Chereads / FOURTH FLOOR NABWI / Chapter 7 - Piket Pertama

Chapter 7 - Piket Pertama

Satu-persatu pintu kamar penghuni lantai 4 diketuk oleh Kak Lynelle. Dari aula, dia bisa melihat langit masih gelap. Sebelum dirinya memulai aktifitas paginya hari ini, dia melirik sekilas ke arah jam dinding yang saat itu masih menunjukkan pukul 4 subuh.

Sudah menjadi rutinitas penghuni asrama, terutama pengawas lantai untuk membangunkan para penghuni saat menjelang ibadah pagi. Para penghuni muslim akan menjalani shalat subuh tepat setengah lima pagi. Untuk penghuni yang lain melakukan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing di tempat yang terpisah tapi masih di waktu yang sama. Itulah kenapa para pengawas harus membangunkan semua penghuni di waktu yang sama meskipun memiliki cara beribadah yang berbeda. Bahkan, untuk yang tidak bisa ibadah pun dipaksa bangun dan kumpul di aula masing-masing lantai. Hal itu dilakukan agar para penghuni asrama terbiasa beraktivitas di awal hari.

Kak Lynelle sudah hampir lima tahun tinggal di asrama dan dijadikan sebagai pengawas lantai empat. Dia sudah terbiasa melakukan kegiatan ini. Dia juga sudah tahu harus berbuat apa pada penghuni yang susah dibangunkan.

Contohnya seperti kamar C blok 4 atau kamar Vildana dan teman-temannya. Waktu untuk melakukan ibadah pagi akan segera dimulai, tetapi pintu kamar Vildana sama sekali tidak dibuka atau bahkan ada tanda-tanda penghuninya sudah bangun.

Bahkan, Tamanna dan Amaya juga ikut membantu Kak Lynelle untuk menggedor pintu kamar Vildana, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil.

"Mereka tidur apa mati, sih? Susah amat bangunnya," keluh Tamanna saat dirinya berhenti menggedor pintu berwarna putih tersebut.

"Biarkan saja, Tamanna. Kalau mereka sudah bangun segera suruh menghadap aku," pinta Kak Lynelle akhirnya.

Tamanna dan Amaya hanya bisa mengangguk pasrah. Mereka sebenarnya sudah kesal dengan Vildana yang susah sekali dibangunkan. Tapi, mereka juga tidak ingin teman mereka berhadapan dengan Kak Lynelle. Mereka bahkan bisa tahu kalau Vildana dan dua teman sekamarnya pasti akan mendapatkan hukuman pertama mereka karena melewatkan absen ibadah di hari kedua mereka.

"Udahlah, mungkin udah nasib Vildana buat terima hukuman dari Kak Lynelle hari ini," ujar Amaya pasrah dan mengajak Tamanna untuk segera beranjak ke aula dan melakukan ibadah pagi dan absen.

***

Kintan menggeliat di balik selimut yang membungkus tubuhnya sampai dada. Matanya kembali tertutup saat baru saja mendapat terpaan cahaya dari balik tirai tepat berada di samping ranjangnya. Butuh beberapa detik bagi Kintan untuk menyadari keadaan sekitar.

Saat benar-benar sadar dari setengah tidurnya, mata Kintan langsung terbuka sempurna. Hal pertama yang ditangkap oleh dua matanya adalah langit-langit ranjang dua susunnya. Setelah itu, dia menoleh ke arah kiri tempat jendela besar berada. Detik itu juga dia menyibakkan gorden silver dengan sedikit kasar.

"Astaga!" pekik Kintan seketika mendudukkan tubuhnya dan membuka gorden itu lebih lebar.

Terang. Di luar jendela sudah terang. Apa yang ditangkap Kintan itu seperti sebuah sirine yang menandakan ada sebuah bencana yang terjadi. Ya. Kamar mereka baru saja mendapatkan sebuah bencana. Bencana sudah pasti sebuah hukuman dari pengawas lantai.

Dengan segera Kintan melompat turun dari ranjangnya dan membangunkan dengan kasar Vildana yang tidur tepat di ranjang atas. "Vil, bangun. Gawat, guys. Kita kesiangan."

Artiya pun langsung terduduk begitu mendengar suara Kintan yang membangunkan dirinya dan Vildana. Tidak perlu waktu lama untuk Vildana dan Artiya untuk memahami suasana mereka saat ini.

"Gawat." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Vildana saat dia turun dari ranjang atas.

