Bukit Tinggi, 1942.
Irwansyah baru saja usai menjalani latihan militer bersama tentara Jepang. Ia melakukannya dengan alasan untuk melindungi Yano Kenzo, sebenarnya ini hanyalah strategi Irwansyah, agar nantinya bisa mengajari para pemuda-pemuda di negerinya agar memiliki kecakapan perang dan bisa menggunakan senjata modern.
Irwansyah mendatangi rumah Yano Kenzo yang tidak jauh dari tempat latihan militer, ia terkejut melihat Yano Kenzo membuka pintu rumah dengan memakai pakaian adat Minangkabau.
Irwansyah pun tertawa. "Onde mande, rancak bana Datuak Yano Kenzo. Namuah pai kama?"
"Tidak kama-kama, hahaha! Ah, padahal kau sudah mengajariku bahasa Minang, tapi tetap saja sulit untukku. Masuk, Irwan," ajak Yano Kenzo.
Mereka duduk di kursi tamu.
Yano Kenzo berusaha mengingat sesuatu. "Aku pernah dengar pula, adat basandi, hmm ... sara?"
"Adat basandi syarak. Syarak basandi kitabullah."
"Nah, itu! Apa maksudnya?"
"Itu adalah falsafah Minang. Maknanya kurang lebih, adat Minangkabau itu selaras dengan syariat Islam."
"Oh, begitu. Masyarakat Minang memang kaya akan falsafah hidup. Apa falsafah lain yang juga banyak dikenal?"
"Alam takambang jadi guru."
"Kalau itu, apa artinya?"
"Kira-kira maknanya, orang Minang itu menjadikan segala kejadian pada alam sebagai guru, agar hidupnya selaras dengan alam. Contohnya, dalam membuat rumah gadang. Tuan Yano Kenzo masih ingat apa itu rumah gadang?"
"Rumah gadang adalah rumah panggung sangat besar yang ditinggali oleh keluarga besar, mulai dari nenek hingga anak dan cucu. Bentuk atapnya seperti kepala kerbau yang disebut atap bagonjong. Bentuk muka bangunannya melebar, terkadang memiliki sayap pada kiri-kanan, serambi di tengah, serta bangunan tambahan untuk menyimpan padi yang disebut rangkiang, semua tergantung dari ragam adat yang mereka miliki."
"Wah, Tuan Yano Kenzo masih ingat rupanya."
"Aku belum selesai, hahaha! Rumah gadang itu memiliki ruang yang fungsinya diatur oleh adat, setiap anak yang sudah berkeluarga memiliki jatah satu ruang dan bagian di depan ruangan mereka, sedangkan anak gadis biasanya berada pada sayap rumah. Penghuni rumah gadang adalah para perempuan dan anak-anak, karena laki-laki Minang itu, sejak mulai usia remaja harus keluar dari rumah dan tinggal di surau agar bisa hidup mandiri. Rumah gadang itu diatur oleh ibu tertua dari keluarga, karena laki-laki Minang diharapkan punya peran penting di luar rumah atau masyarakat. Aku masih ingat semua penjelasanmu, hahaha."
Irwansyah sangat senang mendengarnya penjelasan Yano Kenzo yang punya ketertarikannya besar pada budaya lokal.
"Lalu, apa hubungannya falsafah tadi dengan rumah gadang?" tanya Yano Kenzo.
"Rumah gadang itu dibuat dengan falsafah alam takambang jadi guru. Ninik mamak atau para penghulu adat akan menunjuk seorang ahli yang memimpin kegiatan gotong royong pembuatan rumah gadang. Material rumah gadang terbuat dari kayu-kayu yang diambil dari hutan. Semakin ahli, perhitungan pemakaian kayunya semakin efisien atau tidak banyak menyisakan kayu yang tak terpakai."
"Oh, jadi mereka tidak boleh sembarangan boros menebang pohon atau merusak alam?"
"Betul, Tuan Yano Kenzo. Alam adalah guru dan orang Minang sangat menghormati guru. Alam telah memberikan pelajaran, bahwa merusak hutan akan membuat hewan-hewan yang kehilangan rumah dan makanan, sehingga mereka akan mengganggu pemukiman manusia. Selain itu juga dapat membuat air hujan tidak tertampung hutan, sehingga bisa mendatangkan banjir."
