"Mau kemana Mar, tumben buru-buru pulang?" tanya Eki. "Iya, aku ada janji sama camer hehehe.. duluan ya, daah!!" balas Marisa dengan ceria menenteng tas bermerek yang berukuran kecil di tangan kiri dan tangan kanannya menenteng tas laptopnya dengan merek yang sama dan tentu saja serasi dengan baju dan riasan yang dipakainya. "Camer?" tanya Eki bengong. "Kenapa Ki? si Marisa kemana?" tanya Lira yang baru kembali dari toilet. "Balik duluan, katanya ada janji sama camer, emang udah ada calonnya tu anak?" kata Eki. " Sepertinya tidak ada, lagi lebay kali! atau lagi halu?" kata Lira tidak peduli.Eki hanya tertawa lalu melanjutkan pekerjaaan mereka kembali supaya paling tidak walaupun pulang terlambat mereka tidak pulang terlalu malam.
Marisa mengarahkan mobilnya ke sebuah mall di daerah Senayan. Setelah mendapatkan parkir, buru-buru ia melangkahkan kakinya yang ramping ke lantai 4 dimana sebuah restoran bernuansa Eropa berada. Sebelum masuk ke restoran tersebut ia menyempatkan diri memeriksa penampilannya di toilet wanita, setelah puas dengan penampilannya ia mengecek jam tangannya. "Lima menit lebih awal, niiceee!" kata Marisa sambil tersenyum pada bayangan dirinya di cermin toilet, lalu ia buru-buru keluar dari sana dan memasuki restoran. "Reservasi atas nama Ibu Dewi. Ibu dewinya sudah datang belum?" tanya Marissa pada seorang pelayan yang menjaga meja reservasi. "Sudah kak, mari saya antar." kata si pelayan. Marisa pun mengikutinya menuju meja yang dimaksud. pelayan mempersilahkan Marisa duduk, sementara Dewi masih sibuk mengetuk sesuatu di ponselnya. "Selamat sore Tante Dewi. Terimakasih sudah mengundang saya kemari sore ini." kata Marisa dengan nada ceria terbaiknya. Dewi hanya mengangkat tangan kanan menyuruh Marisa berhenti berbicara. Marisa terdiam salah tingkah. Ia mencoba bersabar dan menampakan senyumnya yg paling menawan, padahal kalau orang lain pasti ia sudah tersinggung berat. Sedangkan Dewi bukannya menutup ponselnya, malah menghubungi seseorang lagi lalu mengobrol ngalor-ngidul sambil cekikikan dengan orang tersebut. Sekitar 15 menit kemudian baru Dewi menutup telponnya dan menoleh pada Marisa. "Kok bengong Marisa, sudah pesan belum? pelayan!! Mana menunya?" kata Dewi. "Terimakasih Tante." kata Marisa singkat lalu memesan makanan dan minuman favoritnya pada pelayan. Selesai memesan dan pelayan pergi, Dewi menatap Marisa dengan serius. "Bagaimana posisimu di kantor anakku Marisa?" tanya Dewi. Marisa bingung tidak mengerti maksud pertanyaannya. "emm.. maksud Tante posisi apa ya? kalau dalam pekerjaan, saya adalah salah satu team marketing Aditya." jawab Marisa. "Kalau hubungan pribadi?" tanya Dewi dengan mata menyipit. "Ehmm.. te.. teman saja Tante." kata Marisa gelagapan. Dewi menyeringai kejam, "Susah ya menarik perhatian anakku itu? padahal penampilan fisikmu bisa dibilang diatas rata-rata. Menarik perhatiannya saja kau tidak bisa..ck.."
Muka Marisa memerah menahan malu. Untunglah saat itu pelayan datang membawakan pesanan mereka. Setelah pelayan itu pergi, Dewi melanjutkan pembicaraan mereka. "Tapi bagus juga sih anakku tidak tertarik padamu, dengan relasi ayahmu dan posisi pekerjaanmu, kurasa kesempatanmu bergabung dengan keluarga kami sangat tipis sekali bahkan nyaris tak ada." Dewi mengatakannya dengan muka datar tanpa dosa, padahal dia telah menghina ayah Marisa sekaligus Marisa disaat yang bersamaan. Marisa sendiri hampir tersedak mendengarnya. Selama ini ia sangat bangga dengan statusnya yang bisa dibilang masuk dalam lingkaran pertemanan sosialita kelas atas. Tapi ternyata masih belum cukup bagi ibu seorang Aditya Bhagaskara. "Pewaris Bhagaskara itu seharusnya menikah dengan seorang pewaris juga. Bukan orang sembarangan. Aku ajari kamu ya Marisa, kalau kamu mau hidupmu terjamin bahagia sampai akhir hayat, carilah seorang pewaris yang bergelimang harta. Seperti yang kulakukan, hohohohoho.." kata Dewi sambil tertawa. Marisa hanya tersenyum masam. dalam hati Marisa juga sudah tau nasehat itu, makannya ia mengejar Aditya. "Tante, maaf tapi saya kurang mengerti nih, ada tujuan apa sebenarnya saya dipanggil kemari?" tanya Marisa langsung ke inti permasalahan, tak ingin lagi mendengar dirinya direndahkan oleh ibu-ibu di depannya ini. "Ya gara-gara masalah ini!!! Aku mendengar rumor yang sudah dipastikan kebenarannya, kalau anakku Aditya punya hubungan gelap dengan Raissa salah satu perawat di Bhagaskara Medika! Aku tidak mau kehilangan anak karena direbut wanita rendahan, seperti Alex yang dicuri oleh Asya!" kata Dewi berapi-api. "Raissa?!?!? Tidak mungkin Tante!! mereka saja jarang berinteraksi! Aditya masih lebih dekat dengan kami-kami yang satu kantor dengannya." kata Marisa menyangkal. "Hmmm, kalau begitu..aku ingin kamu menjadi mata-mata untukku. Selidiki Raissa, lapor padaku besok malam. Kita ketemu disini besok malam jam 8." kata Dewi. "Tapi Tante, saat ini Raissa sedang cuti sakit ke Bandung, karena diserang oleh orang gila." balas Marisa. "Diserang?!?! kok bisa? coba kamu selidiki! lapor padaku Minggu depan, hari dan jam yang sama. Kalau kamu bisa mendapatkan informasi lebih cepat, hadiahnya ku lipat gandakan!" kata Dewi. "Tapi.."
