Lynelle baru kembali dari bank karena harus mengurus rekening baru. Belum ada tiga menit dirinya masuk ke dalam kamar, ponselnya yang diletakkan begitu saja di atas nakas berdering pertanda pesan masuk. Setelah dicek, ternyata pesan dari Shua. Lagi-lagi dirinya harus menghadap sekarang juga.
Tanpa menunda lagi Lynelle langsung keluar lagi dari kamarnya dan bergegas ke ruangan Shua. Selama melewati koridor blok 4 Lynelle dibuat berpikir keras karena tidak menyangka dirinya akan kembali masuk ke ruangan Shua. Bahkan, sepanjang dirinya tinggal di asrama ini, baru kali ini dirinya harus menghadap Shua selama tiga kali kurang dari 10 hari.
Suasana asrama yang masih sepi membuat Lynelle jadi leluasa untuk masuk ke ruangan Shua tanpa perlu waspada dengan sekitarnya. Begitu dirinya masuk dan kembali mengunci pintu, nampak Shua baru keluar dari ruangan kecil yang sampai sekarang Lynelle tidak tahu apa isinya.
"Kenapa Shua manggil aku? Ada yang dibutuhkan sekarang?"
Shua menggeleng. Dia belum menjawab pertanyaan Lynelle itu. Dirinya berjalan ke arah deretan rak potnya dan mengambil pot yang terbuat dari tanah untuk dia tanami bunga yang baru.
Lynelle pun memilih diam sembari menunggu sampai Shua mengatakan tujuan dirinya memanggil Lynelle ke sini.
"Semalam ada penghuni yang menyerahkan surat dispensasi, ya?" Shua mulai membuka suara sesaat setelah dirinya menuangkan segepok tanah hitam ke dalam pot.
Lynelle nampak bingung. Yang ada di pikirannya saat ini adalah kenapa Shua bisa tahu ada surat dispensasi yang masuk tadi malam?
"Pasti suratnya dari Vildana, kan?" lanjut Shua tanpa menoleh ke arah Lynelle.
Sebelum menjawab, Lynelle berdehem sebentar. "Benar semalam ada surat dispensasi, tapi bukan dari Vildana."
"Ah …." Shua akhirnya memutar tubuhnya jadi menghadap Lynelle sepenuhnya. Tangannya terangkat karena sudah kotor dengan sisa-sisa tanah. "Bukan Vildana, tapi temannya, kan?"
Lynelle akhirnya mengangguk walaupun sedikit ragu. "Kenapa kamu bisa tahu, Shua?"
"Bisalah. Aku lihat semua hal yang mereka lakukan sebelum menyerahkan surat palsu itu ke kamu." Shua berujar dan kembali sibuk dengan tanaman di pot kecilnya.
Lynelle tidak bisa untuk tidak mengernyit. Dia masih dibuat bingung dengan ucapan Shua yang menurutnya kali ini sedikit berbelit-belit. "Maksud kamu apa, Shua? Surat apa yang palsu?"
Shua berdecak. Dia sedikit geram dengan Lynelle yang entah kenapa malah lemot untuk menangkap ucapannya sejak tadi.
"Surat dispensasi yang diserahkan semalam itu surat palsu. Yang buat bukan dosen mereka, melainlam Vildana. Itu juga tanda tangan dia," jelas Shua akhirnya.
"Ja--jadi mereka …."
"Mereka bohongin kamu, Lynelle. Ngerti sekarang?" Shua kembali berbalik dan mengacungkam sekop kecil di hadapan Lynelle.
Lynelle langsung menganggul paham. Seketika emosinya naik karena sudaj berhasil ditipu oleh anak asrama. Baru kali ini dirinya kecolongan seperti ini.
"Kamu harus kasih pelajaran ke Vildana biar dia kapok buat nggak main-main sama yang namanya aturan," lanjut Shua.
"Terus bagaimana dengan dua temannya?"
"Biarkan saja. Yang membuat surat palsu itu Vildana sendiri, jadi beri saja hukuman ke dia jangan libatkan dua temannya."
Lynelle langsung melaksanakan perintah Shua saat itu juga karena bertepatan dirinya keluar dari ruangan rahasia itu, Vildana pun baru tiba di aula lantai 4. Bisa ditebak Lynelle kalau gadis itu baru saja pulang dari kampus.
"Ikut aku, Vildana."
Vildana yang belum bisa membaca situasi saat ini tentu saja kebingungan ketika dirinya tiba-tiba diminta untuk bersama Lynelle. Dia bahkan belum sampai ke kamarnya untuk ganti baju. Tetapi, karena tidak ingin membuat pengawasnya itu melayangkan tatapan tajam karena dirinya menolak, akhirnya Vildana ikut turun ke lantai satu tanpa bertanya sedikit pun.
Lynelle ternyata membawa Vildana ke ruangan staff. Ini kali pertama bagi Vildana menginjakkan kaki ke ruangan yang sering disebut sakral itu. Tidak sembarangan penghuni yang bisa masuk ke ruangan ini. Apalagi Vildana tidak tahu alasan dirinya dibawa masuk ke ruangan ini.