Yano Kenzo berdecak kagum. "Aku semakin jatuh cinta pada negeri kalian."
"Apa yang membuat Tuan Yano Kenzo jatuh cinta?"
"Setelah kita telah berkali-kali mendatangi kota-kota hingga ke desa-desa, aku bisa menarik kesimpulan. Orang-orang di kota tidak mewakili sifat orang Indonesia, karena ternyata lebih banyak orang-orang yang tinggal di desa. Sekarang aku paham, kenapa Belanda bisa bertahan lama. Kulihat rakyat kalian sangat ramah pada para pendatang, mereka juga juga sangat sabar menghadapi tekanan yang dilakukan oleh para pendatang dan mudah memaafkan kesalahan, walaupun para pendatang melakukan kejahatan pada mereka. Aku merasakan kedamaian karena berada di tengah orang-orang baik, itulah yang membuatku jatuh cinta. Sayangnya, kebaikan itu pula yang membuat negeri kalian terjajah. Andai dunia sedang tak berperang, seharusnya aku bisa benar-benar berkawan dengan kalian."
"Saya juga ingin bisa berkawan dengan semua orang dari berbagai negeri. Andai kekuasaan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang menginginkan kedamaian, dunia tidak akan semenakutkan ini."
"Secara pribadi, aku minta maaf telah terlibat menjajah negeri kalian."
Irwansyah terharu mendengar pengakuan jujur Yano Kenzo.
"Perang terjadi karena ulah segelintir manusia berkuasa yang tidak pernah puas dengan kekuasaannya. Sebagai orang yang berada di dalam kekuasaan, Tuan Yano Kenzo memang tidak punya pilihan. Dalam kondisi perang, sering saya temui, orang-orang yang sebenarnya ingin berkawan, terpaksa saling berhadapan demi ambisi para penguasa."
"Pada saat yang tepat, aku ingin benar-benar menjadi diriku sendiri."
"Saya juga ingin minta maaf, Tuan Yano Kenzo. Sejujurnya, saya sering memanfaatkan kebaikan Tuan Yano Kenzo untuk kepentingan perjuangan negeri saya."
"Aku tahu dan dapat memaklumi dirimu. Kau ini orang baik yang sedang berada pada situasi sulit. Semoga perang segera berakhir. Oh, ya, kenapa kau tak pernah menyatakan ingin pulang, katanya kau sudah punya calon istri?"
Irwansyah diam sejenak.
"Saya memang belum mau pulang, masih banyak tugas di sini yang ingin saya selesaikan."
"Semua tugas sudah kau selesaikan dengan baik. Kalau terus menuruti kemauanku, kau tidak akan sempat menikah. Baiklah, kalau begitu, kau kutugaskan di Medan untuk sementara. Setelah urusan pernikahan selesai, kuharap kau mau kembali membantuku di sini."
Irwansyah malah tampak kuatir. Setelah berpikir sejenak, barulah ia menjawab, "Maaf, Tuan Yano Kenzo. Saya belum siap."
Yano Kenzo tersenyum. "Kau itu tidak pernah bersikap seperti ini. Pasti ada sesuatu. Irwansyah, apakah kau masih menganggapku sama seperti orang-orang Jepang yang lain, sehingga tidak mau berterus terang?"
"Sebetulnya, saya belum siap bertemu dengan orang dari bangsaku yang sedang diberi kepercayaan penuh oleh Nippon di Medan."
"Orang dari bangsamu itu musuhmu?"
"Begitulah."
"Apa kesalahannya?"
"Saya tumbuh di kesultanan. Saat ini, orang itu sedang menjarah aset-aset kesultanan untuk dirinya dan kelompoknya sendiri."
"Siapa namanya?"
"Syam."
"Syam, Aku pernah mendengar namanya. Lalu, kenapa kau malah menghindari musuhmu? Apakah karena kesultanan punya rencana melawan Nippon?" tanya Yano Kenzo.
"Kesultanan di Sumatera Timur selalu menjaga kedamaian di wilayahnya. Mereka malah pernah memilih menjalin kerja sama dengan Belanda demi hal tersebut. Sayangnya, Syam dan kelompoknya malah menjadikan sifat kooperatif itu sebagai alasan, agar Nippon tidak menyerahkan kepercayaan aset-aset tanah jajahannya pada kesultanan yang mereka bilang, sekutu Belanda."
