Chereads / Dendam Terindah / Chapter 3 - Kenapa Musik Harus Dibenci?

Chapter 3 - Kenapa Musik Harus Dibenci?

"Hah, benar-benar hari yang melelahkan. Tak adakah hari libur untukku? Sehari saja?" gerutu Agnes merebahkan tubuhnya di atas kasur seraya merentangkan tangannya seraya menatap langit-langit kamarnya.

Belum lama Agnes merasakan nikmatnya merebahkan tubuh, terdengar pintu kamarnya diketuk oleh salah satu asisten rumah tangganya sembari memanggil-manggil namanya.

"Non, Nona Agnes. Ga makan malam dulu?" tanya sang asisten dari luar kamarnya.

"Enggak, Bi. Agnes capek banget. Mau istirahat langsung," sahut Agnes dengan suara lemah dan lelah.

"Tapi, Non-"

"Nes, ini Papi. Kamu ga mau makan?"

Suara berat dan dalam seorang pria berwajah oval dan kacamata yang menyesuaikan dengan wajah laki-laki mengenakan kemeja warna putih dan dasi hitam, berdiri di luar kamar Agnes. Dialah George Laurel, pria berkebangsaan Inggris namun telah menjadi warga negara Indonesia ini segera menghampiri kamar putrinya kala ia tak kunjung turun.

"Kau turun saja, Bi. Biar Agnes aku yang membawanya," Ucap George bersiap mengetuk pintu kamar Agnes.

"Baik, Tuan Besar."

"Nes, masih ga mau turun?" tanya sang Papi di depan pintu kamar warna merah bata dengan poster berbagai idol Negeri Ginseng itu.

Tak lama, Agnes membuka pintu kamarnya dan melihat sang papi.

"Agnes lelah, Pi. Mau langsung istirahat." Ucap Agnes menyandarkan kepalanya pada pintu kamarnya.

"Turun dan sekarang waktunya makan! No debat!" Ucapan singkat namun aslinya adalah perintah yang mutlak dan harus dijalankan oleh Agnes.

Gadis itu hanya menghela napas panjang di depan sang Papi tanpa berkomentar apa pun. Agnes hanya melihat datar dengan bola mata coklat terang miliknya dan sedikit mengerucutkan mulutnya.

"Kenapa? Kau tak senang? Papi seperti ini juga kan demi kamu, Nes. Mami sekarang lagi ga di rumah, kalau sampai mami kamu tahu kamu sakit atau apalah itu, Papi juga yang akan disalahkan. Kamu tau kan gimana obses-nya mami sama kamu, Nes?"

Agnes terdiam. Bukannya ia tak tahu jika kedua orang tuanya sangat over protektif karena ia adalah satu-satunya anak tunggal di keluarga besar Laurel dan cucu perempuan yang paling disayang oleh sang oma, ibu dari Gema Melody Agnesia, Abigail Juan Perero.

Tapi, gadis manis nan cantik dengan wajah blasteran Inggris-Brazil-Indonesia ini tak ingin mengecewakan dan membuat kedua orang tuanya sedih dan melupakan jasa budi mereka padanya, terutama sang mami yang selalu melimpahkannya dengan sesuatu yang ia inginkan, kebebasan! Ya, meskipun Agnes adalah anak tunggal di keluarganya, sang mami memberikan kebebasan dalam mengeksplorasi cita-citanya, meski ditentang oleh George Laurel, dan menginginkan Agnes untuk fokus sekolah dan melanjutkan perusahaan sang papi, namun jiwa seni yang kental dari Abigail tampaknya tak bisa membendung keinginan Agnes untuk bermain musik. Dan kini, ayah-anak itu berdiri saling berhadapan, menatap datar namun lekat satu sama lain, seolah ada sesuatu yang harus diselesaikan antara keduanya.

"Papi tunggu di bawah, Nes." Ujar George menatap dingin putrinya.

"Agnes akan melanjutkan kuliah ke Paris, Pi." Mendengar ucapan sang anak, George yang telah memunggungi Agnes langsung berbalik badan, menatap sekejap dirinya dan menarik napas panjang.

"Musik?" tanya George datar.

"I-iya "

"Di mana?"

"Conservatoir de Music, Pi. Nona Odele yang menyarankan Agnes ke sana."

