"Fernandes sialan!!" sampai di dalam mobil pun Calvin terus saja mengumpat geram pada Fernandes. Dia benar-benar kecolongan masalah ini. Sampai kapanpun dia tak akan membiarkan Fernandes hidup tenang. Secepatnya dia ingin melihat mayat pria itu.
"Sekali lagi maafkan saya tuan. Karena saya tak menjaga anda, anda jadi menderita karena perbuatan Fernandes." Mario duduk di sisi depan sebelah sopir. Dia menoleh kebelakang melihat Calvin yang duduk termenung di belakang menatap jalanan kota yang mulai berkabut saat memasuki jalanan panjang yang di kelilingi pohon pinus.
Ia melirik Mario dengan mengusap tangannya di permukaan wajahnya. "Lupakan Mario. Ini bukan salahmu. Yang penting sekarang bagaimana cara kita menemukan si brengsek itu. Apapun caranya kita harus segera membunuh bajingan itu." Mario hanya mengangguk dengan wajah yang masih di liputi rasa bersalah.
Siang ini jalanan begitu sepi, sunyi menyelimuti jalanan berkabut yang mereka lewati. Tiba-tiba ban mobil yang di naiki Mario dengan Calvin meledak memecah jalanan. Suaranya menggelegar di dalam jalanan berkabut.
"Waspada! Seth perhatikan jalanan di depan." Mario segera memberikan komando pada pengawal mereka lewat salular komunikasi yang tersambung di jam tangan masing-masing. Pistol glock dan revolver sudah siap di tangan.
"Siap." Kedua mobil iring-iringan Calvin bersiap di depan dan di belakang untuk melindungi sang boss.
Ban yang sudah meletus kembali mendapat tekanan angin yang di hasilkan dari pompa sentrifugal, itu artinya peluru tak mengenai ban terlalu dalam. Sehingga mobil masih bisa mengisi angin secara otomatis dan berjalan normal.
"Lebih cepat Zee, semuanya percepat mobil kalian. Kita akan aman jika melewati jalanan ini." teriak Calvin pada sang sopir pengawal.
Sementara dia dan Mario sudah dalam posisi bersiap. Menghadap ke kanan dan ke kiri. Terkadang melihat ke belakang mengamati kondisi pengawal di belakang dan di depan.
"Fuck! Siapa yang melakukan ini?!" umpat Calvin dengan tangan yang sudah menarik pelatuk dan siap membidik. Siang ini terasa begitu mencekam.
Untuk sampai ke ujung jalan terasa begitu lama. Belum lagi semakin dalam mereka melalui, kabut kian menebal. Seolah alam menyetujui jika perang di mulai di sini.
Mulai terdengar suara decitan mobil dari sisi belakang yang terdengar semakin kencang. Mario segera melepas seatbelt dan berpindah kebelakang mensejajarkan tubuhnya dengan sang boss.
Dua senjata sudah siap di tangan. Tiba-tiba suara tembakan mulai terdengar dari belakang mobil. Rentetan peluru yang menghantam meluncur bebas mengenai Bentley flying spur milik pengawal di belakang.
Suara tembakan tidak terelakkan membangunkan sang burung yang bernyanyi di dahan-dahan pohon dan berlarian ke sana ke mari di langit yang tertutup kabut mencari ketenangan.
Pengawal di depan semakin mempercepat melajukan mobilnya, begitu juga mobil yang di naiki Calvin dan pengawal di belakang.
"Mac ada berapa mobil yang kalian lihat?" tanya Calvin pada pengawalnya yang di belakang.
"Hanya ada satu boss. Dan ada lima orang di dalamnya." Mac adalah pengawal sekaligus sniper handal milik Calvin.
"Tembak sopir dan arahkan senjata api di mesin. Ledakkan kepalanya segera. Jangan lupa catat nomer seri mobil dan plat. Kita selidiki setelah ini berlalu."
"Siap boss." Mac memfokuskan dua senjatanya tepat pada sang sopir dan senapan api siap untuk menghancurkan mobil. Sedang yang lain masih terus melawan tembakan yang musuh layangkan.
Satu orang yang berdiri dari lubang atap mobil berhasil tertembak dan menyisakan empat orang. Suara tembakan kian menggelegar meramaikan jalanan yang sepi siang ini.
Tak menunggu lama, bidikan Mac tepat mengenai kepala sang sopir. Darah segar langsung mengucur deras dari kening. Sebelum pria di sebelahnya melempar sopir yang telah mati keluar, senapan api sudah berhasil meledak dalam sekali tembakan. Mobil terpental ke atas dan api membumbung tinggi membelah kabut.
Suara dentuman terdengar sangat jelas sampai mobil menghantam aspal kembali. Beberapa menit selanjutnya mereka berhasil keluar dari jalanan berkabut dan menang dalam peperangan kecil di dalamnya.
"Arrggh!! Fuck! Siapa mereka? Jangan bilang ini perbuatan Fernandes!!" Calvin yang sudah sangat berapi-api menghantamkan tangannya pada kaca mobil Audi A8 L miliknya.
***
Setelah melalui itu semua mereka akhirnya sampai di mansion dengan selamat tak satu pun yang terluka. Saat turun dari mobil, Calvin segera menghubungi kakaknya yang masih berada di kantor.
