"Kita ke club sekarang." dengan terpaksa Calvin menyetujui ide gila keduanya. Walau hatinya masih saja ragu.
"Kalian mau kemana? Aku tidak mengijinkan jika kau keluar sekarang Cal. Luka-lukamu belum sembuh." Suara sang kakak muncul dari belakang dengan tatapan mengintimidasi.
Ketiganya saling pandang. "Tapi aku, a-ku tak apa kak. Aku sehat." Sudah seperti menahan sesuatu yang besar, gelombang panas menjalar kian besar di tubuhnya. Bahkan udara dingin yang menjalar tak dapat menjadi penenang untuk tubuhnya.
"Aku tak mengijinkanmu pergi kali ini. Kau masih terluka. Lagi pula apa yang ingin kau kerjakan? Kenapa kau tak bersenang-senang saja dengan kita di dalam?" kekeh Channing. Hanya dengan hal kecil seperti ini dia bisa melindungi adiknya dari mara bahaya yang menanti di luar sana.
"Aku sudah baik-baik saja kak. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan malam ini. Dan aku tak bisa menundanya." Andai saja Channing tau apa kegundahan di dalam hati adiknya. Atau dengan kegilaannya mungkin Channing bisa meminjamkan sang istri padanya? Bulshit!
"Apa? Ada perlu apa? Tidak untuk beberapa hari ini. Kau perlu istirahat. Aku tau kau hampir saja terbunuh siang tadi. Karena itu kau menyuruhku segera pulang kan? Aku mendengarnya saat Mac mengurus mobil yang terkena peluru. Kau perlu istirahat. Kakak tidak akan mengijinkanmu kali ini." Ketiganya saling menoleh, setelahnya Mario dan Ethan hanya bisa menunduk tak mampu membantah tuan besar Channing.
Bagi mereka, Channing tetaplah tuan besar yang harus mereka hormati. Karena bagaimanapun Channing adalah kakak Calvin.
'Fuck! Kenapa Mac tidak hati-hati, sih! Brengsek kau Mac.' Calvin seringkali menyembunyikan hal-hal seperti ini pada sang kakak hanya untuk berjaga kondisi tubuh Channing saja. Supaya penyakitnya tidak sampai kambuh.
"Ah itu, tadi itu memang serangan dadakan kak. Tapi kami berhasil menang. Bukankah ini sudah biasa kak? Mereka hanya ingin main-main saja dengan kita," ucapnya masih berusaha santai.
"Puluhan peluru melubangi besi baja itu kau bilang hanya main-main? Kau pikir kakak bodoh? Kau lupa jika kakak bukan sehari dua hati di dunia seperti ini?"
"Bu-bukan begitu kak. Tapi mereka memang hanya cari mati saja denganku. Sekali tembak. Meledak mereka. Tak mungkin aku sisakan. Kakak tanang saja." Mario dan Ethan hanya bisa menahan tawa dengan tingkah Calvin.
'Oh God. Rasa panas ini sungguh brengsek! Kak, ayolah... Kau pergi dari sini. Aku sungguh tak tahan untuk menahannya lebih lama lagi.'
"Yang di permasalahkan sekarang kau terluka Calvin. Dan lihatlah tanganmu. Kau pikir bisa menyembunyikan luka-luka itu dari kakak? Sudah lupakan. Malam ini kita senang-senang saja di rumah. Hari ini ulang tahunku. Aku hanya ingin bahagia dengan keluarga kita. Terutama denganmu dan Ellice."
Calvin melihat tangannya yang terbalut perban karena menghantam keras meja kerja milik Antony. 'Fernandes brengsek! Jika ini bukan karena ulahmu. Aku tak akan menderita karena masalah Impoten itu! Arggh! Sial! Sial!'
"Mmm.. baiklah kak, terserah kakak sajalah. Aku akan menurut." Channing pun tersenyum dan menepuk pundak sang adik.
"Sekali lagi terima kasih untuk acara malam ini. You're de best brother. Always love you," ucap Channing yang memeluk Calvin. Keduanya hanyalah keluarga kakak beradik yang mempertaruhkan hidupnya untuk kebahagiaan. Tapi orang lain justru ingin sekali menghancurkan mereka.
"Ngomong-ngomong, kenapa denganmu? Kenapa berkeringat seperti itu? Kau juga terlihat gelisah? Ada apa? Tanganmu yang terluka itu sakit?" Channing menyentuhkan punggung tangannya ke lengan gempal sang adik yang berkeringat. "Kau sakit Cal?"
"Ah tidak kak. Hanya di dalam tadi terasa pengap. Ingin mencari udara segar di luar sini. Aku baik-baik saja." Calvin berusaha meredam reaksi tubuhnya yang semakin membara.
"Are you sure?" tanyanya lagi dengan tatapan mengintimidasi.
"Yeah, sure-brother." Sungguh tubuhnya kian membara saat ini. Bagaimana tidak berkeringat jika ia begitu kuat menahan dahaga dalam dirinya.
"Baguslah, aku akan ke dalam dulu menemani istriku," ucao Channing dan berlalu masuk kembali ke dalam. Kata 'istri akhir-akhir ini begitu sensitif untuk Calvin. Apalagi dari mulut Channing yang mengucapkannya.
"Kalian berdua..." Calvin menunjuk dua bodyguard setianya untuk mendekat. Terdiam sejenak memikirkan apa yang akan ia ucapkan. "Pang-gilkan aku seorang wanita, huft.. aku tunggu di kamar." Dari pada impoten. Terpaksa cara ini dia ambil.
"Baik tuan." Keduanya melihat punggung Calvin yang semakin menjauh dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa.
