Butiran peluh sudah kembali memenuhi keduanya. Terutama Calvin. Gerakan pada panggulnya terus ia lakukan seiring degup jantung yang kian cepat.
Pelukan di tubuh Ellice tak ia biarkan lepas. Supaya Ellice tetap merasakan kasih dan rasa aman dalam permainan keduanya. Calvin juga tak ingin sampai membuat Ellice membencinya di kemudian hari. Dan itu sukses membuat Ellice merasa lebih tenang.
Setelah kira-kira 30 menit berlalu Calvin menggerakkan pinggulnya, gelombang besar seakan datang menghampiri tubuh Ellice. Hingga membuat Ellice semakin merapatkan pelukan dan masuk lebih dalam pada kungkungan Calvin.
Ellice masih memeluk tubuhnya sendiri, saat di rasa ada sesuatu yang besar akan keluar dari dalam dirinya. Sampai beberapa detik ke depan rasa hangat memenuhi ruang kosong di bagian sensitif milik Ellice. Dan menghangatkan batang keperkasaan milik Calvin.
Tubuhnya yang bergetar tak terelakkan, Calvin rengkuh semakin erat tubuh mungil Ellice. Ikut merasakan se-dahsyat apa tembakan yang Ellice keluarkan di dalam sana.
Ketika getaran dalam tubuh Ellice mulai berkurang, Calvin kembali menggerakkan pinggulnya. Menikmati remasan dan pijatan dari sang pemilik inti yang sangat sempurna setelah pelepasan pertamanya.
Jujur ini yang pertama untuk keduanya. Calvin bersama mantan kekasihnya dulu hanya sekedar make out. Dia tak ingin mendahului diri, karena kakaknya belum melakukan hal itu dalam hidupnya. Calvin hanya ingin menghargai seorang Channing. Yang belum bisa merasakan nikmat dunia. Dia hanya ingin merasakan apa yang Channing rasakan. Sebesar itu rasa cinta Calvin pada kakaknya.
Tapi karena obat laknat itu, Calvin menodai keinginan mulianya sendiri dan malah bercinta dengan sang kakak ipar. Sial!
Rasa haus dan dahaga dalam jiwanya sungguh tersalurkan karena hasil sempurna yang Ellice berikan di dalam sana ketika Ellice mengalami pelepasan pertama.
"Egh.. sshh.. akkh.."
Lenguhan dan rintihan dari bibir tipis Ellice mengeluarkan sensasi erotic yang menggelitik di telinga Calvin. Menambah birahinya semakin tak tertahankan.
Namun apalah daya Calvin yang tak ingin menyakiti Ellice. Dia hanya bisa bermain dengan lembut. Tak ingin lagi dia menyakiti wanita ini.
Hanya hentakkan lembut, tapi masuk dengan sempurna. Itu saja sudah sangat menghasilkan pijatan pada miliknya yang begitu menekan dan terhimpit sempurna.
Entah apa karena meraka sudah melakukan penyatuan diri seperti ini, rasa sayang Calvin pada Ellice berkembang pesat dalam waktu semalam. Seakan tak rela jika Ellice menjadi milik sang kakak.
Bolehkah Calvin egois seperti itu?
Masih terus menikmati gerakan pinggulnya, Calvin menarik pelan wajah Ellice. Menangkup wajah cantik itu dengan kedua tanganya. Menikmati betapa indah ciptaan Sang Pencipta pada karyanya yang berbentuk seorang wanita cantik di depannya.
Dia melihat rona merah di pipinya. Pipinya juga sudah di penuhi hujan air mata. Matanya sayu, bibirnya bergetar. Rambut yang menutupi mata cantiknya, ia selipkan di belakang telinga.
"Aku mencintaimu Ellice. Maafkan aku." Ellice semakin meneteskan air matanya dan memejamkan mata ketika ucapan Calvin sudah memenuhi gendang telinganya. Menusuk relung hatinya, hingga merasakan gemuruh hebat bagai ombak yang akan meluap-luap.
