'Ya Tuhan, bisa-bisanya ayah menjodohkanku dengan wanita aneh ini.' Batin Juan putus asa, dia benar-benar ingin membatalkan perjodohan bodoh ini.
Melisa baru saja keluar dari kamar mandi, ia baru saja membilas wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk. Juan duduk diam dengan tangan terlipat didepan dada. Matanya terpejam seolah tengah memikirkan banyak hal. Melisa memandanginya dengan heran.
"Kau sedang bertapa? Atau sedang meminta wangsit?" Tanya Melisa. Juan perlahan membuka matanya, dilihatnya Melisa yang kini berdiri sambil berkacak pinggang didepannya.
"Jadi apa sekarang kau sudah tidak mengantuk?" Juan balas bertanya.
"Hmm, rasanya sudah lebih segar."
"Haaahhh.."
"Kenapa kau menarik napas seperti itu? Inikah salahmu, bilangnya jam 2 tapi malah datang jam 3."
"Iya.. iya.. aku yang salah puas?" Juan terlihat malas untuk berdebat.
"Ohh, tapi bagaimana kau bisa masuk?" Tanya Melisa kemudian. Juan seketika menunjuk ke arah kursi yang menahan pintu untuk tidak terbuka. "Kenapa kau menaruh kursi didepan pintu sih?" Imbuh Melisa kesal, dia belum paham dengan maksud Juan, saat akhirnya dia mengangkat kursi itu barulah Melisa mengerti.
"Ohh pintunya? Rusaaakk." Pekik Melisa panik. "Heyy Juan, kita dalam masalah besar, pintunya rusak. Huhh, kau apakan sih ini pintu?" Melisa terus saja mengomel. Sementara Juan sekuat tenaga menahan emosinya yang siap meledak, rasanya telinganya sampai bisa mengeluarkan asap.
"Melisaaa.. aku menekan bel, mengetuk pintu, sampai meneleponmu tapi kau tetap tidak membukakan pintu untukku. Aku pikir kau sengaja tidak membukakan pintu atau justru sudah pingsan didalam kamar, tapi ternyata kau tidur seperti orang mati saja." Suara Juan Melemah bahkan terdengar begitu lembut, ia menjelaskan semuanya kepada Melisa dengan senyuman yang dipaksakan. Melisa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
"Jadi apa kita bisa memulai pembicaraan kita?" tanya Juan lagi, dia terus berusaha menahan emosinya sebisa yang dia mampu.
Krrruuukkkk.. kruuukkkkk.. suara tanda kelaparan dari perut Melisa terdengar sangat jelas.
"Aku sampai lupa kalau belum makan siang , padahal pagi tadi aku hanya makan spaghetti saja itupun tidak ku habiskan." Gumam Melisa dengan mata yang berkaca-kaca. Suaranya bahkan terdengar lemah, membuat Juan merasa bersalah mendengar keluhan Melisa. Melisa memang paling tidak bisa menahan lapar, untungnya dia sempat tertidur tadi jika tidak sudah sejak tadi Melisa memesan makanan untuk memanjakan perutnya.
"Haahhh, baiklah. Pesan makanan dan setelah kau makan baru kita bicara lagi." Juan akhirnya mengalah pada keinginan Melisa. Dengan cepat Melisa mengambil tasnya, dia akhirnya berdiri menunggu Juan untuk bangkit dari duduknya.
"Kau mau kemana?" Tanya Juan tidak mengerti.
"Bukankah kau bilang tadi makan dulu baru bicara?"
"Ya iyaaa, tapi kau kan bisa pesan makanan disini. Mereka akan langsung mengantarkannya."
Melisa memanyunkan bibirnya, ia tidak sependapat dengan pikiran Juan.
"Tidak, aku tadi lihat ada restaurant Korea diseberang hotel, sepertinya ramen enak juga." Melisa terlihat membayangkan semangkuk ramen pedas, Juan semakin frustasi mendengar keinginan Melisa.
"Pergilah, aku tunggu disini." Kata Juan yang mulai lelah meladeni Melisa.
"Kau tidak ikut?"
"Tidak, tidaakkk. Pergilah cepat dan kembali kesini sesegera mungkin." Perintahnya.
Melisa mengangguk pelan, dia tidak berniat memaksa Juan untuk ikut. Baginya makan sendirian juga tidak masalah. Dengan langkah tegas Melisa berjalan menuju keluar, cacing-cacing diperutnya semakin berontak meminta jatah makanan dari Melisa.
"Aku pergi dulu." Pamitnya.
"Hmmm.." Juan menjawab dengan seadanya.
