara Jepang. Di antara mereka ada anak-anak Mbok Yem, yaitu Mbarep dan Budi.

Budi yang baru bergabung hari ini masih tampak kebingungan dengan senjatanya. "Bang Irwan, iki piye, kok ora iso?"

Mbarep menghampiri. "Ora iso, Ndasmu! Lha kuncine masih manteng, oalah Budi, Budi! Biasane nggowo arit, sekarang megang bedil, hehe. Lihat iki!"

Mbarep membidik kaleng yang disusun di seberang sana sebagai sasaran tembak.

Dor! Klontang! Tembakan Mbarep mengenai sasaran.

"Iso, ora?" tanya Mbarep pada Budi. "Kalo ora iso, mending kowe ngangon wedus, hehe. Tunjukin Budi, Bang," pinta Mbarep pada Irwansyah.

Irwansyah membidik kaleng sasaran tembak yang sudah jatuh dan bergeser lebih jauh karena ditembak Mbarep.

Dor! Klontang!

Irwansyah kembali membidik kaleng sasaran tembak yang sama.

Dor! Klontang!

Para pemuda bertepuk tangan untuk Irwansyah.

"Mau kau mencobenye?" tanya Irwansyah pada Tengku Sani

Tengku Sani menggeleng. "Tak kan bise aku. Lebih baik musuh kutikam dengan pisau."

Irwansyah tertawa.

"Bang Irwan. Bentar lagi mau nikah, lho kok masih ngurusi kita?" tanya Mbarep.

"Abang ndak bikin acara. Cuma ngumpulin keluargane Wak Hasyim, Wak Rasyid dan Mbok Yem, ijab kabul, mangan, wis," sahut Irwansyah.

"Ora ngundang Sultan?" tanya Mbarep.

"Bahaya. Kamu kan tahu, Abang lagi punya banyak musuh," jawab Irwansyah.

"Nah ini, Bang. Kami ini kuatir sama keselamatan Abang. Sepertinya, Bang Irwan sudah seharusnya dikawal," saran Mbarep.

"Same pemikiran kite. Aku kuatir betul, bise saje Syam menyuruh orang untuk mencelakaimu, Wan. Biarlah anak-anak mude ni mengawalmu," pinta Tengku Sani.

Irwansyah tersenyum. "Bukannya meremehkan musuh, malu aku, San. Macam orang besar saje dapat pengawalan."

"Memang dah jadi orang besarlah kau, Wan! Kau ni sedang jadi batu penghalang bagi musuhmu. Mereke pasti menunggu kau lengah," ujar Tengku Sani.

"Tak pantas aku memanfaatkan orang untuk kepentinganku sendiri. Jika kulakukan, apa bedanya aku dengan Syam?"

"Negeri ni kembali aman sejak kau pulang. Tak perlu kau tanye bedenye kau dengan Syam," jawab Tengku Sani.

"Jadi, tak perlu kutanye?" tanya Irwansyah.

"Betul!" sahut Tengku Sani.

"Ah, mane pulak tak perlu kutanye?"

"Tak perlulah!"

"Kalau tak perlu kutanye, berarti harus kutunjukkanlah!"

"Pasi!" sahut Tengku Sani.

"Setuju. Kutunjukkan, bahwe aku tak mau memanfaatkan orang untuk kepentinganku sendiri. Aku tidak perlu kalian kawal."

Tengku Sani memijit-mijit keningnya. "Dimane letak silap kalimatku?"

*****

Rumah Tengku Hasyim, Langkat.

Di malam hari, Irwansyah dan Tengku Farisya bercakap-cakap di serambi rumah.

"Setelah penantian lame, Insya Allah luse Abang kan mengucapkan ijab kabul padamu. Ape adek tlah menyiapkan barang-barang yang nak dibawe ke Bukittinggi?" tanya Irwansyah.

"Belum, Bang, karene ade hal yang merisaukanku."

Irwansyah tersenyum. "Sebagian orang yang nak menikah memang sering dilande risau, apelagi adek akan tinggal jauh dari Emak dan Entu setelah kite menikah."

"Bukan hanye soal jauh dari orang tue, Bang."

"Soal tempat asing?"

"Mungkin, tapi masih ade yang lain."

"Jangan-jangan, Abang yang justru jadi persoalanmu, Dek."

"Betul, Bang."

"O, Mak. Dose apelagi yang dah Abang buat pademu?"