Bibir merah itu dia kecup dengan hangat, pipi, hidung, dan kedua matanya yang terus mengeluarkan zat ekresi yang di keluarkan oleh kelenjar lakrimal, Calvin cium secara bergantian. Merasakan nutrisi yang berasal dari air tersebut. Dan terakhir dia daratkan bibirnya di kening Ellice cukup lama.
Puas menikmati wajah sang pengisi hatinya, Ellice dia rengkuh kembali. Dan gerakan di bawah sana, dia percepat lagi. Hingga terasa sengatan listrik bervoltase tinggi akan hadir memenuhi saraf-saraf kenikmatan sang pemilik rumah di setiap tetes aliran darah.
Calvin membenamkan wajahnya di lekuk leher Ellice dan menghujani kecupan di bagian sensitif itu. Sampai detik-detik terakhir jantung keduanya semakin berpacu dengan cepat, berlari mengikuti irama gerakan dan rasa yang mereka rasakan begitu kuat.
Mencekram semakin kuat batang keperkasaan sang pemilik yang menandakan pemilik rumah akan mencapai klimaks sebentar lagi dari gerakan pinggang yang semakin sering bergetar dengan sendirinya.
"Aargghhh!!" ledakan itu datang menghujani Ellice. Tubuhnya yang bergetar hebat tak terkontrol dari ujung kaki sampai ujung kepala. Menitik pusatkan di bagian inti tubuhnya.
Yang tadinya tangannya hanya pasif memeluk tubuhnya sendiri, ia kini biarkan memeluk lelaki yang sedang memeluknya. Dorongan kedua kali ini begitu dahsyat yang di rasakan. Dia rengkuh begitu kuatnya. Membiarkan tubuh mereka berhimpit hingga tak ada lagi ruang kosong di sela-sela tubuh mereka.
"Aakkhhhh! Aaaahh!!" suara jeritan berhasil lolos dari mulut kecil Ellice berkali-kali. Betis yang tadinya menggantung kini dia lingkarkan di tubuh Calvin agar ia tidak terus mengejang. Seolah tubuh Calvin adalah obat penenang untuk dirinya yang saat ini akan meledak.
Hingga terasa sudah lahar panas yang keluar dari gunung berapi membanjiri dan menghangatkan milik Calvin bertubi-tubi dengan pinggulnya yang ia hentakan berkali-kali pada tubuh sang lelaki.
Rengkuhan tak ia lepaskan saat gelombang terus menerpa desiran darahnya hingga sengatan listrik dalam tubuhnya sedikit demi sedikit mulai berkurang. Calvin hanya tersenyum. Sayang dia tak sanggup melihat bagaimana ekspresi Ellice ketika mencapai klimaks. Karena ia merasa ini bukan waktu yang tepat.
Walaupun untuk yang kedua kalinya berbeda yang di rasa Calvin dengan yang pertama, tapi tetap saja. Bisa saja memang tubuhnya masih dalam pengaruh obat. Atau mungkin karena gairah lelakinya muncul ketika tau betapa nikmat sang pemilik rumah memanjakan miliknya. Entahlah...
Sekarang saatnya dia menuntaskan rasa panas dan dahaga dalam dirinya. Dia hentakkan gerakan pinggulnya semakin cepat dan sampai menyentuh bagian terdalam dari inti milik Ellice. Hingga beberapa menit kemudian ledakan di dalam dirinya kini yang mulai muncul. Menyemburkan lava pijar berkali-kali dalam setiap hentakan di inti itu.
"Eeggghhhh!!!" rintihannya dia salurkan lewat rengkuhan di tubuh Ellice. Hingga Ellice dapat merasakan sengatan-sengatan yang meledak-ledak dari tubuh Calvin yang gempal. Meninggalkan jejak cinta berulang kali dengan jantung yang kembang kempis. Dengan lava yang menghangatkan sang pemilik rahim.