"Kak, apa kau aman di sana?" tanya Calvin yang masih berdiri menyandar pada mobil.
"Aku baik-baik saja. Ada apa? Ada masalah lagi?" Channing menghentikan pekerjaannya di tengah-tengah rapat dan memberikan isyarat untuk berhenti sejenak.
"Mulai besok lebih baik kakak bekerja dari rumah saja. Aku tidak tenang kak, membiarkanmu keluar sendiri meski ada pengamanan. Kau bisa mengurusnya dari rumah." Calvin beberapa kali sudah mengatakan agar Channing bekerja di rumah saja. Toh semua pekerjaan masih bisa di handle dari rumah.
"Baiklah, kakak akan menurut padamu. Tapi kau tidak kenapa-kenapa kan?"
"Aku baik-baik saja. Kakak pulanglah setelah ini. Aku akan kirimkan Mac dan Seth untuk membantu Jimmy mengawalmu pulang. Kau juga jangan terlalu lelah. Obatnya sudah kau minum?"
"Nanti saja di rumah setelah aku pulang. Ya sudah aku akan melanjutkan rapat dulu." Channing menutup panggilannya dan kembali meneruskan rapat.
"Mario kau cari tau siapa yang melakukan penyerangan ini. Dan kau Mac, ajak Seth menjemput kakak sekarang. Berhati-hatilah. Pastikan kejadian barusan tidak terjadi pada kakakku."
"Baik tuan."
"Baik boss."
Semuanya berlalu pergi mengerjakan tugas mereka masing-masing. Sedang dia kembali masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk rumah, ia mendatangi aula belakang melihat persiapan acara ulang tahun sang kakak.
Memang tak ada tamu undangan. Karena yang hadir hanya para anak buah, pengawal dan pelayan rumah saja. Tapi Calvin membuatnya begitu mewah dan sangat meriah.
Orang-orang seperti mereka lebih baik tak membuat para kerabat dalam bahaya. Apalagi ini hanya pesta yang biasa mereka lakukan tiap tahun. Biarkan saja mereka mencari kesenangan sendiri. Dan membuat keamanan untuk orang terkasih serta kerabat mereka.
"Bagaimana tuan? Apa semuanya sesuai pesanan anda?" tanya bibi yang mendekat pada Calvin dengan senyum yang sudah mengembang melihat anak asuhnya tersenyum.
"Terima kasih bi, kau memang yang terbaik. Aku serahkan semua padamu dan yang lain. Aku akan ke kamar dulu." Calvin mencari kehangatan seorang ibu pada sosok bibi Merry yang ia peluk.
Dia masuk ke dalam kamarnya dan dan mengganti pakaiannya setelah dari rumah sakit. Menatap dirinya di depan cermin. Memikirkan ucapan Antony tentang obat yang ada dalam dirinya.
"Siapa yang akan aku bawa kemari? Apa aku sanggup melakukan hal itu pada orang lain?" Calvin berpikir kepada siapa nanti pelampiasannya akan dia salurkan. Setelah melakukan penyatuan dengan Ellice, rasanya jika dia melakukannya pada wanita lain seperti dia sedang selingkuh dari istri.
"Oh God, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mencari wanita lain?" membayangkannya saja dia tak suka. Pasti rasa bersalah akan menyelimuti dirinya pada Ellice saat melakukan hal itu nanti.
Seperti sudah menjadi kebiasaan, setelah membersihkan diri Calvin menuju kamar sang kakak. Dia membuka pelan pintu kamar itu dan melihat Ellice yang masih tidur di ranjang besarnya. Ia masuk dan duduk bersimpuh di samping ranjang mengamati wanita cantik yang sudah lolos seleksi masuk dalam hatinya dengan mengusap lembut wajah cantiknya.
"Kenapa harus pada istri kakak? Bolehkan aku memilikimu juga Ellice?" tatapan sayu terus memperhatikan garis wajah milik sang putri tidur dengan lekat. Wajahnya sedikit memerah karena air mata yang sebelumnya terus membasahi pipi. Wanita milik Channing. Bukan miliknya.
"Aku akan selalu mencintaimu Ellice." Usapan lembut pada bibir Ellice membuatnya terbangun dan melihat Calvin sudah ada di depan mata. "Maaf aku sudah membangunkanmu. Ehm.. apa kau sudah lebih baik sekarang?"
Ellice hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ia menatap wajah Calvin yang masih penuh luka dan plaster di luka-lukanya. Meski demikian, Ellice tak munafik jika Calvin lebih tampan dari sang suami. Tubuhnya juga lebih besar dari Channing.
"Katakan padaku jika kau memerlukan sesuatu. Aku akan keluar dulu membantu bibi mempersiapkan untuk acara malam ini." Calvin memberikan kecupan singkat di bibirnya.
Entah apa karena Ellice menyukainya, ia hanya diam saja di cium seperti itu oleh Calvin. Ciuman itu begitu membuat darahnya berdesir dan nafasnya mulai tak beraturan menikmati betapa lembut sentuhan kulit kenyal itu. Calvin yang mulai merasakan pening, terpaksa ia cepat-cepat melepas kecupan di bibir Ellice.
Namun sebelum pergi ia sentuhkan bibir di kening Ellice. Begitu lama dan lembut memberikan rasa kasih dan sayangnya pada wanita tercintanya.
"Apa yang kau lakukan Cal?"