Chereads / FORSETEARS : Rebirth and Revenge / Chapter 39 - EP. 039 - Otopsi

Chapter 39 - EP. 039 - Otopsi

"Mungkin. Mungkin saat ada teror ketuk pintu, dia penasaran dan langsung keluar rumah. Padahal itu tidak boleh", kata Bu Aliz.

Penasaran, Bu Aliz dan Bu Mauryn memasuki balai desa Kaliko untuk melihat jasad korban teror. Dengan susah payah, Bu Aliz dan Bu Mauryn menerobos kerumunan di dalam balai desa. Setelah berhasil, ternyata jasad sudah ditutup dengan kain goni coklat.

Beberapa petugas medis dan keamanan dari Kerajaan Tirtanu datang. Mereka membubarkan kerumunan massa agar bisa bekerja secara optimal. Mereka segera memeriksa kondisi jenazah tersebut dan melaporkannya pada atasan.

"Sepertinya orang ini meninggal karena keracunan", kata salah satu petugas.

"Tapi bisa juga dia meninggal karena kepalanya dipukul", ucap petugas lainnya.

"Sepertinya kita harus melaporkannya pada istana Tirtanu. Hanya istana yang memiliki tempat otopsi terbaik", kata seorang petugas.

Istana Tirtanu, Tahun 1349

Raefal berjalan cepat menuju ke istana Amayuni. Dia berharap, Raja belum tertidur walau hari sudah malam. Satu persatu lorong, dia masuki. Akhirnya, dia berhasil tiba di ruang kerja Raja Ehren.

"Tok… tok… tok…" Raefal mengetuk pintu.

"Masuk", jawab seorang dari dalam.

Wajah Raefal yang awalnya tegang, kini terlihat cerah penuh harapan. Jika ada suara yang menjawab dari dalam ruangan, artinya Raja masih di sana dan belum tidur. Raefal segera membuka pintu, dan memasuki ruang kerja Raja Ehren.

"Ada apa?" tanya Raja.

"Ada teror ketuk pintu di Desa Kaliko. Teror tersebut membawa korban. Tim medis yang bertugas di Desa Kaliko meminta izin untuk melakukan otopsi di Varignan", lapor Raefal.

"Aku izinkan. Tapi jelaskan dulu ada teror apa ini?" tanya Raja.

Raefal kemudian menjelaskan kronologi awal tentang teror ketuk pintu dan segala teori konspirasi yang beredar. Raefal juga menjelaskan kondisi jenazah yang akan diperiksa. Setelah itu, Raja memerintahkan Raefal dan tim medis Desa Kaliko untuk mengotopsi jenazah di gedung Varignan.

Otopsi legal pertama untuk memeriksa jenazah manusia dilakukan tahun 1302. Orang yang melakukan otopsi tersebut adalah Bartolomeo de Varignana. Jika ditanya, apakah tahun 1349 sudah ada otopsi? Jawabannya ya pasti sudah. Malah prosesnya lebih canggih.

Keesokan harinya, jenazah dari Desa Kaliko sudah tiba pada salah satu ruang di Varignan. Tabib Adanu memimpin proses otopsi. Pertanyaan yang harus dipecahkan adalah jenazah meninggal karena diracun atau dilukai.

Proses pertama yang dilakukan Tabib Adanu adalah memeriksa bagian luar tubuh. Semua proses ini dicatat dan direkam. Tabib Adanu tidak bekerja sendirian. Beliau ditemani 2 staf, 1 pelukis, dan 1 pencatat.

Ditemukan luka benda tajam di kepala. Luka ini sepertinya luka yang paling parah. Tabib Adanu memeriksa bagian lain dari tubuh. Pada tangan tidak ada luka apapun yang artinya korban sama sekali tidak melakukan perlawanan.

Tabib Adanu juga memeriksa bagian kaki. Ada beberapa goresan dan memar di telapak kaki tapi tidak parah. Artinya sebelum almarhum meninggal, dia berjalan tanpa alas kaki.

Lalu, Tabib Adanu memeriksa bagian punggung. Pada bagian punggung ditemukan goresan tipis. Goresan itu seperti bekas garukan tapi banyak. Dilihat dari banyaknya goresan, tidak mungkin ini berasal dari tangan. Karena tidak tahu asalnya darimana, Tabib Adanu memutuskan untuk melukis itu apa adanya.

Semua anggota badan bagian luar sudah diperiksa. Luka paling besar hanya ada di kepala. Yang lain hanya berupa memar dan goresan-goresan kecil yang tidak berdarah. Semua ini sudah dilukis untuk dilaporkan pada Raja Ehren dan pihak lain yang berwenang.

Tabib Adanu kembali memeriksa bagian kepala. Rambut jenazah itu dicukur sebagian tepat pada bagian luka agar lebih jelas. Berdarah? Jelas. Semua darah di kepala dibersihkan dengan kain khusus lalu kain itu disimpan untuk diperiksa lebih lanjut.

Bentuk luka di kepala menjadi lebih jelas setelah luka dibersihkan. Tabib Adanu menemukan sedikit retakan pada tulang tengkorak. Bentuk retakan itu tidak beraturan tapi ukurannya cukup besar. Diameternya sekitar 2,5 cm.

Ada kemungkinan bahwa almarhum meninggal karena luka di bagian kepala. Untuk memastikan fakta ini, Tabib Adanu membuka tulang tengkorak dan mengeluarkan otaknya. Dia memeriksa, apakah ada lesi countrecoup atau tidak? Ada pembuluh darah yang robek atau tidak?