Vildana mengedarkan pandangannya ke bilik pertama yang ternyata digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu. Ada satu set sofa minimalis mengisi bilik yang tidak terlalu besar itu. Di belakang sofa tersebut dibatasi oleh sebuah papan besar yang ternyata di baliknya adalah tempat para staff berada. Saat Vildana datang bersama dengan Lynelle, kebetulan terdapat tiga staff yang saat ini sedang sibuk di meja kerja masing-masing.
"Eh, Lynelle. Tumben siang-siang ke sini. Ada apa? Itu yang di belakang kamu mau ngapain?" Salah satu staff menegur Lynelle yang ternyata tidak biasa berkunjung ke ruangan staff di jam seperti sekarang.
"Kak Everilda nya ada?" Bukannya menjawab, Lynelle malah balik melayangkan sebuah pertanyaan.
"Tadi diajak Pak Alvir. Nggak tahu mau kemana tuh mereka berdua."
"Kenapa nyariin Everilda?" Staff yang lain menimpali.
"Saya mau minta Kak Everilda untuk sidang ini anak."
Vildana yang merasa dirinya ditunjuk oleh Lynelle hanya bisa memasang tampang cengo. Dia benar-benar syok dengan apa yang baru saja dikatakan Lynelle kepadanya.
"Si-sidang? Saya mau disidang karena apa, Kak? Saya buat salah apa?" tanya Vildana gelagapan.
Terlihat seorang staff yang tadi nampak acuh dengan kehadiran Lynelle dan Vildana akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri keduanya. "Kenapa kamu tiba-tiba minda sidang untuk anak ini? Memangnya dia buat kesalahan apa?"
"Dia sudah memalsukan surat dispensasi semalam. Surat yang masuk ternyata bukan dari dosennya melainkan dia sendiri yang membuat surat tersebut."
Bagai disambar petir di siang bolong, tubuh Vildana membeku detik itu juga. Matanya mengerjap beberapa kali sebagai bentuk reaksi dari keterkejutannya. Kalimat pembelaan bahkan tidak bisa keluar dari mulutnya karena sudah tercekat dengan fakta bahwa dirinya sudah tertangkap basah melakukan kecurangan.
"Pemalsuan surat dispensasi?" Beo staff yang lainnya.
"Kalau begitu bawa dia masuk," pinta staff yang tadi menghampiri keduanya.
Tanpa bisa mengelak lagi, Vildana hanya bisa pasrah saat dirinya diseret masuk ke bilik kecil yang ada di sudut ruangan tersebut. Tidak perlu waktu lama untuk Vildana menunggu dirina disidang oleh tiga orang staff termasuk Lynelle.
"Jadi, benar kamu yang menulis surat ini?" Surat yang semalam diberikan Amaya kepada Lynelle disodorkan ke hadapana Vildana. Ya, itu surat yang dia tulis dengan tangannya sendiri.
Detik itu juga Vildana mengangguk pasrah. Semua penuturan Lynelle benar-benar seperti apa yang dia lakukan semalam. Itulah kenapa dia tidak bisa menyangkal lagi karena sekali dia membela diri, maka hukumannya akan sangat fatal jika terdapat bukti lain yang mempertegas bahawa dirinya memalsukan surat dispensasi semalam.
"Jadi, dari beberapa hukuman yang sudah saya sebutkan, pengawas dari lantai 4 mau pilih yang mana?"
Kini, semua perhatian teralihkan ke Lynelle sepenuhnya. Vildana sangat berharap kalau dirinya hanya akan menambah piket menyapunya di halaman belakang selama tiga hari berturut-turut. Itu adalah hukuman paling ringan dari jenis pelanggaran yang sudah dia perbuat.
"Saya pilih hukuman nomor empat," jawab Lynelle lugas.
Vildana lagi dan lagi hanya bisa mengembuskan napas kasar karena harus menerima hukuman paling berat. Rasanya dia ingin memutar kembali waktunya kemarin dan memilih untuk pulang ke asrama sebelum piket sore. Tetapi, tentu saja hal itu tidaklah mungkin.
"Oke. Jadi, keputusannya Vildana harus memberishkan kebun di rooftop selama seminggu. Kalau tidak selesai dalam seminggu makan hukumannya akan ditambah. Dan yang terakhir dari sidang kali ini adalah yang menjadi penanggung jawab dari hukuman Vildana adalah Lynelle sendiri."
Sidang yang hanya berlangsung sekitar 40 menit itu pun berakhir dengan keputusan yang sangat tidak ingin diterima Vildana. Rasanya dia ingin menangis saja di depan Lynelle agar hukumannya diringankan sedikit. Apalagi, dia harus menjalankan hukuman tersebut seorang diri yang artinya Tamanna dan Amaya tidak bisa membantunya.
Dari kejadian ini Vildana bisa mengambail kesimpulan bahwa aturan yang ada di asrama tidaklah main-main. Hukumannya pun tidak memandang bulu. Semua disamaratakan. Apalagi untuk yang terbukti melakukan pemalsuan atau melakukan siasat buruk untuk kepentingannya sendiri. Seperti yang dilakukan Vildana semalam.