Chereads / FOURTH FLOOR NABWI / Chapter 9 - Siasat Pertama

Chapter 9 - Siasat Pertama

"Ini kita beneran balik malam?" Vildana kembali bertanya kepada dua temannya mengenai rencana mereka yang akan melihat acara pemilihan duta kampus yang salah satu finalisnya merupakan perwakilan dari fakultas mereka.

Rencana ini sudah mereka bicarakan sejak tiga hari yang lalu. Tidak, lebih tepatnya Tamanna yang memaksa dua temannya untuk ikut bersama dirinya dan mangkir dari piket sore dan kelas tambahan.

Berkat rayuan Tamanna, akhirnya mereka bertiga berakhir di antara kerumunan teman-teman fakultasnya yang lain. Bersorak untuk salah satu teman angkatannya dan membuat ketiganya lupa bahwa sebentar lagi jam malam akan tiba.

Beberapa saat sebelum pengumuman pemenang, Vildana seakan tersadar bahwa mereka harus segera kembali ke asrama sebelum jam malam berlaku yang tinggal 20 menit lagi. Jika mereka tidak pergi dari auditorium sekarang, mereka akan dipastikan tidak bisa masuk ke asrama dan harus mencari penginapan di luar.

"Tam, kita harus cabut sekarang. Ayo!" seru Vildana dengan sedikit berteriak karena suaranya sedikit ditelan oleh gemuruh sorakan orang-orang di auditorium.

Tamanna dan Amaya yang sedang asik ikut bersorak seketika menoleh dan langsung melirik jam mereka masing-masing. Keduanya sama-sama terkejut saat mendapati waktu mereka sudah mepet dan sudah lewat dari perjanjian mereka sebelumnya. Tamanna memang sudah janji akan kembali ke asrama 30 menit sebelum jam malam berakhir. Tapi, ternyata rencana mereka meleset 10 menit dari yang mereka sepakati sebelumnya.

"Ayo. Buruan." Tamanna langsung meraih tasnya yang dibiarkan begitu saja di tempat duduk auditorium.

Ketiganya baru bisa keluar dari kerumunan hampir lima menit. Untungnya, jarak dari auditorium ke asrama cukup dekat. Mereka hanya butuh lima menit untuk lari ke asrama agar bisa masuk sebelum piket hari ini menutup gerbang asrama.

"Tunggu!" Vildana tiba-tiba menghentikan langkahnya saat teringat akan sesuatu yang harus mereka lakukan.

Tamanna dan Amaya pun ikut berhenti dan berbalik menatap Vildana yang masih mengatur napasnya. "Kenapa?" tanya Tamanna.

"Kita belum buat surat dispensasi."

Ekspresi Tamanna dan Amaya pun seketika berubah panik. Mereka terlalu asik dengan acara pemilihan duta kampus sampai melupakan hal penting untuk urusan asrama. Tanpa adanya surat dispensasi, maka mereka bisa saja dianggap tidak hadir dan hal itu bisa berakibat pada lamanya kepulangan mereka nanti.

"Aduh, kenapa bisa lupa sama dispensasi, sih? Terus sekarang gimana? Nggak mungkin kan kita balik ke auditorium lagi buat minta tanda tangannya dosen," keluh Tamanna panjang lebar.

Mereka benar-benar panik. Kurang dari sepuluh menit gerbang asrama akan ditutup. Tidam mungkin salah satu dari mereka berlari kembali ke auditorium karena waktu yang sangat mepet.

Vildana berusaha keras memaksa otaknya untuk bekerja lebih keras. Di hal-hal genting seperti ini bukan tenaga yang diperlukan melainkan sebuah akal.

Ya, akal. Vildana punya akal untuk menyelamatkan mereka dari jam malam sekaligus kehadiran mereka masih terhitung untuk hari ini.

"Aku punya ide," cetus Vildana yang langsung berjalan ke arah gajebo dan mengeluarkan buku kuliahnya.

Tamanna dan Amaya masih memperhatikan apa yang akan dilakukan Vildana saat ini. Tidak sampai tiga menit Vildana selesai membuat surat dispensasi untuk ketiganya lengkap dengan tanda tangannya sendiri.

"Kamu bakal ngasih ini ke Kak Lynelle?" tanya Amaya sangsi.

Vildana mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya. Setidaknya kita nggak bakal kena penambahan hari karena nggak ada surat ini."

"Astaga, Vil. Kamu malsuin tanda tangannya Pak Jail?" Amaya masih syok dengan perbuatan temannya itu. Dia bahkan tidak sampai memikirkan akal bulus seperti ini.

"Tenang aja, Am. Lagian Kak Lynelle nggak tahu kali tanda tangan Pak Jail kayak gimana."