Rambut Vildana yang pendek dibiarkan acak-acakkan saat dirinya membuka pintu kamar. Dan betapa terkejutnya dia dengan apa yang ada di luar kamar saat ini.

Mulutnya sedikit menganga saat mendapati teman-teman asrama yang lain sudah sibuk berlalu-lalang di depan kamar mereka untuk melaksanakan piket pagi. Kintan dan Artiya yang ikut berdiri di belakang Vildana juga memberi respon yang sama terkejut.

"Mati kita, Vil," gumam Artiya tepat di samping Vildana. Kintan yang ada di sampingnya pun mengangguk setuju.

"Eh, kamar kebo udah pada bangun ternyata," ujar Ava yang sudah berdiri di depan ketiganya sambil memegang alat pel.

"Astaga, Vil. Bisa-bisanya kalian tidur kayak orang mati. Kak Lynelle sampe kesal tau nggak pas bangunin kalian tadi." Tamanna yang melihat pintu kamar temannya terbuka pun langsung berlari menghampiri Vildana dan dua teman kamarnya.

"Kak Lynelle kesal?" tanya Kintan lagi dengan sedikit takut-takut.

"Baru juga hari pertama piket, eh udah buat kesalahan," decak Ava dan kembali meneruskan tugasnya mengepel lantai koridor blok 4.

"Temuin Kak Lynelle, Vil. Dia minta aku buat nyuruh kamu ketemu dia kalau udah bangun," ujar Tamanna lagi dan langsung diangguki Vildana.

"Kita berdua ikut, ya, Vil?" usul Artiya saat Vildana kembali masuk ke kamar untuk membersihkan wajahnya dengan tisu basah. Dia tidak ada waktu untuk pergi ke kamar mandi dan mencuci muka. Bisa-bisa Kak Lynelle semakin kesal menunggu dirinya menghadap.

"Nggak usah. Aku aja yang menghadap. Nanti kalau ada apa-apa aku sampein ke kalian. Mending kalian kerjain piketnya lebih dulu," kata Vildana dan langsung meninggalkan kamar untuk menghadap Kak Lynelle.

***

Vildana mendekati Kak Lynelle yang sedang duduk mengawasi pekerjaan penghuni asrama tepat di depan kamarnya. Dari jarak lima meter, Vildana bisa menangkap hawa tidak enak dari arah Kak Lynelle. Dengan sisa keberanian yang ada pada dirinya, akhirnya Vildana berdiri kaku di depan Kak Lynelle yang sangat dia yakini saat ini tengah menatapnya tajam.

Kak Lynelle yang mengetahui kedatangan Vildana pun langsung memasang ekspresi dingin dengan tatapan yang lebih tajam dari biasanya. Tepat Vildana berdiri di depannya sambil menunduk dalam, Kak Lynelle menyandarkan punggungnya dan menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Enak banget, ya, tidurnya?" tanya Kak Lynelle terdengar sarkas.

Vildana tidak langsung menjawab. Dia semakin menundukkan kepala. Jemarinya saling meremas untuk menyalurkan kegugupannya saat ini. Dalam hatinya dia terus-menerus mengumpati dirinya sendiri yang sudah berani buat kesalahan di hari keduanya sebagai penghuni asrama.

"Maaf, Kak," cicit Vildana akhirnya.

"Kamu tahu maaf nggak akan menyelesaikan masalah ini, kan?"

Vildana mengangguk meskipun dia tidak tahu alasannya mengangguk itu apa benar karena setuju dengan ucapan Kak Lynelle atau hanya ingin cari aman dari amukan pengawas lantainya.

"Hari ini kamar kamu piket di mana?"

"Halaman belakang, Kak," jawab Vildana. Kali ini dia sudah memberanikan diri untuk menatap Kak Lynelle.

Kak Lynelle terlihat melirik jam tangannya sebentar. Lalu setelah itu dia bangkit dan menyerahkan lembar absen ke Vildana.

"Sebagai hukuman, tugas kalian pagi ini aku tambah. Selain membersihkan halaman belakang, kalian juga harus membersihkan kolam ikan yang ada di halaman itu. Aku akan periksa hasil kerjaan kalian. Dan untuk kamu, Vildana. Absen pagi ini kamu yang lakukan. Tepat waktu. Kalau sampai ada yang lapor absen pagi ini molor semenit doang, kamu yang harus tanggung akibatnya."

Kak Lynelle meninggalkan Vildana begitu saja setelah menjelaskan apa yang harus dia dan teman sekamarnya kerjakan sebagai bentuk hukuman yang mereka terima. Bahkan, Kak Lynelle tidak memberi kesempatan bagi Vildana untuk bertanya mengenai mekanisme pengambilan absen piket.