Hanya ada suara nafas mereka yang memenuhi ruangan dan detak jantung yang saling mereka dengar bersamaan. Lambat laun hentakan sudah terhenti dan sang pemilik rumah merasakan ketika pengisi ruang kosong di dalam sana mulai mengecil.
Calvin melepaskan pelukannya dan menangkupkan kembali kedua tangannya di wajah Ellice yang sudah semakin basah dengan matanya yang sembab.
Cup...
"Maafkan aku Ellice. Maafkan aku. But, i love you." ucap Calvin setelah mengecup bibir yang bergetar di depannya ini. Sedangkan Ellice sudah menggelengkan kepalanya.
"Tidak Calvin. Ini tidak boleh terja..."
Tok... tok...
"Nyonya... nyonya? Anda ada di dalam? Nyonya Ellice..." panggil bibi pelayan rumah. Ellice yang terkejut, reflek memeluk Calvin dengan kuat. Dia takut ketahuan jika sedang bermadu kasih dengan sang adik ipar. Isak tangisnya terdengar jelas di dekat telinga Calvin.
"Tak apa, jawablah. Jika kau memang ada di dalam toilet. Agar bibi tidak khawatir padamu. Kuatkan dirimu. Aku masih di sini menemanimu." bisik Calvin yang mengusap punggung Ellice dengan lembut. "Hmm?"
Ellice perlahan melepas pelukannya dan duduk tegap, di bantu Calvin menghapus air matanya.
"I-iya bi, a-aku di dalam. Ada apa?" teriak Ellice yang masih memandang senyum Calvin padanya. Tangannya juga masih mengusap lembut pipi Ellice yang begitu menenangkan baginya.
"Tidak nyonya. Saya hanya ingin menanyakan persiapan pesta untuk nanti malam. Tuan Calvin tadi bilang kalau akan merayakan ulang tahun tuan di sini. Saya mengetuk pintu kamar anda, tapi tak ada yang menjawab. Karena itu saya langsung masuk dan mencari anda di toilet."
Calvin masih tersenyum dan menyalurkan kekuatan pada Ellice agar bisa menjawab ucapan bibi dari luar.
"I-iya bi. Nanti aku akan menyusul bibi. Siapkan saja dulu bahan-bahan yang di perlukan." teriak Ellice dengan suaranya yang terdengar serak.
"Baik nyonya."
Calvin semakin tersenyum manis pada Ellice. Dan air mata yang sesekali masih menetes, ia bantu untuk menghapusnya. "Bersihkan dirimu sekarang. Aku akan membantumu." tak ada jawaban dari Ellice. Dia hanya termangu memandang wajah tampan Calvin yang memberikan perhatian begitu lembut padanya.
Calvin membersihkan miliknya terlebih dulu dengan jet shower. Dia melihat masih ada sisa noda darah yang mengenai miliknya. Mungkin luka itu yang membuat Ellice kesakitan saat membuang air kecil tadi pikir Calvin.
Ada sedikit rasa senang dalam hatinya, ketika tau dia perebut kesucian wanita ini. Tapi dosa yang menyelimuti dirinya karena berkhianat pada sang kakak, juga begitu besar ia rasakan.
Setelah miliknya sudah bersih, Calvin membantu Ellice membersihkan diri. Dia biarkan Ellice duduk di closet.
Diambilnya shower dan mengguyur tubuh Ellice dengan air hangat. Sekali lagi Ellice hanya diam membatu. Tanpa lagi malu pada lelaki di depannya yang memandikan dirinya.
Usai itu, Calvin juga membantu Ellice menggunakan pakaiannya. Sementara dirinya hanya menggunakan jubah mandi milik Channing.
"Tersenyumlah. Malam ini akan ada pesta Channing. Kau harus bahagia. Maafkan aku yang sudah egois melakukan hal ini padamu. Aku akan kembali ke kamarku." Calvin mengecup kembali kening itu. Setelahnya dia masuk ke kamarnya.
Ellice terduduk di ranjangnya dan menangis meratapi apa yang sudah terjadi pada dirinya. Mampukah ia terus menutupi kebohongan ini pada suami tercinta?