Chereads / Ambang Senja / Chapter 6 - Kala Hati telah terpaut

Chapter 6 - Kala Hati telah terpaut

Kampung pemukiman pekerja perkebunan, Langkat, 1938.

Irwansyah melewati jalan dengan sepedanya menuju rumah Mbok Yem. Semua orang yang berpapasan dengannya menyapa. Ia memang sering mendatangi kampung yang banyak dihuni oleh para kuli perkebunan ini. Saat tiba di depan rumah, tampak Ragil sedang menyapu halaman.

"Eh, Bang Irwan!" sapa Ragil, anak bungsu Mbok Yem.

"Assalamu'alaikum. Mbok Yem ono neng omah ta, Gil?"(28) tanya Irwansyah sambil menurunkan beras dari sepedanya.

"Wa'alaikumsalam." Ragil mencium tangan Irwansyah. "Ada kok, Bang, Wis, ayo mlebu. Mbok! Wonten Bang Irwan!"(29)

Irwansyah masuk ke dalam rumah sambil memikul beras yang dibawanya untuk Mbok Yem.

"Oalah langgeng. Mbokmu iki mung ngomongin kamu karo Ragil. Lho kok yo, Abangmu durung mampir sebelum ke Belanda. Piye kabare keluargane Tengku Rasyid, apik?"(30) tanya Mbok Yem.

Irwansyah meletakkan beras lalu mencium tangan Mbok Yem. "Alhamdulllah keluarga Entu sehat. O, iya Mbok, biasa, ono titipan dari keluarga Entu Rasyid kanggo Si Mbok lan warga ndeso kene."(31) Irwansyah menyerahkan amplop pada Mbok Yem. "Mbarep karo Budi, ngendi?"(32)

"Mbarep karo Budi wis mangkat gawe neng perkebunan. Nuwun sewu yo, Wan. Titip salam buat Tengku Rasyid sekeluarga, bilang terima kasih,"(33) ujar Mbok Yem.

Ragil menghampiri Irwansyah. "Bang Irwan mau minum apa?"

"Ora perlu ditakon, Gil. Abangmu iki doyane ngopi. Eh, Wan, mangan nang kene, yo! Mbok wis bikin sayur asem, ikan asin jambal karo sambel terasi,"(34) pinta Mbok Yem.

"Wah, uenak tenan iki!"(35 ) puji Irwansyah sambil memeriksa isi tudung saji di atas meja, lalu duduk di kursi meja makan.

Mbok Yem menyendokkan nasi dari bakul nasi untuk Irwansyah, lalu duduk di dekatnya. "Mangan sing akeh, yo."(36)

"Njih, Mbok," sahut Irwansyah.

Ragil memanaskan air untuk kopi untuk Irwansyah, lalu ikut duduk sambil memandangi wajah Irwansyah. "Bang Irwan ini sodara kita kaya gimana, sih, Mbok?"

"Lho, kowe ora ngerti tho?"(37) tanya Mbok Yem.

"Ndak. Wong ora mirip,"(38) ujar Ragil.

Mbok Yem tertawa. "Bapa'e Bang Irwan iki, Uwong Melayu asli. Terus, Ibune Bang Irwan iku, yo sedulurku, wong Jowo."(39)

"Lho kok, kulite Abang ora ireng?"(40) tanya Ragil.

"Hehe. Mbokmu iki Njowo tulen. Kalo ibune Bang Irwan wis nyampur, Bapa'e Arab karo Jowo. Mbo'e Jowo karo Cino. Mungkin kulite ngambil Cino,"(41) jawab Mbok Yem.

"Mumet aku," komentar Ragil.

Irwansyah yang sedang menikmati makanannya tertawa.

"Lho, tapi kuli-kuli kebun Cino, kulite podo irenge, piye tho?"(42) tanya Ragil.

"Cino kebon kejemur, Nduk. Asline kan putih, hehe. Untung Bang Irwan dipelihara Tengku Rasyid, dadine ora kejemur, hehehe,"(43) jawab Mbok Yem.

"Oh gitu. Terus kenapa Bang Irwan dadi anak angkate Wak Rasyid, Mbok?" tanya Ragil.

"Karena pinter! Kalo ke Langkat, Wak Rasyid suka mampir ke tempate Tuan Guru Besilam. Dulu Bang Irwan seneng ngikut denger orang belajar ngaji di sana," jawab Mbok Yem.