"Kasian tuan. Dia harus tersiksa seperti ini. Jo sialan. Jika kita menemukannya. Jo akan menjadi bagianku. Awas saja dia. Akan aku kuliti tubuhnya. Fuck!" Mario mendengus kesal pada pengikut setia Fernandes yang memberikan minum pada tuannya.
"Sabar. Kita bersama akan membantu tuan menghancurkan mereka. Tapi lakukan tugas kita dulu sekarang. Kita harus mencari wanita terbaik untuk tuan malam ini."
"Ah iya kau benar. Aku akan mencarikan yang terbaik. Agar tuan bisa menikmatinya juga."
***
Sementara Calvin di dalam kamarnya mulai bingung. Rasa panas yang terus menggerogoti tubuh membuatnya tidak tenang. Kegelisahan terus membuncah di pikiran. Seluruh kamar ia kelilingi. Memutar. Bolak balik ke sana kemari mencari solusi. Bayangan wanita lain yang akan hadir membuatnya tidak nyaman.
Menyentuhnya, menikmati sensasi luar biasa ketika berada di puncak kenikmatan. Suara lenguhan dan rintihan nikmat dari bibir seorang wanita. Tak rela. Calvin sangat menyayangkan hal itu. Brengsek!
Kenapa bukan dia yang menemukan Ellice lebih dulu. Hingga penyesalan itu terucap dari lubuk hatinya. Tanpa memikirkan hati sang kakak jika sampai mendengar ucapan itu terlontar dari lisannya.
"Dear God.. Apa yang harus aku lakukan sekarang? kau memang brengsek Fernandes. Sampai kau mati sekalipun kau akan tetap menangis karena apa yang akan aku lakukan padamu beribu-ribu kali lebih menyakitkan dari apa yang aku rasakan saat ini. Fuck! Fuck! Fuuucckkkk!"
Calvin sekali lagi menghantam dinding dengan tangannya yang masih di perban. Hingga rasa sakit mulai menjalar di luka sebelumnya. Ia merintih hingga sedikit melakukan lompatan reflek dari tubuhnya.
Calvin masuk ke dalam toilet berencana meredamkan perasaan panas menggila di tubuh. Ia guyur tubuh itu dengan suhu air bertekanan rendah. Sampai dia mengingat sesuatu.
Dengan tubuh yang masih basah kuyup ia mendekat dan membuka pintu lemari pakaiannya di walk in closet. Dia mengambil kantong dan membawanya ke dalam toilet.
Ia keluarkan dan ia hirup dalam aroma yang masih tersisa di kain itu. Ya, itu adalah pakaian milik Ellice yang ada di dalam mobil. Permainan panas pertama mereka.
Calvin memerintahkan Mario untuk mengambilnya pagi tadi. Saat hirupan pertama, Calvin mulai merasakan jika Ellice berada dekat dengannya. Wangi cologne bayi yang begitu soft meluncur sempurna di penciuman. Aroma yang begitu menenangkan.
"Kenapa kau semakin membuatku gila Ellice?" tanpa terasa tangan kirinya mulai menyentuh lembut bagian yang sejak tadi sudah menjulang tinggi mencari rumah untuk pulang.
Ia pijat perlahan, gerakan naik turun mulai ia lakukan hingga membuatnya larut dan merasakan sensasi lain. Menghilangkan rasa dahaga karena obat gila yang sudah ikut mengalir dan bercengkraman dengan aliran darah di tubuh.
Kian lama gerakan itu semakin menekan dan ia percepat hingga 15 menit pertama keluar sudah, cairan putih kental dari ujung topi batang keperkasaannya. Erangan dari lisannya keluar begitu membuatnya berhasrat. Dan rasa panas bukannya menghilang, tapi makin membumbung tinggi hingga otaknya tak mampu lagi berlogika.
Kain penutup tubuh Ellice terus ia remas dan cium. Tanpa merasakan kesakitan dari punggung tangan yang mengeluarkan darah segar karena hantaman tadi. Fantasinya terus mengembang, membayangkan Ellice yang sedang bermain di bawah sana. Mengulum dengan bibir mungil milik wanita sexy yang dia gauli sebelum ini.
"Ellice. Mmm... aku ingin Ellice. Apa kau tidak bisa membantuku lagi Ellice? Ellice aku sangat menginginkanmu." Racauan dari mulutnya tak dapat ia hentikan. Karena rasa haus sudah mengoyak tubuhnya mendamba sentuhan lembut dari pemilik rumah batang keperkasaannya.
Membayangkan betapa pintar celah di dalam lembah itu memberikan pijatan pada miliknya.
Suara lenguhan dan desahan Ellice ikut masuk dalam sensasi permainan yang ia lakukan sendiri. Seperti di awal. Semakin di asah semakin mendamba. Seperti itu terus yang ia rasakan saat ini.
Lantai dingin tak membuat rasa itu hilang. Dia duduk bersandar berhadapan dengan wastafel, kaki terbuka dengan batangnya menjulang tinggi ke atas dengan otot-otot gagahnya.
Alunan musik di jantungnya terus berdendang menyeimbangkan gerakan tangan di bawah sana. Menggema ke seluruh ruangan. Menanti datangnya lembah hangat yang menenangkan.
"Jika kau tak melakukannya, maka kau akan mengalami impoten. Impoten. Impoten." Kata-kata Antony terus terngiang-ngiang di telinga. Bagai alunan lagu setan. Membuat rasa takut menyelimuti diri.
"Brengsek! Kemana mereka berdua? Mereka sudah mencarikan wanita atau belum?? Aaarrghh sialan! Eghh.. Ellice andai ada kau di sini, ugh..!" teriakan menggema di iringi suara gemericik air di shower yang masih menyala.
Hingga terdengar suara ketukan dari pintu luar toilet.
Tok... tok....