Otot-otot William menjegul tatkala kedua tangannya menahan tubuh Naera. Dia membawa perempuan berbadan mungil itu ke parkiran club dan memasukkannya ke dalam mobil. Sebenarnya bisa saja William membiarkan Naera dilahap oleh beberapa singa liar tersebut. Namun dia sadar bahwa semua ini tak lepas dari pengaruh dirinya. Naera lari ke perempatan jalan karena menghindari kejaran William dan pria itu bukanlah manusia yang doyan kabur dari tanggung jawab.
William mendudukkan tubuh Naera di jok belakang kemudi. Tak lupa ia juga memakaikan seat belt untuk gadis itu. William menginjak gas mobil dan meninggalkan Robert yang luntang-lantung mencari dirinya untuk meminta maaf.
Rambut yang berantakan dan wajah kusam. Tubuh yang dipenuhi dengan tanda-tanda merah dan lebam. William sungguh iba melihat perempuan ini, tapi jika mengingat tingkahnya hati William kembali memanas.
William tak sudi repot-repot dengan membawa wanita itu ke rumah sakit dan menyediakan kamar VVIP untuknya. Jadi, William memutuskan untuk melatakkan Naera di rumah yang seharusnya ia tempati bersama Liona, si pengkhianat.
***
"Aku sudah selesai memeriksanya, William," ujar seorang dokter perempuan yang tak lain adalah teman William sendiri.
Pria dengan rahang keras itu mendongak dan menghentikan aktivitas melamunnya di sofa ruang tengah. Sengaja ia memanggil dokter untuk mengecek keadaan Naera tanpa harus memboyongnya ke rumah sakit.
"Tak ada masalah dengannya. Hanya luka-luka ringan dan aku sudah meletakkan obat di nakas. Ia bisa meminumnya setelah makan,"
Giselle si dokter muda mengira bahwa ada urusan urgen yang membuat William memintanya datang meskipun ia sedang sibuk memeriksa pasien di rumah sakit. Ia begitu kesal saat tahu William memanggilnya hanya untuk memeriksa seorang wanita asing.
Tak mendapat respon dari William membuat Giselle berjalan ke arahnya. Dara bermata coklat itu memilih untuk duduk di sisi William.
"William," panggilnya dengan nada mencela, "Hanya karena batal menikah dengan Liona Vinch, lalu kau menggunakan wanita lain untuk memuaskan nafsu? Lihatlah! Dia sampai memar-memar karena ulahmu,"
"Apa maksudmu Giselle?" tanya William seraya mengeritingkan alis. Merasa tidak senang dengan ucapan Giselle barusan.
"Kau bisa melakukannya dengan hati-hati. Tak perlu menyiksa perempuan itu sampai tak berdaya lalu pingsan, ck ck ck,"
"Giselle, jaga ucapanmu! Aku menemukan perempuan itu dihadang oleh preman hingga tumbang, lalu membawanya kesini." William membela diri.
Giselle menyeka anak-anak rambutnya yang menutupi dahi. Melirik ke arah William dengan pandangan mengejek dan tidak percaya.
"Aku mengenalmu sejak kecil, William. Dan, kau bukanlah tipe lelaki yang peduli dengan nasib orang lain,"
Sebagai sosok yang telah membersamai William selama ini, Giselle paham betul bagaimana sikap dan watak pria itu. Terhadap karyawan yang telah bekerja di perusahaannya saja dia masih bisa semena-mena, apalagi dengan sosok asing seperti gadis tadi. William tak mungkin membawanya ke rumah hanya untuk menyelamatkan hidup Naera.
"Tugasmu sudah selesai. Lebih baik kau pergi sekarang!" usir William tidak suka.
"Kau tersinggung dengan perkataanku, hem?" Giselle semakin mendekatkan tubuhnya dengan William. Ia meraba dagu lelaki itu.
William mencengkram sepasang bahu Giselle dan memundurkan tubuhnya. Saat ini yang ia dambakan adalah sendiri dan tenang. William berencana untuk cabut setelah mengamankan Naera di rumahnya. Sayangnya, mood William semakin hencur setelah bertemu dengan Giselle. Ia jadi menyesal karena telah meminta Giselle untuk datang ke rumahnya.
