Musim Semi 1349
Sore telah tiba. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di istana Amayuni, Raja Ehren berjalan menuju sebuah gazebo di dekat danau Abbot. Di perjalanan, angin sepoi-sepoi yang hangat mengusap pipi Raja Ehren sore itu. Suara burung bersahutan terdengar di telinganya.
Sebuah harpa tergeletak di sebuah gazebo pinggir danau Abbot. Salah satu dawainya terputus. Debu tebal menyelimuti harpa itu. Di samping harpa itu, berdiri Raja Ehren yang terus memandanginya dengan tatapan kosong.
Beberapa saat kemudian, Raja Ehren kembali fokus dan mengambil sapu tangan dari tangannya. Kemudian, dia bersihkan harpa itu dengan sapu tangan yang ada di tangannya. Di mengangkat tangan kanannya begitu selesai membersihkannya dan seorang staf kerajaan mendekat.
"Tolong bersihkan lantai gazebo ini!" perintah Raja Ehren.
"Baik Yang Mulia", jawab staf itu.
Gazebo yang awalnya penuh debu dan daun kering kini sudah bersih. Raja Ehren duduk di dalamnya menghadap ke danau Abbot. Dia menggeser harpa dari samping ke depannya. Kini, Raja Ehren bisa melihat harpa dan pemandangan danau Abbot bersamaan.
Jari tangan Raja Ehren mulai menyentuh dawai harpa satu persatu. Tertarik dengan suaranya, Raja Ehren mulai memainkan sebuah lagu dengan harpa. Ternyata beliau sangat ahli dalam memainkan harpa. Lagu itu sangat indah dan enak di dengar. Beruntunglah bagi siapapun yang menyaksikan pertunjukan ini.
"Prok… prok… prok… prok… prok", tepuk tangan meriah menjadi penutup dari lagu yang dimainkan Raja Ehren.
"Ternyata keahlian Yang Mulia dalam memainkan harpa masih belum berkurang. Sudah 5 tahun Yang Mulia tidak memainkannya", ucap seorang perempuan.
Mendengar hal itu, Raja Ehren mengangkat kepalanya dan melihat seorang sedang tersenyum padanya. Ternyata dia adalah Selir Adeline.
"Benar, sudah 5 tahun. Saat itu aku masih menjadi putra mahkota yang berusia 23 tahun. Itu adalah hari terakhir aku berasa di sini. Itu juga hari terakhir aku bersama ayah", jawab Raja Ehren.
"Untungnya, hari itu menjadi hari terakhir yang indah sebelum beliau menutup mata selamanya. Kau beruntung bisa membuatnya tersenyum di hari terakhir. Saat orang tuaku meninggal, aku tidak bisa menemani mereka di hari terakhirnya", kata Selir Adeline.
"Kematian memang tidak bisa ditebak ya. Semua bisa terjadi. Yang terjadi, terjadilah!" kata Raja Ehren.
Raja Ehren mempersilakan Selir Adeline untuk duduk di sampingnya. Mereka memandangi danau Abbot bersama-sama tanpa satupun kata terucap. Suasana di danau Abbot mendadak hening. Burungpun sudah berhenti berkicau. Mereka berdua hanyut dalam kenangan masing-masing.
"Selir Adeline, anda sudah menemani Yang Mulia selama lebih dari 20 tahun. Menurut anda, beliau sosok yang seperti apa?" tanya Raja Ehren dengan sopan untuk memecah keheningan.
"Yang Mulia Raja Cedric ya? Hmm… Beliau suka stroberi, sama seperti anda. Beliau juga pemain harpa yang ahli, sama seperti Yang Mulia", jawab Selir Adeline.
"20 tahun. 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku sudah bersama dengan Rin lebih dari 20 tahun. Aku kira, aku sangat mengenal Rin tapi ternyata aku tidak begitu mengenalnya", kata Raja Ehren.
"Benarkah? Apa anda masih ingat saat kita bertiga bertemu pertama kali?" tanya Selir Adeline.
"Itu sudah lama sekali", jawab Raja Ehren.
"Saya masih ingat, hari itu Yang Mulia berkata akan menikahi Alatariel di masa depan dengan sangat percaya diri", kata Selir Adeline.
"Itu hanya omong kosong anak kecil. Kenyataannya, pernikahan tidak sesederhana itu", ucap Raja Ehren.
"Tapi anda benar-benar menikah dengan Yang Mulia Alatariel", kata Selir Adeline.
"Oh ya. Apakah ada hal yang disembunyikan Yang Mulia Raja Cedric sebelumnya?" tanya Raja Ehren.