Hasilnya, tidak ada pembuluh darah yang robek dan tidak ada lesi countrecoup. Yang ada hanyalah lesi coup. Artinya, luka di kepala ini muncul bukan karena kepala almarhum terbentur. Ada yang melukai almarhum dengan sengaja. Bisa orang lain, bisa juga almarhum sendiri.

Lesi coup adalah lesi yang diakibatkan oleh benturan pada tulang tengkorak dan daerah di sekitarnya. Sedangkan lesi countrecoup adalah lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi benturan. Kedua lesi ini sama-sama mematikan jika parah apalagi sampai merobek pembuluh darah.

Lesi coup yang dimiliki almarhum tidak parah. Tidak ada pembuluh darah yang robek. Artinya, luka di kepala hanya membuat almarhum pingsan. Jika dilihat dari bentuk retakan, retakan ini bukan berasal dari benda tajam. Jika dilihat dari diameternya, luka ini berasal dari pangkal pegangan pedang. Kalau pangkal pisau, ukurannya akan kecil.

Pemeriksaan berikutnya adalah bagian mulut. Masih ada busa pada bagian mulutnya. Pelukis segera melukis busa tersebut dengan cepat sebelum dibersihkan. Dilihat dari warna busanya, sudah jelas kalau almarhum keracunan. Tapi keracunan apa?

Tabib Adanu membuka mulut almarhum. Di dalam mulut, ada banyak air liur dan muntahan yang tertahan dalam mulut. Tabib Adanu mencurigai sesuatu.

"Buka bagian matanya!" perintah Tabib Adanu pada stafnya.

Staf segera membuka mata almarhum. Di sana ditemukan banyak air mata yang tertahan, hanya sebagian yang keluar. Pupil matanya lebih kecil dari jenazah pada umumnya. Tabib Adanu kemudian melihat bagian hidung almarhum yang berair.

"Ada satu racun yang bisa membuat jenazah mengeluarkan air dari banyak lubang walaupun sudah 2 hari", kata Tabib Adanu.

"Racun apa itu tabib?" tanya balik stafnya.

"Aku harus memastikannya. Jadi untuk saat ini aku tidak bisa menjawabnya. Tolong minta izin pada Raja Ehren untuk meminta semua alat pendeteksi racun milik Ratu Alatariel dari tim Araukaria. Larilah!", perintah Tabib Adanu.

Staf Tabib Adanu bergegas menuju ke pintu keluar. Di sana, dia melepaskan jubah otopsi, cadar, dan penutup kepalanya. Staf tersebut mencuci tangannya sebelum memasuki lorong gedung Varignan.

Berlari, belok, lari lagi. Itulah yang dilakukan staf dari gedung Varignan ke Istana Amayuni, tempat Raja Ehren tinggal dan bekerja. Dia menerobos banyak orang yang berjalan berlawanan arah. Tak berselang lama, dia tiba di depan pintu aula utama. Dia tidak bisa langsung masuk karena dihadang oleh dua penjaga.

"Yang Mulia, Staf dari Varignan ingin menemui anda!", teriak penjaga dari luar pintu.

Raja Ehren berusaha mengingat sesuatu saat mendengar nama Varignan. Lalu, dia teringat tentang almarhum korban teror ketuk pintu. Mungkin proses otopsinya sudah usai. Itulah yang dipikirkan Raja Ehren.

"Masuklah!" perintah Raja Ehren.

Dengan nafas yang terengap-engap. Staf Tabib Adanu berjalan memasuki aula utama. Di sana sudah ada Raja Ehren yang duduk di atas singgasananya. Staf itu lantas berhenti ketika sudah berada pada jarak 10 langkah dari Raja Ehren.

"Salam Yang Mulia Raja. Saya Endaru, staf dari Tabib Adanu di Varignan. Saya memohon izin untuk menggunakan semua alat pendeteksi racun milik Yang Mulia Ratu Alatariel", kata staf itu.

Raja Ehren langsung menarik napas panjang saat mendengar hal itu. Dia diam sejenak lalu berkata, "Ratu Alatariel tidak di sini, kau tahu itu".

"Tim Araukaria pasti tahu tempatnya. Jika Yang Mulia mengizinkan, saya akan meminta bantuan tim Araukaria untuk meminjam peralatan Ratu sebentar", kata Endaru, staf itu.

Raja Ehren tidak suka kalau nama Alatariel disebut-sebut. Dia diam sejenak untuk menenangkan diri. "Rin, kau sudah tidak di sini lagi. Tapi kenapa semua orang masih menyebut namamu", batin Raja Ehren. Ketika sudah tenang, dia baru bisa menjawab permintaan Endaru.

"BAIKLAH. Kasim, tolong panggilkan Jenderal Calvin ke sini!", perintah Raja Ehren.

Kasim kemudian keluar ruangan untuk memanggil Jenderal Calvin. Raja Ehren dan Endaru menunggu di aula utama. Suasana menjadi sangat canggung. Raja dan Endaru hanya saling menatap mata tanpa berbicara. Namun suasana itu hanya berlangsung sebentar. Jenderal Calvin kini sudah ada di hadapan Raja.

"Jenderal Calvin hadir, Yang Mulia", kata Jenderal Calvin.

"Ini Endaru dari Varignan. Dia ingin meminjam alat pendeteksi racun milik Ratu Alatariel. Kau tahu alatnya?" tanya Raja.

"Tahu, Yang Mulia", jawab Jenderal Calvin.

"Tahu tempat menyimpannya?", tanya Raja.

"Tahu, Yang Mulia", jawab Jenderal Calvin.

"Baiklah. Tolong antar Endaru ke sana", perintah Raja Ehren.

"Baik Yang Mulia", jawab Jenderal Calvin.