"Pertama; musthail bagi seorang William Morgan memiliki kepedulian dengan orang lain. Kedua; jika kau memang berniat menolong wanita itu, pasti kau akan membawanya ke rumah sakit. Bukan menyembunyikannya di tempat yang seharusnya kau tinggali bersama Liona Vinch." Giselle melengkungkan kedua sisi bibirnya. Ia mendapati wajah William menyerupai tomat masak. Benar-benar merah.
"Giselle! Jika kau menginginkan rumah sakitmu dapat beroperasi tanpa hambatan, jangan berisik dan segeralah untuk pergi dari sini." William melayangkan jari telunjuknya ke ambang pintu. Membuat mata Giselle mengikuti pergerakan William.
Mana berani wanita berkacamata itu menentang sosok yang berkuasa seperti William. Giselle mengenduskan udara berat lalu berkata "Aku pergi sekarang. Kau mengusirku karena gadis asing itu,"
Giselle menghentakkan pentofelnya di lantai dengan keras. William menatapnya sejenak, kemudian melipat kedua tangan. Menyaksikan punggung Giselle perlahan hilang.
"Aku tidak terima dengan semua ini! Perempuan itu, harus mendapatkan ganjarannya," sungut Giselle geram sebelum ia masuk ke mobil dan meninggalkan kediaman William.
Sejak awal kepergiannya, Hanphone William terus berdering. Banyak panggilan masuk serta pesan dari keluarganya yang memintanya untuk kembali. Kepala William disesaki oleh banyak masalah dan sekarang dia malah berjumpa dengan Naera.
"Seharusnya aku menolak tawaran Robert untuk mempertemukanku dengan wanita sombong itu." William meremas rambutnya. Ia menuju lantai atas guna memastikan keadaan Naera.
William terkenal dengan sikap arogan serta kerasnya memperlalukan orang lain. Tak sedikit orang yang sangat menyesal karena memilih untuk berurusan dengannya. Namun, William akan bertindak kejam apabila orang-orang tersebut memang melakukan kesalahan. William mustahil sesuka hati ketika tak ada hal yang menyinggung perasaannya. Sialnya, banyak pihak yang tidak menyadari hal itu. Mereka hanya mengenal William sebagai CEO sebuah perusahaan yang galak dan angkuh, tanpa mempertimbangkan sisi baiknya selama ini.
Wajar saja jika Giselle tidak percaya dengan ucapan William. Naera hadir di rumahnya dengan keadaan lebam dan bertepatan dengan batalnya pernikahan William. Seharusnya William tidak mengusir Giselle apabila dia bertanya penuh hati-hati. Giselle seakan tak suka dengan kepedulian William pada Naera. Padahal dia melakukan semua ini karena terpaksa.
Saat William sudah berada di kamarnya, dia memperhatikan Naera tanpa kedip. Wanita itu memang memiliki bentuk tubuh yang sempurna serta wajah sensual. Belum lagi pakaian kurang bahan yang saat ini ia kenakan sontak mengundang sisi kelelakian William. Bisa saja ia menggiling Naera, bahkan sampai mengambil keperawanannya. Bukannya Naera sudah meledeknya tadi? Namun, William bukanlah sosok pria bermental tempe yang sanggup memanfaatkan situasi. William tidak sudi melakukannya di saat Naera tak sadarkan diri.
"Tak akan kulepaskan sampai kudapatkan tubuhnya itu!" sungut William kesal. Naera berhasil melecenya dan kini perempuan itu harus menanggung semua akibatnya.
***
"Dimana aku?"
Pendar kekuningan sukses menusuk retina Naera melalui sela gorden jendela. Ia menyusuri ruangan yang begitu asing. Aroma maskulin menusuk indra penciumannya. Memori yang terakhir kali Naera ingat adalah dia dihadang oleh beberapa pria brandal.
"Apa mereka menculikku? Jangan-jangan aku sudah dijual sekarang," gemingnya was-was.
Gegas Naera turun dari ranjang dan menarik gagang pintu. Baru satu langkah Naera keluar, tiba-tiba saja ia menubruk sesuatu bernuansa hitam. Naera mendongak ke atas. Seorang pria dengan seragam khas kantor. Ia kelihatan begitu menawan dan elegen dengan pakaian gelap tersebut. Ciri kebangsawanan terpancar jelas di sana.
"K- kau! Ke- kenapa bisa di- sini?" Naera merasa dunianya terhenti.
***
Bersambung