Mendadak Selir Adeline teringat dengan kebencian Helena pada Raja Cedric. Helena adalah kakak Selir Adeline yang menikah dengan putra mahkota Andalan. Namun kini, entah bagaimana ceritanya, Helena tinggal di istana Kerajaan Gaharunu. Selir Adeline berusaha menepis kenangan pahit itu dan menjawab pertanyaan Raja Ehren.
"Itu tergantung dari perspektif mana anda melihatnya. Setahuku, Raja Cedric tidak menyembunyikan apapun. Kalaupun ada musibah yang disangkut-pautkan dengan namanya, itu karena takdir", kata Selir Adeline.
Raja Ehren kaget mendengar jawaban Selir Adeline. Jawaban itu bukan hanya mengambang. Tetapi juga menyiratkan sesuatu.
"Musibah apa? Hal apa yang belum saya ketahui?", tanya Raja Ehren.
Selir Adeline bingung harus menjawab pertanyaan Raja Ehren dengan apa. Raja Ehren tahu kalau Selir Adeline punya kakak yang tinggal di Andalan. Tapi hanya sebatas itu. Raja Ehren tidak tahu kalau Helena punya dendam yang mendalam pada ayah Raja Ehren.
"Entahlah", jawab Selir Adeline.
"Ada temuan baru tentang penyelidikan Rin? Apakah anda sudah tahu, cetakan nyatu mana yang valid?" tanya Raja Ehren.
"Belum. Masih diperiksa", jawab Selir Adeline.
Di Desa Kaliko, Tahun 1349
Beberapa warga berbondong-bondong untuk mendatangi balai desa Kaliko. Sebagian warga sudah berada dalam balai desa untuk mengerumuni sesuatu. Ternyata, seorang warga ditemukan meninggal dengan menggemaskan di balai desa Kaliko.
Jenazah warga meninggal dengan luka parah di belakang kepala. Bibir biru dan mengeluarkan busa. Anehnya, hanya ada sedikit darah di sana. Hal ini berarti, dia tidak meninggal karena luka di kepala.
"Setahuku kemarin tidak ada satupun orang di sini. Kenapa tiba-tiba ada jasad sekarang", kata seorang warga.
"Bukankah, anda yang terakhir berada di balai desa ini?" tanya seorang warga pada seseorang yang sepertinya dia penjaga balai desa.
"Tadi malam jam 8, saya masih di sini dan tidak terjadi apa-apa. Tidak ada warga yang masuk ke sini. Apalagi hingga meninggal di sini. Karena sepi, akhirnya semua pintu dan jendela saya tutup dan saya pulang sekitar jam 8.30 malam", kata penjaga balai desa.
Bu Aliz dan Bu Mauryn pulang dari pasar bersama-sama. Di tengah jalan, mereka melihat warga yang berkerumun di dalam balai desa Kaliko. Penasaran, akhirnya mereka bertanya pada salah satu warga.
"Ada apa ini?" tanya Bu Mauryn.
"Ada orang meninggal di balai desa", jawab warga.
"Siapa?" tanya Bu Mauryn.
"Tidak tahu. Sepertinya dia meninggal tadi malam setelah penjaga pulang", jawab warga itu.
"Apa jangan-jangan, dia meninggal karena teror ketuk pintu?", tanya Bu Mauryn
Bu Aliz langsung teringat dengan teror ketuk pintu tadi malam. Wajahnya yang ceria kini berubah pucat. Sedangkan warga itu berpamitan pada Bu Mauryn untuk pulang.
Namun Bu Aliz diam saja. Tampak rasa takut di raut wajahnya. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Bu Mauryn sudah menggoyang-goyangkan badannya tapi Bu Aliz tetap diam. Akhirnya Bu Mauryn memutuskan untuk menepuk pundak Bu Aliz dengan keras.
"Iya", kata Bu Aliz.
"Akhirnya sadar juga. Ada apa?", kata Bu Mauryn.
"Tadi malam, teror ketuk pintu datang ke rumahku. Rasanya menakutkan. Tadi malam, aku hanya tinggal berdua dengan anakku. Rasanya jam pasir berjalan dengan sangat lambat", kata Bu Aliz.
"Benarkah? Ya Tuhan. Lalu apa yang terjadi setelah itu?", tanya Bu Mauryn.
"Terdengar seperti suara kepala yang diketukkan ke pintu. Aku dan anakku bersembunyi di bawah selimut. Tapi akhirnya, suara itu hilang sendiri", jawab Bu Aliz.
"Syukurlah kalau begitu. Apa mungkin warga yang meninggal itu adalah korban dari teror ketuk pintu?" tanya Bu Mauryn.
"Mungkin. Mungkin saat ada teror ketuk pintu, dia penasaran dan langsung keluar rumah. Padahal itu tidak boleh", kata Bu Aliz.