Tamanna menyambut dengan gelak tawa ucapan penuh siasat temannya itu. Selicik-liciknya dia, cara yang dilakukan Vildana ini bahkan tidak terpikirkan olehnya.

"Nah. Sekarang suratnya sudah ada. Jadi, siapa nih yang bakal ngasih suratnya ke Kak Lynelle?" tanha Vildana sambil mengacungkan surat tersebut di depan wajah ketiganya.

Tamanna dan Amaya saling pandang untuk sesaat. Karena Vildana sudah tidak ingin berlama-lama lagi di luar, akhirnya dia menunjuk Amaya untuk memberikan surat tersebut ke Kak Lynelle saat mereka masuk nanti.

Amaya tidak bisa menolak karena dia juga harus ambil andil untuk menyelamatkan mereka bertiga. Akhirnya ketiganya masuk ke asrama tepat tiga menit terakhir piket memberlakukan jam malam.

Tanpa mereka sadari, perbuatan curang ketiga gadis itu ternyata sudah diperhatikan Shua dari jendela besar kamarnya. Semua gerak-gerik tiga orang itu tidak pernah sekalipun luput dari Shua.

Terlebih lagi dengan Vildana. Shua bahkan sampai menarik napas panjang melihat bagaimana gadis itu membuat surat dispensasi palsu untuk menyelamatkan mereka bertiga. Shua kembali dibuat memperhatikan lebih lama kepada sosok Vildana yang mengusulkan dan membuat surat palsu tersebut.

Shua masih diam di tempatnya bahkan sampai tiga gadis itu masuk ke asrama. Tidak lama setelah ketiganya masuk, terdengar bel pertanda jam malam berakhir.

"Anak zaman sekarang makin mengada-ada. Akal bulus mereka banyak sekali," gumam Shua setelah dirasa sudah tidak ada lagi hal yang perlu dia perhatikan.

Lagi. Nama Vildana sekali lagi tercetak jelas dalam ingatannya. Bahkan sampai detik ini pun Shua tidak pernah mendapati tingkah laku baik dari gadis itu. Baru saja dirinya meminta Everilda untuk memperhatikan Vildana, eh, malamnya dia malah memergoki aksi curang yang dilakukan gadis itu lagi.

***

Vildana dan Tamanna memperhatikan Amaya dari balik dinding pembatas blok 2 dengan aula. Sesuai kesepakatan mereka tadi, Amaya akan memberikan surat dispensasi tersebut ke pengawas lantai sekaligus menjelaskan alasan mereka terlambat pulang. Tentu saja alasan pergi melihat acara pemilihan duta kampus bukanlah alasan yang harus dijelaskan Amaya kepada pengawas lantai. Salah bicara sedikit saja Amaya, tamatlah riwayat mereka bertiga.

Tidak perlu waktu lama untuk Amaya menunggu sampai Lynelle menampakkan wajah sangarnya itu di depannya. Melihat ekspresi Lynelle yang seperti itu tentu saja semakin meningkatkan ketakutan Amaya. Dia merasa sekarang ini adalah pertama kali dalam hidupnya melakukan sebuah kebohongan besar.

"Kamu nggak ikut piket sore sama kelas tambahan, kan?"

Belum apa-apa Amaya sudah diskakmat lebih dulu. Dia semakin kesulitan menelan salivanya. Sebisa mungkin dia mempertahankan fokusnya agar semua alasan yang sudah dia siapkan tidak hilang karena merasa diintimidasi oleh Lynelle.

"Iya, Kak. Ini saya mewakili dua teman kelas saya mau memberikan surat dispensasi dari dosen kami." Dengan sedikit bergetar, Amaya akhirnya menyodorkan surat yang sudah dibuat Vildana tadi.

Mereka beruntung karena Vildana pandai dalam merangkai kata-kata sekaligus tulisan tangannya selalu rapi. Mungkin karena sering mengerjakan administrasi kelas sehingga membuatnya tidak kesulitan untuk menghasilkan surat yang bisa menyelamatkan mereka bertiga.

Lynelle nampak memperhatikan surat tersebut selama beberapa detik. Amaya pun tanpa sadar menahan napas saat menunggu suratnya diterima oleh Lynelle.

"Oke. Suratnya saya terima. Kesempatan dispensasi kalian sisa dua kali lagi."

Amaya akhirnya bernapas lega. Dua temannya yang bersembunyi sejak tadi pun ikut mengembuskan napas lega karena siasat mereka ternyata ampuh tanpa kendala sedikit pun.

Setelah surat tersebut resmi diterima, Amaya langsung menghampiri dua temannya dan langsung masuk ke kamar Amaya. Ketiganya tidak bisa menyembunyikan sorakan senang mereka karena bisa lolos tanpa kendala.