"Aku kan juga pinter. Lho, kok ndak diminta Wak Rasyid dadi anak angkate?" tanya Ragil.

"Hus! Kowe iki ono Mbok'e. Bapakmu kan baru meninggal setahun yang lalu. Bang Irwan iku yatim piatu sejak kecil,," sahut Mbok Yem.

"Padahal aku kepengen ngerasain dadi wong sugih(44) lho. Hmm, kalo gitu, nanti Bang Irwan nikahnya sama Ragil, ya? Sugih, guanteng," ujar Ragil.

"Heh? Ndak sopan!" omel Mbok Yem.

Irwansyah tertawa melihat kepolosan Ragil yang usianya sedang beranjak menuju remaja.

"Gil, iku banyune(45) wis panas, bikinin kopine Abangmu, Nduk," perintah Mbok Yem.

Ragil segera membuatkan kopi untuk Irwansyah.

"Memangnya kenapa kamu mau jadi orang kaya?" tanya Irwansyah.

"Biar seperti keluarga Wak Rasyid. Selalu bantu orang-orang susah," jawab Ragil.

"Bagus juga niatnya. Kalau dilamar orang Belanda, mau? Mereka kan kaya," canda Irwansyah.

"Moh!(46) Belanda kaya tapi pelit, udah itu ora iso ngaji. Ragil maunya sama Bang Irwan ajalah," sahut Ragil sambil membawa kopi.

"Piye tho? Abang kan udah ngenalin Kak Farisya ke sini. Gini aja, kamu sekolahnya yang serius, jangan sampe putus. Insya Allah, nanti Bang Irwan carikan jodoh pemuda yang kaya sekaligus soleh. Pemuda hebat seperti itu, suka sama perempuan yang juga hebat. Gimana?" tanya Irwansyah.

"Setuju, tapi guantengnya sama seperti Abang, ya?" pinta Ragil.

"Heh? Gil! Wis, Gil! Kamu inget pesen Abangmu aja! Bawel!" omel Mbok Yem.

*****

Pantai Cermin, 1938.

Irwansyah dan Tengku Farisya berjalan berdua di tepi pantai menikmati suasana senja.

"Sebenarnye Entu dan Emak ingin kite menikah sebelum Abang berangkat. Beliau kuatir Abang tak menepati janji. Katanye, bukan beliau tak percaye, tetapi sudah banyak contoh sebelumnye. Pemude yang merantau ternyata mendapat jodoh di tanah rantau," ujar Tengku Farisya.

Irwansyah tersenyum. "Atau sebaliknye. Gadis yang ditinggal menerime pinangan saat kekasihnye merantau."

"Aku tak mungkinlah berbuat macam tu. Tapi entahlah abang?" sahut Tengku Farisya.

"Abang nak pergi ke Belande, manalah mungkin Abang meminang anak gadis tak seiman," jawab Irwansyah.

"Tapi bukan pulak tak mungkin, Abang membuat anak gadis Belande jadi seiman," sahut Tengku Farisya sambil tertawa.

"Betul pulak," canda Irwansyah.

Tengku Farisya memukul pelan pundak Irwansyah.

"Dengar pantun Abang, Dek. Due tige kucing berlari. Manalah same dengan si kucing belang. Due tige dapat kucari. Manalah same dengan Adek Farida seorang," rayu Irwansyah.

"Rayuan lame. Dengar Bang, hari panas mencucuk benang. Benang menjahit baju kebaye. Air jernih lubuknya tenang. Jangan disangke tiada buaye," ujar Tengku Farisya sambil tertawa.

"Alamak, disamekan pulak awak dengan buaye. Disana pauh di sini pun pauh. Daun mengkudu ditandungkan. Adinda jauh kekanda jauh. Kalau rindu sama tanggungkan. Samenye hati kite ni. Same-same akan tersikse rindu," balas Irwansyah.

"Gesek rebab petik kecapi. Burung tempua membuat sarang. Apa sebab jadi begini. Karam berdua basah seorang. Apenye yang same? Abang pergi, awak ditinggal,"

"Oh, rupanya, tak same kita ni."

"Cume seloroh, Bang. Budak-budak bermain tombak. Tombak diikat dengan rantai. Kalau takut dilambung ombak. Jangan berumah di tepi pantai."