"Lalu, apa kau punya bukti yang kuat, bahwa Syam telah menjarah aset-aset kesultanan untuk dirinya dan kelompoknya sendiri?"
"Dulu, saya pernah mengurusi aset-aset kesultanan Langkat dan saudara saya Tengku Sani juga pernah mengurusi aset-aset kesultanan Deli. Saya telah memantau pergerakan dan propaganda Syam dan kelompoknya melalui radio, sehingga saya tahu dan hanya tinggal menemukan bukti lapangan. Apa yang diberikan Syam pada Nippon tidak sampai sepertiga dari yang dia dapat. Jika Nippon pergi, Syam tampaknya bisa membuat kerajaan baru yang lebih besar dari kesultanan Deli dan Langkat, karena dia sedang dipercaya mengurusi semua aset kesultanan di Sumatera Timur."
"Wah, analisis yang menarik! Baiklah, karena Nippon juga punya kepentingan, sekarang urusan aset-aset kesultanan di Sumatera Timur kupercayakan padamu. Lawanlah musuhmu itu, carilah bukti lapangan yang kau perlukan."
"Maaf, Tuan Yano Kenzo. Saya tetap belum siap."
Yano Kenzo heran. "Kau belum siap?"
"Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menghadapi Syam."
Yano Kenzo tersenyum. "Aku tahu, kau menghindari musuhmu bukan karena takut padanya, tetapi karena tidak mau membahayakanku. Katakan, apa kemungkinan yang bisa membahayakanku?"
"Orang ini tidak bergerak sendirian. Dia punya jaringan yang cukup luas di Sumatera hingga Jawa. Sekalipun dia kalah, maka saya pasti mendapat predikat antek-antek sekutu. Saya tidak takut menghadapi itu, tetapi saya kuatir Tuan Yano Kenzo juga dilibatkan mereka dalam masalah saya."
Yano Kenzo tertawa. "Kau kuatir, karena aku yang menugaskanmu, maka aku juga akan mendapat status pengkhianat?"
"Betul, Tuan Yano Kenzo."
Yano Kenzo tersenyum. "Irwansyah, sebagaimana yang kau tahu, aku ini orang sipil. Untuk apa Angkatan Darat Kekaisaran Nippon menunjuk satu-satunya orang yang bukan panglima militer untuk memegang jabatan penting di tanah jajahannya? Petinggi Nippon tidak mungkin sembarangan memilih orang. Itu karena aku dianggap paling cocok untuk strategi berdamai dengan tanah jajahan. Mereka sudah memperkirakan keputusan-keputusan yang akan kubuat. Hadapi musuhmu, kau tak perlu takut tindakanmu membahayakanku."
"Maaf, Tuan Yano Kenzo. Aku juga kuatir nantinya kita terjebak situasi sehingga saling berhadapan."
"Irwansyah. Sejak awal aku tidak pernah menempatkan dirimu sebagai musuh, padahal aku tahu sebenarnya kau itu sangat berbahaya. Itu karena aku juga yakin, bahwa kau orang baik. Lakukanlah kewajibanmu pada negerimu dengan caramu dan aku juga akan melakukan kewajibanku pada negeriku dengan caraku. Bila kita saling berhadapan, berarti itu adalah saat yang tepat untuk menjadi diriku sendiri. Aku akan mengundurkan diri dan pulang ke negeriku demi menghormati guruku, sebagaimana falsafah Minang yang menghormati alam sebagai gurunya."
Irwansyah terharu mendengar kalimat Yano Kenzo.
"Baiklah, ini tawaranku untuk terakhir kali, apa kau bersedia aku tugaskan di Sumatera Timur?"
"Saya bersedia, Tuan Yano Kenzo."
"Semoga Tuhan menjagamu. Selama namamu tetap bersih di mata Nippon, aku masih bisa membantumu. Berusahalah tetap hidup, karena aku ingin bisa berdiskusi lagi denganmu dalam situasi dunia yang telah damai."
"Terima kasih, Tuan Yano Kenzo. Semoga Tuhan juga selalu menjaga Tuan."
*****