"Dia juga yang akan membiayai kuliahmu?"

"A-pa? Maksud Papi apa?" Agnes memiringkan kepalanya, bingung akan ucapan sang Papi.

"Kau itu terlalu menuruti apa yang dikatakan oleh guru musikmu! Sedikit-dikit Nona Odele, sedikit-sedikit Nona Odele! Siapa orang tuamu sebenarnya, hah?!" George meninggikan suaranya.

Agnes tak dapat berkata apa pun, kecuali hanya menundukkan pandangannya. "Meskipun Papi tak mengizinkan, aku akan tetap pergi ke Paris! Ini cita-citaku, Pi. Aku sangat ingin seperti Mami, bukankah menjadi seorang pemusik adalah hal yang bagus dan membanggakan?"

"Musik! Musik! Musik! Kamu tahu berapa lama mami kamu sampai bisa seperti sekarang?! Apa saja yang telah ia korbankan hingga bisa menjadi seorang pemusik seperti sekarang!" George tak bisa lagi menyembunyikan amarahnya. Bola matanya mendelik tajam, suaranya melengking tinggi disertai urat-urat di lehernya yang terlihat sangat jelas.

"Kenapa Papi sangat membenci musik? Jika Papi benci musik, kenapa menikah dengan mami? Bukankah mami seorang pemusik?" tanya Agnes dengan bibir bergetar dan kepalan tangan di samping tubuhnya.

Itu urusan orang dewasa! Anak kecil seperti kamu harusnya hanya tahu soal belajar! Karena itulah manusia bisa bertahan! Paham?!" George mengendurkan ikatan dasinya dan membalikkan tubuhnya menuruni tangga. Sementara Agnes langsung terduduk lemas di samping pintu kamarnya sambil menangis terisak membenamkan kepala di antara kedua tangannya.

Di meja makan, George yang hanya duduk diam memandangi bermacam masakan lezat di depannya. Tak ada gairah juga keinginan dari pria yang tampan dan karismatik itu untuk mengangkat sendok dan garpunya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi yang dilapisi kulit warna merah-coklat sambil mendongakkan kepalanya, menatap lampu kristal berukuran sedang di ruang makan.

"Hhhh, apa yang baru saja kulakukan? Kenapa aku lepas kendali setiap Agnes membicarakan soal musik padaku?" George menutup matanya, ingatannya melayang mengingat masa-masa dirinya menjalin kasih dengan Violetta, seorang pemain biola yanng cantik, feminim, dan baik. Masa-masa pacaran yang sangat indah sebelum akhirnya ia harus dijodohkan dengan Abigail Juan Perero, anak seorang pengusaha tambang asal Brazil, Juan Carlos Perero yang telah membantu keluarga Laurel bangkit dan keluar dari keterpurukan. Penikahan yang tiada dilandasi cinta dan semata karena bisnis, membuat George sama sekali tak menyentuh Abigail hingga satu peristiwa yang seharusnya bisa ia hindari justru malah ia lakukan. Mendengar ia telah menikah, Violetta meninggalkannya dan tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan duduk perkaranya. Frustasi, George membenamkan dirinya dengan minuman memabukkan dan akhirnya, ia melampiaskan semua kekecewaan dan kemarahan pada Abigail.

"Sighh, kenapa aku haus ingat pada kejadian itu, sih? Benar-benar menjengkelkan!" George membuka matanya dan mendengar deringan nada di ponsel pintarnya. nada dering khusus untuk sang istri.

"Halo, bagaimana kabarmu, Sayang?"

[Baik. Bagaimana Agnes? Apa dia tadi latihan musik?]

George diam. Satu hal yang paling dia benci ketika menerima telepon dari Abigail adalah pertanyaan yang selalu sama, 'Apakah Agnes pergi ke latihan musik atau tidak? Bagaimana hasilnya? Apakah dia sudah menguasai beberapa alat musik?'

"Ya, dia pergi latihan, Sayang dan baru saja pulang. Mungkin ...." George melihat ke atas, tepat di mana kamar Agnes berada. "Dia sudah tidur."