"tidak ada tapi-tapian, kerjakan!! ini, sebagai imbalan di muka!"
Dewi menyerahkan sebuah kotak berisikan tas bermerk terkenal, edisi terbatas karena hanya ada 3 buah yang beredar di pasaran. Marisa yang pecinta barang-barang bermerk langsung mengiyakan begitu melihat tas idamannya tersebut. Dewi tersenyum puas.
"Baiklah, hadiahnya selanjutnya tergantung seberapa cepat kau bisa memberiku informasi tentang Raissa. Kurasa aku tahu kelemahanmu, barang-barang milikku semuanya bermerk, tapi semuanya tahun lalu punya, kurasa setelah ayahmu pensiun kau tidak dapat jatah lagi ya? kasihan. Bekerjalah yang baik, aku bisa memberikan yang kamu mau nak! tapi jangan sekalipun kamu mengkhianatimu, kau akan tahu akibatnya!" kata Dewi. "Tenang saja yang Tante!" kata Marisa. "Baiklah, kamu punya kartu kredit perusahaan kan? bayar ya untuk makanan kita sore ini. Aku pergi dulu! Bye!" kata Dewi langsung berdiri dan pergi dari sana secepat kilat. Marisa masih bengong. "Beliin aku tas bermerk bisa, masa bayar makanan saja tak mau? isshh.. aku bilang apa sama Bu Tari kalau kartu kredit perusahaan kupakai? ah aku bayar sendiri saja ah.. tapi kalau aku bayar sendiri.. aku mau tambah makanan pencuci mulut!!! enak saja sudah bayarin malah aku yang tidak menikmati!! pelayan!! minta kue coklat super meleleh satu ya!" kata Marisa dengan jengkel. Sambil menunggu Marisa berpikir, apakah Aditya pernah berinteraksi dengan Raissa? tentu saja pernah, tetapi interaksi mereka tidak lebih dari hubungan antara atasan dan bawahan. Raissa memang bukan orang yang akan membungkuk bila ketemu atasan, tetapi anak itu cukup tahu sopan santun. Lalu Raissa teringat ponsel Aditya yang sama persis dengan ponsel Raissa sekarang, mungkinkah itu punya Aditya? Di klinik sendiri Raissa cukup dekat dengan banyak karyawan laki-laki. Tetapi tidak ada yang dekat juga dengannya, tidak seperti Raissa dekat dengan Asya, Peni dan Liza. Mereka seperti empat sekawan tak terpisahkan kalau sudah bersama. Apa Marisa bisa mendekati salah satu dari empat sekawan tersebut untuk mencari tahu tentang Raissa? Atau merek sangat loyal satu dengan yang lain? Atau ia bisa meminta bantuan Lira dan Eki, mereka terkenal sebagai biang gosip di kantor. Pasti kalau ada rumor mereka duluan yang tahu bukan? Diatas segalanya Marisa cemburu, cemburu pada Raissa kalau ternyata kabar itu benar. Raissa bukan siapa-siapa! Bagaimana bisa ia menarik perhatian Aditya? Selama ini Aditya selalu mengencani wanita cantik, Raissa memang cantik, tapi kurang berkelas. Tidak seperti dirinya. Apa yang kurang dari dirinya? Kalau dirinya saja tidak memenuhi syarat menjadi pendamping Aditya seperti yang dikatakan ibunya barusan, apalagi Raissa. "Pokoknya, kalau aku tidak dapat, maka Raissa juga tidak!!" janji Marisa sambil mengelus tas baru yang diberikan oleh Dewi. "Aku akan mencari cara untuk menjelek-jelekkan Raissa di depan Aditya dan keluarga besarnya. Tunggu saja Raissa, kamu bukan lawanku!" kata Marisa dalam hati. Ia menghabiskan seluruh makanannya dengan geram. Setelah semua habis Marisa membayarnya dengan uangnya sendiri. "Tidak masalah, kalau hanya makan di restoran sih aku masih sanggup bayar!" katanya menenangkan diri. Ia pun keluar dari restoran tersebut lalu menuju parkiran mobilnya. Ia memutuskan untuk pulang. Malam ini waktunya membuat rencana, jangan gegabah, karena semuanya bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia harus keluar sebagai pemenang. Marisa melajukan mobilnya pulang ke rumah dengan kecepatan tinggi. Untungnya jalanan tidak terlalu ramai sehingga ia bisa sampai di rumah dengan selamat.