Dengan langkah cepat Melisa menuju ke restaurant Korea yang ada didepan hotel. Saat baru saja keluar dari pintu kamar, Melisa berpapasan dengan sekelompok pria berjas. Para pria itu terlihat serius berbicara, mereka tengah meninjau keadaan hotel dan setiap kamarnya karena salah satu investor mereka datang untuk memastikan apakah hotel ini layak untuk mendapat penambahan modal. Salah satu pria yang berdiri disana menangkap bayangan Melisa, kini dia terlihat memperhatikan secara seksama Melisa yang sedang berjalan ke arahnya, dia bisa mengenali jelas wajah Melisa. Seketika itu juga dia memanggil dan menahan langkah Melisa.
"Nona.." panggil Mauren.
Melisa menghentikan langkahnya, dia menoleh dan menatap wajah Mauren.
"Iya tuan? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Melisa dengan wajah polosnya, sepertinya Melisa tidak mengingat jelas wajah calon ayah mertuanya.
"Apa namamu Melisa?"
Melisa terkejut karena orangtua ini mengetahui namanya, dia kini mulai mengingat-ingat wajah Mauren. Tapi rasanya dia belum pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya. Melisa akhirnya mengangguk pelan.
"Dari mana tuan bisa tahu namaku?" Melisa balas bertanya, pria itu kemudian tersenyum kecil ke arah Melisa.
"Sepertinya kita memang belum pernah bertemu, perkenalkan aku—"
"Melisa! Ponselmu tertinggal ini, bagaimana aku bisa menghubungimu kalau kau lama disana nanti." Teriak Juan sembari mengangkat ponsel Melisa ke atas. "Dasar cero—" kalimat Juan terhenti, kala pandangannya menangkap sosok yang tidak asing lagi dimatanya. Sosok itu juga balas menatap Juan dengan tatapan heran.
"Ohh Astagah, aku pikir aku sudah memasukannya kedalam tas, ternyata masih ada diatas kasur ya." Melisa berlari ke arah Juan yang mematung. Perlahan dia mengambil ponsel itu dari tangan Juan.
"Huhh, untung saja kau ingatkan, padahal Seingatku bangun tidur tadi aku sudah menyimpannya didalam tas karena takut tertinggal." Melisa berbicara dengan santainya. Dia tidak peka dengan keadaan saat ini.
"Kau kenapa Juan? Kau kerasukan ya?" Melisa terus saja mengoceh.
"Tidur katanya?" Gumam Mauren dengan sorot mata tajam, Juan bahkan bisa merasakan aura menyeramkan ini dari jarak yang cukup jauh ini.
Kkrruuuukkkk.. krrruuuukkk.. lagi-lagi perut Melisa memberikan sinyal lapar kepada Melisa.
"Aduhhh, perutku sudah kelaparan sekali, kau tunggu saja didalam kamar. Aku tidak akan lama oke?" Pesan Melisa dan langsung berbalik untuk pergi, tapi seketika Juan yang dari tadi diam langsung menahan Melisa untuk pergi. Dicengkeramnya pergelangan tangan Melisa.
"Apa sih? Kau mau ikut?" Melisa menoleh dan melihat pandangan Juan tertuju pada satu titik. Melisa ikut-ikutan menatap ke arah mata Juan terfokus saat ini. Rupanya saat ini Juan tengah menatap dengan wajah ketakutan ke arah pria yang tadi mengenalinya. Tapi Melisa tetap tidak mengenali wajah pria itu, meski sepintas dia terlihat sedikit familiar.
"Tuan Mauren? Apa ada masalah tuan?" Tanya salah satu pria berjas yang tadi sibuk menjelaskan semuanya kepada Mauren.
Melisa bisa mendengar jelas suara pria itu menyebut nama Mauren, seketika Melisa ikut terdiam. Mulutnya ikut membisu dan lidahnya kelu, akhirnya Melisa hanya bisa tertunduk malu dihadapan Mauren.
'Ya Tuhan, apa-apaan ini? Kenapa bisa aku malah bertemu dengan tuan Mauren? Bodohnya aku tidak mengenalinya sejak awal' Melisa merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Ayah, ini tidak seperti yang ayah pikirkan." Kata Juan dengan suara pelan. Melisa baru sadar, semua ucapannya tadi bisa saja menimbulkan salah paham dimata Mauren. Dengan cepat Melisa ikut membantu Juan menjelaskan situasinya.
"Ahh tuan, Ehh. Pak, Aduhh.. maksud saya Paman Mauren. Ini tidak seperti yang Paman pikirkan." Ucap Melisa gugup. Meuren hanya menatap keduanya dengan tatapan menyeramkan. "Sungguh om, ini tidak seperti yang om kira." Tambah Melisa dengan wajah yang memucat saking takutnya.