[Hah, cepat sekali anak gadisku tidurnya. Ya sudah, biarkan saja, Pi kalo Agnes sudah tidur. Kemungkinan, kepulanganku akan ditunda, karena aku harus bertemu dengan beberapa tokoh terkemuka dan pejabat penting kota ini. Tak apa, kan?]

"Hmm, take your time, Abigail."

[Makasih, ya, Pi. Salam untuk Agnes. Jangan lupa suruh dia makan-makanan yang bergizi, olahraga, belajar dengan tekun, dan paling penting jangan lupa pergi latihan.]

"Oke ... oke ... aku mengerti. Kau nikmati saja pertunjukanmu dan jangan khawatir tentang kami."

Setelah beberapa menit menelepon, Abigail memutus teleponnya, George lagi-lagi menarik napas panjang sambil berkata, "Apa baginya, aku ini tak berarti apa-apa? Apa sekarang aku sedang menjalani karmaku atas sikapku yang acuh dan dingin padanya dulu?"

***

Di kediaman Regazka, Claudio yang masih berada di kamarnya, perlahan bangun dan penglihatannya yang tadinya gelap, kini mulai berangsur pulih. Segera, ia menghadap cermin dan meraba-raba wajah serta melihat dua tangannya secara jelas.

"M-mataku! Mataku! Mataku bisa melihat lagi!" teriak Claudio membuat Jhon Berry terkejut hingga langsung membuka pintu kamar Claudio.

"Tuan Claudio! Apa yang terjadi? Kenapa Anda teriak?" panik dan khawatir sang kepala pelayan.

"P-Paman, mataku! Mataku!" Pekik Claudio langsung memeluk Jhon erat.

Jhon yang bingung akan ucapan Claudio segera melepas pelukan Tuan Muda keluarga Regazka dan menatapnya dalam. "Apa ada sesuatu yang tak saya ketahui, Tuan?" tanya Jhon penasaran.

Claudio segera menutup mulutnya! Ia merutuki dirinya kenapa begitu ceroboh mengatakan hal yang seharusnya ia rahasiakan!

"Tuan Muda, apa ada yang ingin Anda katakan?" tanya Jhon menaikkan sebelah alisnya, menatap Claudio penuh curiga.

Eng-enggak ... ga apa-apa, Paman. Apa mama dan papa sudah pulang? Atau makan malam sudah siap? Aku lapar." Senyum Claudio menggaruk belakang kepalanya.

Jhon yang masih melihat Claudio dengan tatapan curiga tak memedulikan ucapan Tuan Mudanya. Ia masih mengarahkan dua bola matanya ke Claudio hingga membuat remaja ini salah tingkah.

Untunglah, tak lama kemudian sebuah mobil terdengar masuk ke teras rumah kediaman Regazka. Dengan cepat Claudio menyambar tangan Jhon sembari menunjukkan ekspresi wajahnya yang memelas dan berkata, "Jangan katakan apa pun pada mereka, Paman. Aku mohon. Paman tahu sendiri kan gimana mereka over banget kalo denger aku sakit, apalagi ini sampai pingsan. Oke, Paman?" pinta Claudio.

Jhon menarik napas panjang, tak tega melihat Claudio merengek seperti anak kecil, Jhon megusap-usap rambut Claudio sambil tersenyum dan berkata, "Hanya jika Tuan Muda mau mengikuti kata-kata saya, maka saya tak akan bocorkan kejadian hari ini."

Claudio mengerutkan keningnya, perasaannya tak enak. Dengan senyum simpul, ia membalas ucapan sang kepala pelayan, "Eng-enggak berat kan, Paman syaratnya?"

"Tidak, sama sekali Tuan." Senyum Jhon.

Menelan getir saliva-nya, Claudio mengangguk tanda setuju.

"Baiklah, karena Tuan sudah menyetujui syaratnya, berarti mulai sekarang Tuan tidak boleh lagi memikirkan tentang musik dan pendaftaran Anda ke akademi La Toule de Music akan dibatalkan."

"APA!!!" pekik Claudio hingga terdengar ke lantai bawah.

"Suara Dio, Pa." Ucap seorang wanita dengan baju terusan selutut warna hitam.

"Hmm, aku dengar." Sahut pria di sampingnya membuka kancing kemeja putihnya.

"Kita ke sana!" ucap wanita yang rambutnya digelung itu bergegas ke kamar Claudio.