Sekarang Vildana hanya bisa memandang kertas absensi piket pemberian Kak Lynelle tadi dengan tatapan nanar. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana pengambilan absen piket yang katanya berbeda dari absen-absen yang lain. Dia tidak ingin membuat kesalahan lagi kepada Kak Lynelle. Tetapi, apa yang Kak Lynelle lakukan kepadanya tadi seperti memberi peluang bagi Vildana untuk melakukan kesalahan yang lain.

Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Vildana kembali ke kamar untuk menyimpan lembar absensi. Setelah itu dia menyusul dua temannya ke halaman belakang untuk menyelesaikan piket pagi mereka hari ini.

Seperti dugaan Vildana, Kintan dan Artiya pasti syok saat dirinya memberitahukan bahwa kolam ikan yang luasnya hampir setengah halaman belakang itu harus mereka bertiga bersihkan sebagai bentuk hukuman mereka hari ini. Artiya dan Kintan bahkan langsung terduduk lemas di tanah saat tahu kalau kolam ikan yang mungkin sudah tidak dirawat selama bertahun-tahun itu harus dibuat bersih kembali.

"Ini beneran kita bertiga doang yang bersihin kolamnya?" tanya Artiya lagi saat dirinya sedang mengumpulkan daun-daun kering di atas permukaan kolam menggunakan jaring pembersih.

Di seberang ada Vildana yang juga melakukan hal yang sama seperti Artiya. Dia hanya bisa mengangguk lemas sebagai jawaban atas pertanyaan Artiya barusan. Rasanya dia ingin mematahkan jaring pembersih itu sampai tidak berbentuk lagi karena kesal dengan pekerjaan mereka yang sejak tadi belum selesai.

***

Piket, hukuman serta absensi sudah dilaksanakan Vildana. Semua pekerjaannya selesai setelah jam 8 pagi. Sekitar setengah jam yang lalu, Artiya dan Kintan sudah pamit lebih dulu ke kampus karena ada kelas setengah 10 pagi.

Setelah piket pagi selesai, suasana asrama perlahan jadi sunyi. Bahkan, tepat absensi pagi yang dilakukan jam setengah 8 tadi sudah ada ada beberapa penghuni asrama yang siap-siap berangkat ke kampus karena harus mengikuti kuliah pagi.

Sekarang hampir jam 10 pagi. Vildana sebenarnya ada kelas jam sembilan, tapi dia memilih untuk melewatkannya karena hukuman membersihkan kolam belum selesai.

Tamanna dan Amaya terpaksa pergi lebih dulu karena mereka tidak bisa absen dari kelas itu. Alasannya adalah mereka sudah kehabisan jatah absen untuk kelas mata kuliah yang diampu oleh ketua jurusan Ilmu Hukum.

Vildana yang masih memiliki jatah dua kali absen pun memanfaatkan hal itu untuk menyelesaikan hukuman yang diberikan Kak Lynelle. Lebih baik dia absen sekali di mata kuliahnya daripada dia harus berhadapan lagi dengan kesangaran Kak Lynelle.

Selesai mandi, Vildana menyempatkan diri untuk sarapan karena sejak tadi perutnya keroncongan. Karena kelas berikutnya jam 11, jadi dia masih ada waktu sekitar satu jam untuk siap-siap dan berangkat.

30 menit kemudian, Vildana sudah siap untuk pergi ke kampus. Saat dirinya memakai sepatu di depan pintu, tiba-tiba saja dia merasa ada sesuatu yang melesat sedikit cepat di ujung koridor dekat tangga darurat.

Karena merasa hal itu hanya angin, Vildana melanjutkan aktivitasnya memakai sepatu. Setelah itu dia bergegas mendekati tangga untuk turun ke lantai satu.

Namun, langkahnya kembali terhenti saat lagi-lagi dia melihat siluet benda asing yang dengan begitu cepat hilang di balik tembok tangga darurat. Rasa penasarannya kembali datang saat dirinya melihat seperti ada sisa-sisa serbuk berterbangan di tempat siluet tadi menghilang. Warnanya sama persis dengan yang dia temui di pintu ruang rahasia.

Deringan ponsel milik Vildana terpaksa menarik atensinya dari benda aneh berbentuk serbuk tersebut. Nama Tamanna terpampang di layar ponsel. Dengan segera dia mengangkat panggilan itu dan melanjutkan langkahnya turun ke lantai satu.