"Ape maksud pantun tu?"

"Orang-orang pengejar cite-cite macam Bang Busu, Bang Usman dan dirimu, tak kan mau terkekang oleh cinte. Aku sudah menghitung resiko. Berani menerima cintemu, maka aku harus siap menjadi yang kedue setelah cite-cite. Tapi hanya cite-cite ya, Bang. Bukan yang lain."

"Tentulah, hahaha."

"Kite punye banyak kesamaan pandangan, Bang. Same-same ingin berbuat untuk negeri kite. Itulah yang membuatmu mau jauh-jauh menuntut ilmu di negeri orang, itu pule yang membuatku ikhlas menunggumu. Pergilah, Bang. Ditinggal, bukan berarti berpangku tangan. Aku pun punye banyak rencane, melakukan hal-hal bergune untuk negeri kite."

Angin pantai menyingkap kerudung Tengku Farida, Irwansyah pun membetulkan kerudung kekasihnya. Irwansyah memandangi Tengku Farida.

"Abang tak pernah berani sengaje mengkhianati janji. Tapi jangan lupe, Allah yang menentukan segale. Insya Allah sepulangnye dari Belande, Abang kan tibe di simpang tiga titian dekat rumah membawe keluarge Wak Rasyid untuk melamarmu. Do'akanlah Abang selalu."

Irwansyah dan Tengku Farida terus berjalan. Gulungan ombak yang membasahi kaki mampu menentramkan hati, sementara mentari semakin mendekati garis horison pantai.

*****

Belawan, 1938.

Keluarga Tengku Rasyid bersama Tengku Farisya mengantar Irwansyah ke pelabuhan Belawan. Mereka memandangi Irwansyah yang berdiri di sisi geladak kapal laut. Suara peluit terdengar keras meruntuhkan hati, pertanda kapal laut akan berangkat.

Air mata Tengku Farisya dan istri Tengku Rasyid menetes membayangkan kerinduan, sementara Tengku Sani dan Tengku Rasyid tampak lebih tegar.

Irwansyah melambaikan tangan, sudut matanya membasah dan bibirnya mengumam senandung.

Sayang serawak sungainya sempit. Berbuah lah rengas lambung-lambungan.

Hendak ku bawa perahuku sempit. Tinggallah emas tinggal junjungan.

*****

Catatan Kaki

28. "Assalamu"alaikum. Mbok Yem ada di rumah tidak, Gil?"

29. "Ada kok, Bang, sudah, ayo masuk. Mbok! Ada Bang Irwan!"

30. "Wah panjang umur. Mbokmu ini sedang membicarakan kamu pada Ragil. Lho kok ya, Abangmu belum mampir sebelum ke Belanda. Apa kabar keluarganya Tengku Rasyid, baik?"

31. "Alhamdulillah keluarga Ayah sehat. O, iya Mbok, biasa, ada titipan dari keluarga Ayah Rasyid untuk Si Mbok dan warga ndeso di sini."

32. "Mbarep dan Budi, di mana?"

33. "Mbarep dan Budi sudah berangkat bekerja ke perkebunan. Terima kasih banyak, ya."

34. Tidak perlu ditanya, Gil. Abangmu ini doyannya ngopi. Eh, Wan, makan di sini, ya!"

35. "Wah, enak betul ini!"

36. "Makanan yang banyak, ya."

37. "Lho, kamu tidak tahu ya?"

38. "Tidak. Soalnya tidak mirip,"

39. "Bapaknya Bang Irwan ini, Orang Melayu asli. Terus, ibunya Bang Irwan itu, ya sepupuku, orang Jawa."

40. "Lho kok, kulitnya Abang tidak hitam?"

41. "Hehe. Mbokmu ini Jawa tulen. Kalau ibunya Bang Irwan sudah campuran, Bapaknya Arab dengan Jawa. Ibunya Jawa dengan Cina. Mungkin kulitnya ambil Cina,"

42. "Lho, tapi kuli-kuli kebun Cina, kulitnya sama hitamnya, bagaimana nih?"

43. "Cina kebun kejemur, Nak. Aslinnya kan putih, hehe. Untung Bang Irwan dipelihara Tengku Rasyid, jadinya tidak kejemur, hehehe,"

44. Kaya

45. Airnya.

46. Tidak mau!