"Dio, ada apa kau teriak?"

"M-Mama? Papa?" kejutnya.

"Selamat malam, Tuan dan Nyonya Besar." Jhon menundukkan kepalanya.

"Kau boleh pergi, Paman Jhon!" perintah wanita yang dipanggil Mama .

Claudio berdiri menundukkan kepalanya, sementara kedua orangtuanya menghampiri dirinya dan mencium keningnya.

"Gimana kabar anak Mama hari ini?"

"Baik, Ma." Sahut Claudio memalingkan wajahnya.

"Kenapa wajahmu dipalingkan ketika orang tua sedang bicara, Dio? Kamu tahu apa arti etika, hah?!" sang Papa kesal. meninggikan suaranya.

"Sudah, Pa. Hentikan! Papa turun aja deh dari pada bikin pusing nambah panasin suasana!"

"Kamu selalu saja membelanya, Ma." Papa yang masih kesal dan tak ingin bertambah marah, akhirnya meninggalkan kamar Claudio.

"Dio-"

"Apa betul yang dikatakan Paman Jhon, Ma jika Dio tak boleh masuk ke akademi musik La Toule?" Dio melihat sang Mama dengan tatapan tajam.

"I-itu ..."

"Katakan saja, Ma."

Sang Mama terdiam. Dia tahu putranya sangat menyukai musik. Namun, ia tak ingin putranya hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan.

"Ma, ada apa? Tak bisa katakan apa alasannya?" desak Claudio.

"Papamu telah mendaftarkanmu ke MIT, Dio." Mama memelankan suaranya sambil memegangi kedua bahu putranya.

"A-apa? MIT? T-tapi ... tapi-"

"Maafkan Mama yang tak bisa berbuat banyak, Dio. Tapi, kau tahu kan watak papamu jika telah memiliki keinginan, maka harus terlaksana."

"Kalau begitu, kenapa kalian membuat studio musik di rumah ini dan mengizinkan aku bermain musik? Kenapa, Ma?" Claudio meninggikan suaranya tak terima dengan alasan sang Mama.

"Itu karena ...."

"Karena kami muak melihatmu selalu memukul-mukul mejamu, layaknya sebuah kendang. Jadi kami memutuskan untuk membuat studio agar kau bisa main sepuasnya." Papa ternyata tak langsung meninggalkan kamar Claudio dan kembali masuk.

"Papa!" sahut Mama kesal.

Claudio terdiam dan menundukkan kepala sambil mengepalkan tangan.

"Besok akan ada teman Papa yang kuliah di MIT, dengar-dengar anaknya juga sedang kuliah di sana. Jadi, kamu sekalian bisa tanya-tanya."

Dio benar-benar diam! Ingin melawan, tapi ia terlanjur selalu dipamerkan sebagai anak yang berbakti, baik budi luhur, dan pintar, terutama oleh sang papa. Mama yang melihat sikap putranya, hanya bisa menghela napas dan mengusap rambutnya. "Kita keluar dulu, Pa. mungkin Dio lelah karena tugasnya yang banyak." Ajak Mama meraih pergelangan tangan suaminya.

"Dio tak akan mau menjadi boneka Papa lagi!" ucapnya tiba-tiba berdiri, melihat ke arah Papanya dengan tatapan tajam.

"D-Dio!" kejut sang Mama.

"Dio sudah muak menjadi boneka Papa! Sekarang saatnya Dio harus bisa mengambil sikap dan keputusan!" tegasnya.

"Begitu? Baiklah, terserah kau saja, Nak. Papa tak akan melarang kamu dengan sikap dan keputusan kamu itu." Senyum Papa meninggalkan kamar Dio.

"Halo, selamat malam pak kepala sekolah. Apa Kabar? Saya Daniel Sebastian Regazka, ayah dari Claudio Alfredo Regazka, sedikit merepotkan Anda mengenai putra saya yang kemungkinan akan melakukan home schooling. Mohon bantuan dan maklumnya, pak kepala sekolah."

"Pa! Apa-apaan, sih! Kenapa ...." Mama mendelik tajam ke arah suaminya.

"Dia bilang bisa menentukan sikap dan keputusan, kan? Papa juga bisa!"