"Abang tak buat salah. Hanye saje, awak mendapat mimpi yang tak bagus tentang Abang."

"Oh, mimpi rupanye. Cemane mimpimu, Dek?"

"Aku bermimpi Bang Irwan nak mengajakku naik sampan di tepi laut. Tibe-tibe, sebelum kujangkau, sampan tu dihantam ombak ke tengah laut, sehingge Abang meninggalkan diriku seorang di tepi pantai. Setelah tu Abang pun menghilang dari pandangan. Tibe-tibe muncul pulak asap dari pulau tempatku berdiam. Saking takutnye, aku pun terbangun dari mimpi dalam keadaan masih menangis."

Irwansyah merenung sejenak. "Sedih betul cerite dalam mimpimu, Dek."

"Ape mimpi awak tu sekedar bunge tidur atau pertande, Bang?" tanya Tengku Farisya.

"Dek, lebih baik tinggalkan hal yang merisaukan, setelah tu kite berdoa agar selalu selamat," pinta Irwansyah.

"Baik, Bang," sahut Tengku Farisya.

*****

Jalan raya, Langkat.

Pulang dari rumah Tengku Hasyim, di bawah terang bulan, sepeda Irwansyah melaju pelan di jalan raya yang berada di tengah ladang yang sepi. Ia melihat sebuah truk parkir di tepi jalan. Tiba-tiba sekumpul orang yang membawa parang, keluar dari truk dan menghadang jalan yang akan dilalui Irwansyah. Irwansyah melihat Syam dan Yunus ada di antara mereka. Ia pun berhenti dan mendirikan sepedanya dengan tenang.

"Ada kawan lama, ada juga kawan baru. Masih berani kau menginjakkan kakimu di sini, Syam!" teriak Irwansyah

Syam tertawa. "Tentu kawan! Apalagi, ini adalah malam terakhirmu menginjak bumi!"

Irawansyah tersenyum. "Oh, begitu? Syam! Maut itu adalah hal pasti untuk semua yang bernyawa, sehingga kau tak perlu menakutiku dengan itu! Tapi aku punya sesuatu yang pasti membuatmu takut!"

Syam tertawa lagi. "Kau cuma sendiri! Sementara aku bersama puluhan orang dengan parang. Dengan apa kau bisa menakutiku!"

"Pertama! Aku memang belum menyerahkan namamu pada Shinichi! Yunus pasti sudah tahu soal itu, makanya kau berani menunjukkan batang hidungmu! Sayangnya Yunus belum tahu, aku sudah menyerahkan laporan kebusukanmu pada orang yang kupercaya! Jika kau memang ditakdirkan menjadi jalan menuju pintu mati syahidku, maka setelahnya laporan itu juga akan menjadi jalan menuju pintu nerakamu! Orang yang kutitipi sudah paham, jika aku mati atau hilang, itu adalah pertanda, bahwa semua yang kutitipkan sudah boleh berada di atas meja Shinichi!" teriak Irwansyah.

Syam terlihat kesal. "Keparat kau! Tapi jangan senang dulu, aku bisa membuatmu menjadi tawanan, agar laporan itu diserahkan padaku!"

Irwansyah tersenyum. "Apa kau tadi tak dengar? Itu baru yang pertama, kawan. Kedua! Aku juga bisa menakutimu dengan ini!" Dengan cepat Irwansyah mengeluarkan pistolnya dari balik jubah, lalu mengarahkannya ke kepala Syam. "Jika ada yang bergerak, Syam mati!"

"Hati-hati, Bang Irwan sangat mahir menembak!" teriak salah satu anak buah Syam.

"Kalian semua diam di tempat!" perintah Syam pada anak buahnya sambil mengangkat kedua tangan, wajahnya tampak takut.

Anak-anak buah Syam terpaksa tidak melawan.

"Syam! Kau ingin membuktikan kemahiranku menembak atau suruh mereka lempar parangnya ke tengah ladang sejauh-jauhnya?" tanya Irwansyah.

"Turuti perintahnya!" ujar Syam.

Anak-anak buah Syam tidak mau melakukan perintah Irwansyah.

Dor! Aaah!

Irwansyah menembak tangan salah orang dengan tepat hingga parangnya jatuh, lalu kembali mengarahkan pistolnya ke arah kepala Syam.

"Cepat lakukan perintahnya!" teriak Syam ketakutan.

Akhirnya anak-anak buah Syam mau melempar parang-parangnya jauh ke tengah ladang.

