"Jadi? Apa kau akan menerima perjodohan itu?" Tanya Felix dengan jantung berdebar. Tentu saja dia berharap Melisa akan menolaknya.
"Tentu saja aku ingin menolaknya!" Jawab Melisa dengan suara lantang.
Jawaban Melisa seketika memberikan rasa plong di benak Felix, ia sempat berpikir jika Melisa akan setuju dan menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya. Tapi sepertinya Melisa benar-benar akan menolak perjodohan itu.
"Tapi, aku juga tidak tahu bagaimana cara menolaknya. Bisnis ayahku juga bergantung pada keluarganya, jika ayahnya menarik investasinya maka Emeral group akan kehilangan salah satu investor besar." Sambung Melisa dengan wajah murung.
"Katamu kau sudah bertemu dengan pria bernama Juan itu, apa dia juga menginginkan pernikahan ini?"
"Tidak, dia pun ingin menolaknya. Tapi sama halnya sepertiku, kami tidak punya jalan keluar untuk masalah ini." Melisa menelungkupkan kepalanya dimeja. Tanda bahwa ia benar-benar stres dan putus asa saat ini.
"Bagaimana jika kau menolak dan mengatakan bahwa kau sudah punya pasangan?" Felix mulai memberikan saran. "Orangtuamu tidak mungkin membiarkan putrinya patah hati kan?"
"Apa kau sedang menghinaku Felix? Aku tidak pernah punya hubungan dengan pria manapun. Pacaran saja aku tidak pernah. Hidupku terlalu lurus sebagai manusia." Sergah Melisa.
"Kenapa? Tidak pernah bukan berarti tidak bisa punya pasangan bukan?"
"Hah, mereka hanya akan menertawakanku atau justru menuduhku mencari alasan. Lagi pula dimana aku bisa mendapatkan pasangan dalam waktu singkat?" Melisa tampak tidak setuju dengan usulan Felix.
"Aku.." Felix dengan berani menawarkan diri.
"Hmm.?" Melisa mengangkat kepalanya, ia sepertinya salah dengar barusan.
"Aku bisa jadi— pasanganmu." Kata Felix dengan sedikit gugup. Melisa menatap lekat ke arah Felix, membuat Felix semakin gugup saja. "Tentu saja hanya sebagai pasangan pura-pura saja." Sambung Felix merasa salah berbicara.
"Haahh, sudahlah Felix, aku tidak ingin membawamu kedalam masalahku yang rumit ini. Jangan menyibukkan dirimu untuk urusan perjodohan bodoh ini." Ucapnya seraya bangkit dan melepas celemeknya.
"Kau sudah mau pergi?" tanya Felix, ada nada kecewa disana.
"Iya, aku lelah sekali. Kebetulan semua peralatan masak sudah ku bersihkan, tinggal piring bekas makanan itu kau saja yang cuci yah." Pesan Melisa.
"Tapi.." belum sempat Felix melanjutkan ucapannya, Melisa sudah melangkah pergi meninggalkannya sendirian. Felix hanya bisa menatap punggung Melisa dengan tatapan kesedihan.
"Andai saja aku punya kesempatan Mel." Kata Felix dengan wajah penuh penyesalan.
**
"A—apa? Melisa pergi bersama Juan?" tanya Reni dengan wajah panik.
"Iya nyonya." Sang sopir itu berbohong sesuai arahan Melisa.
"Ayah, bagaimana ini. Melisa pergi dengan laki-laki yang bahkan baru ditemuinya sekali ayah." Reni terlihat panik, sementara Hendra hanya asyik membaca buku.
"Sudahlah ma, toh mereka akan segera menikah." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Hendra, membuat Reni geram.
Plak!
"Aduhhh maa, kenapa suka sekali sih memukul ayah. Mama ini termasuk KDRT loh." Protes Hendra kesal.
"Ini semua gara-gara ayah, kalau ayah tidak membuat janji bodoh itu dengan Mauren pasti tidak akan jadi seperti ini." Amuk Reni.
"Yah kan semua demi perusahaan kita juga maa." Kata Hendra tidak ingin disalahkan.
"Huhhh, dasar ayah." Reni beringsut pergi menuju kamar dan meninggalkan Hendra yang kebingungan sendiri.
"Kenapa sih yah? Mama masih marah?" Tanya Nana yang baru saja keluar dari kamar.
"Hmm, apalagi kalau bukan masalah perjodohan itu. Mana ayah tahu kalau Mauren akan menagih janji itu sekarang. Padahal dengan kekayaan dan posisinya sekarang dia bisa saja menemukan wanita manapun untuk menjadi jodoh dari anaknya." Keluh Hendra kepada menantunya.