"Sekarang, suruh semua anak buahmu pergi meninggalkan kita berdua!" teriak Irwansyah.

"Wan, ampun, wan! Kali ini aku akan benar-benar pergi dan tak akan mengganggumu lagi!" teriak Syam ketakutan.

Irwansyah tersenyum. "Ciri-ciri orang munafik adalah apabila berjanji selalu tak menepati! Suruh mereka pergi, cepat!"

Irwansyah menekan pelatuk pistolnya pelan-pelan.

Syam menangis. "Ampun! Maafkan aku, Wan."

Dor!

Irwansyah menembak kaki Syam. Syam jatuh sambil mengerang kesakitan.

Beberapa anak-anak buah Syam ingin mendekati Irwansyah.

"Satu langkah lagi kalian maju, Syam mati!" teriak Irwansyah.

"Jangan ada yang mendekat! Aku juga tak mau dia mati!" teriak Syam sambil meringis kesakitan.

"Bung Syam. Irwansyah mati atau tidak mati, Jepang akan mengejar kita," ujar Yunus pada Syam.

"Iya, tapi kau pikir aku mau mati? Kau lihat sendiri kemahirannya menembak. Jangan ada yang mendekat!" perintah Syam..

"Kalau tak melawan, kita semua pasti mati. Serang!" perintah Yunus pada anak-anak buah Syam.

Salah satu anak buah Syam maju.

Dor!

Irwansyah menembak kaki orang itu, sehingga roboh. Semua anak buah Syam maju bersamaan. Kali ini Irwansyah terpaksa mengarahkan pistolnya ke kepala Syam.

Klik! Peluru Irwansyah habis.

Kini ia harus menghadapi puluhan orang untuk berkelahi dengan sama-sama tangan kosong.

Irwansyah menjatuhkan seorang lawan, kemudian seorang lawan lagi, lalu seorang lawan lagi.

Musuh Irwansyah terlalu banyak, setelah menjatuhkan seorang lawan lagi, Irwansyah jadi lebih sering menerima pukulan dari musuhnya. Tiba-tiba sebuah batu menghantam keras kepala Irwansyah sehingga ia roboh.

Syam merangkak menghampiri Irwansyah yang tergeletak dan tidak bergerak dengan kepala berlumuran darah.

"Apa dia sudah mati?" tanya Syam.

Yunus memeriksa nafas Irwansyah. "Masih hidup. Ayo, bunuh dia."

"Jangan! Bodoh, kau! Jasad kakunya bisa membuat kita diburu Jepang. Jika kita membuatnya pergi jauh dalam keadaan hidup dan semua orang tahu dia masih hidup, maka kita aman. Laporan itu tidak akan sampai ke meja Shinichi.

"Aman apanya, Bung? Jika dia hidup, jelas kita akan mati!" ujar Yunus.

"Tidak, Bung. Malam ini akan ada jadwal kapal minyak yang menuju Jakarta. Aku dekat dengan salah satu penguasa pelabuhan yang biasa menyelundupkan barang-barangku. Kita masukan dia kedalam peti barang dan kirim ke kapal."

"Supaya Irwansyah melaporkan kita di Jakarta?" tanya Yunus kesal.

"Dia akan ditangkap begitu sampai di Jakarta," jawab Syam.

"Aku tak paham rencana gilamu," sahut Yunus.

"Setelah Irwansyah berada di kapal, kita adu domba orang-orang dia dengan tentara Jepang. Pada kawan Irwansyah, bilang pemimpinnya telah ditangkap Jepang dan dibuang ke Jakarta, sehingga mereka mau menyerang Jepang. Pada Jepang, kita bilang Irwansyah sudah menyiapkan serangan dan sudah kabur ke Jakarta untuk cari selamat. Kita punya banyak orang yang hebat dalam soal menghasut, kau salah satunya yang terbaik," ujar Syam.

Yunus tampak senang. "Siasatmu sepertinya masuk akal, Bung. Aku sudah bisa membayangkan wajah Irwansyah saat ditangkap tentara Jepang di Jakarta."

"Jangan lupa, cari tahu, pada siapa Irwansyah menitipkan laporannya tentang kita. Hanguskan laporan itu dan bunuh orang yang menyimpannya. Aku tak sabar bisa kembali menunjukkan wajahku di negeri ini," ujar Syam.

"Baik, Bung Syam," sahut Yunus.

*****