"Keadaannya memang sulit ayah, tapi semoga saja ada jalan temunya. Siapa tahu pria bernama Juan itu memang sosok yang baik dan cocok dijodohkan dengan Melisa kan?" Nana mencoba membesarkan hati ayah mertuanya tersebut. Hendra mengangguk pelan, mencoba untuk berpikiran sama dengan Nana.
Setelah menunggu hampir 2 jam, Melisa akhirnya kembali kerumah. Hendra menyambutnya dengan tatapan tajam. Melisa terlihat melangkah maju dengan santainya tanpa berniat menyapa atau memberi penjelasan keterlambatannya pada sang ayah.
"Melisa. Darimana kamu?" tanya Hendra.
"Ayah bertanya seolah tidak tahu aku dari mana, Aku habis bertemu dengan calon menantu ayah." Sembur Melisa dengan kalimat menyindir.
"Tapi kenapa supir bilang kau pergi lagi dengan Juan setelah makan malam?" tanya Hendra.
"Iya memang, aku pergi jalan-jalan berdua dengannya. Bukankah memang ayah ingin aku menikah dengannya? Aku harus mengenalnya lebih dekat bukan?"
Hendra menatap sedih ke arah Melisa, memang benar yang dikatakan putrinya tersebut. Ini adalah hal yang dia inginkan karena perjanjian itu. Hendra sekarang tidak punya pilihan lain selain memahami perasaan putrinya tersebut. Melisa beranjak menuju kamarnya dengan langkah gontai, kini Hendra hanya membiarkannya begitu saja.
Melisa menghempaskan tubuhnya diatas kasur, kepalanya terasa sakit seolah akan pecah. Banyaknya beban membuat Melisa merasa lelah bukan main. Ditengah kebingungan dan rasa lelahnya dering ponsel membuatnya kaget.
"Siapa lagiii yang menelepon malam-malam?" keluh Melisa, dengan cepat ia mencari ponselnya didalam tas.
Sebuah nomor baru tertera dilayar ponsel, ia tidak mengenali nomor itu. Melisa terlihat ragu-ragu untuk mengangkatnya. Sebenarnya Melisa tidak senang mengangkat panggilan dari nomor baru, tapi untuk kali ini hatinya menyuruhnya untuk mengangkat panggilan itu.
"Hallo." Sapa Melisa.
"Kenapa lama sekali kau mengangkat teleponnya?" Sebuah suara yang terdengar sedikit tidak asing ditelinga Melisa, tapi dia tidak ingat siapa pemilik suara itu.
"Ini siapa ya?"
"Kau ini! Bahkan nomorku pun kau tidak minta dari ayahmu ya?"
Melisa mengernyitkan dahinya, sekarang dia ingat suara ini.
"Juan?"
"Hmm.."
"Ehh, darimana kau dapat nomorku?" Tanya Melisa penasaran.
"Tentu saja dari ayahku, dia tidak mungkin tidak punya nomor calon menantunya kan?"
"Apa?" Suara Melisa terdengar memekik tajam.
"Jangan berteriak ditelepon!" Protes Juan.
"Lalu, ada perlu apa kau meneleponku malam-malam begini?" tanya Melisa tanpa basa-basi.
"Tidak, sepertinya aku punya solusi untuk masalah perjodohan ini." Kata Juan diujung panggilan telepon.
"Benarkah?" Mata Melisa sontak berbinar, ia benar-benar merasa lega mendengarnya. Membayangkan bisa lepas dari ikatan perjodohan ini tentu membuatnya sangat senang.
"Sepertinya hanya ini satu-satunya cara untuk bisa aman dari amukan ayahku dan perjodohan tetap bisa berjalan."
Melisa tercengang, ia sepertinya jelas mendengar kalimat perjodohan tetap bisa berjalan.
"Apa maksudnya dengan perjodohan tetap bisa berjalan?" tanya Melisa tidak paham.
"Iya perjodohan tetap bisa kita lanjutkan. Sudahlah, besok kita bertemu lagi. Aku akan menjelaskannya secara langsung." Juan terlihat berbicara panjang lebar, Melisa terlihat masih mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang dikatakan oleh Juan. Belum sempat Melisa menyetujui permintaannya untuk bertemu, Juan sudah lebih dulu mengakhiri perbincangan.
"Besok Aku akan kirim alamat tempat kita akan bertemu."
Tut! Panggilan berakhir.
"Apa sih pria ini. Nggak jelas banget! Rencana apanya kalau perjodohan masih tetap berjalan." Gerutu Melisa dan langsung melempar ponselnya dengan kesal. Ia langsung menutup wajahnya dengan bantal.