"Apa anda yakin tuan? Sepertinya ini bukan ide yang bagus. Kalau sampai tuan Mauren tau.." Tirta tidak melanjutkan kalimatnya, membayangkan kemarahan Mauren saja sudah membuatnya ketakutan sendiri.
"Kalau sampai rencana ini terdengar oleh ayahku, kau pun akan kena akibatnya Tirta. Kau paham maksudku kan?" Juan mencoba memberikan penekanan pada Tirta agar mau diajak kerja sama.
Tirta tercekat, berulang kali ia menelan salivanya. Keringatnya mulai membasahi telapak tangan dan keningnya. Juan tersenyum miring, ia benar-benar seperti iblis saat ini didepan Tirta. Kini Tirta hanya bisa setuju dan pasrah mengikuti rencana nekat Juan.
"Aku akan melalukan pernikahan kontrak dengan Melisa, saat dia setuju maka kau harus menyiapkan semuanya Tirta." Pesan Juan. Entah darimana dia mendapatkan ide nekat itu, Tirta bahkan tidak pernah memikirkan hal itu.
"Ba—baik tuan." Sahut Tirta pasrah.
"Jadi, kapan anda akan menyampaikan rencana ini pada nona Melisa?"
Juan terlihat berpikir sejenak, ia mencoba mencari waktu yang pas. "Semalam aku sudah menghubunginya."
"A—apa, Ja—jadi tuan mengatakan hal penting ini lewat telepon? Bagaimana jika dia tersinggung dan mengadukan ini kepada tuan Mauren?" pikiran negative Tirta yang penakut semakin menjadi-jadi.
"Apa kau pikir aku bodoh Tirta? Mana mungkin aku membahas hal ini di telepon." Tegur Juan.
"Ahh, maafkan aku tuan."
"Aku akan menemuinya siang ini, tolong kau atur tempatnya. Ingat Tirta, pilih tempat yang seprivate mungkin." Pesan Juan. "Ahh ini nomornya, kau saja yang hubungi dia untuk mengabari tempat pertemuannya." Tambahnya. Tirta mengangguk pelan, ia lalu meminta izin untuk kembali ke mejanya.
'Tempat yang seprivate mungkin yah?' pikir Tirta mulai memutar otak.
**
Melisa pagi itu terlihat begitu lusuh, wajahnya yang dulu selalu fresh bahkan sekarang terlihat pucat dan berkantung mata. Untungnya Melisa selalu bisa menutupinya dengan make up naturalnya. Disaat akan berangkat kantor, Melisa berlalu tanpa menyapa seluruh anggota keluarganya yang tengah asyik menikmati sarapan pagi.
"Melisa ayo sarapan dulu." Panggil Reni.
"Ayo Mel, ini kakak buatkan spageti kesukaanmu." Sambung Nana. Hendra dan Magdad terlihat sudah menikmati sarapan dengan lahap.
"Yahh, aku langsung kekantor saja. Silahkan kalian lanjutkan sarapan yang nikmat dan lezat itu. Biarlah aku menikmati kesedihanku, lidahku kini bahkan ikut mati rasa." Melisa mengatakan hal yang menyindir ayah dan kakaknya.
"Uhuk.. uhukk.." seketika Magdad tersedak, sementara Hendra diam mematung. Sendoknya bahkan terhenti tepat dimulutnya. Reni dan Nana menatap kedua pria yang tidak peka dirumah ini dengan tatapan kesal. Melisa tersenyum miring melihat reaksi ayah dan kakaknya.
"Aku pergi dulu ma, kak Nana." Pamitnya sembari menatap sinis kearah ayah dan kakaknya.
"Kalian ini! Sudah ku bilang untuk tunggu sampai Melisa ikut makan, malah makan duluan." Semprot Reni. Hendra dan Magdad hanya saling melempar tatapan mengiba ke satu sama lain.
"Sayang air." Pinta Magdag.
"Ambil saja sendiri." Jawab Nana dengan tatapan sama kesalnya dan langsung beringsut pergi. Magdad hanya tertunduk lemas dan tidak berkutik menghadapi kekesalan sang istri.
"Hahaha." Tawa Melisa pecah didalam mobil. "Rasakan, sekarang mereka berdua pasti sedang menghadapi kemarahan mama dan kak Nana." Ejek Melisa, rupanya ia sengaja mengerjai ayah dan kakaknya. Keluarga Yunanda memang adalah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang, mereka bahkan sering bercanda satu sama lain. Tidak ada gambaran keluarga pengusaha besar yang kaku dan dingin seperti yang tertera didalam cerita Novel. Melisa melajukan mobilnya menuju ke perusahaan Emeral Group. Tak lupa dia menghubungi Hilda terlebih dahulu.
"Halo Hilda, bagaimana dengan jadwalku siang ini?" tanya Melisa dari balik panggilan.
"Aku sudah mengosongkannya Nona, anda bisa bertemu dengan tuan Juan kapan saja siang ini hingga sore." Sahut Hilda.
"Hmm, baiklah. Aku sedang di jalan menuju kekantor. Tapi sepertinya aku akan sedikit terlambat." Jelas Melisa sebelum mengakhiri panggilan teleponnya bersama Hilda.
Melisa melajukan mobilnya menuju ke restaurant La Verne milik Felix, meski masih tertutup tapi Melisa seolah tau bahwa Felix pasti sudah ada didalam. Saat membuka pintu, aroma lezat langsung menyeruak dan menyambut kedatangannya.
"Waahh, Spageti!" seru Melisa kegirangan. Ia berlari dan menuju ke dapur tempat Felix tengah memasak.
"Hidungmu sekarang sudah lihai yah." Puji Felix.
"Iyalah, siapa yang tidak hapal dengan bau makanan kesukaannya sendiri. Ohh, apa kau tau kalau aku akan singgah pagi ini?" tanya Melisa penasaran, Felix seketika gelagapan. Dia baru saja dihubungi oleh Reni, Reni meminta Felix untuk membujuk dan mengingatkan Melisa makan karena sepertinya Melisa tengah dalam keadaan tidak baik.
"Tidak, aku hanya kebetulan ingin membuat sarapan dengan menu spageti." Sergah Felix berbohong.
"Wooww, sepertinya kita memang sahabat sejati, aku benar-benar sangat ingin makan spaghetti hari ini." Ucapan Melisa membuat hati Felix nyeri.
'Hanya sahabat yah?' Batin Felix. Tatapannya berubah sendu dan murung.
"Felix." Panggil Melisa untuk kesekian kalinya, rupanya Felix sempat melamun dan tidak mendengar panggilan Melisa.
"Hmm.?"
"Apa aku boleh makan spaghetti ini?" tanya Melisa, matanya memelas seperti anak kucing yang meminta makan. Felix sontak tertawa.
"Tentu saja, aku membuatnya 2 porsi."
Mendengarnya Melisa langsung kegirangan. Dengan cepat Felix menyajikan Saghetti buatannya dimeja makan, Melisa yang sudah siap dengan sendok dan garpu ditangannya dengan cepat menyuapi spaghetti itu ke mulutnya.
"Mmmmm… Spaghetti buatan Felix memang tidak ada tandingannyaaaa.." seru Melisa keenakan. Felix tersenyum kecil, melihat Melisa seperti ini saja sudah membuatnya tenang.
"Makanlah pelan-pelan." Kata Felix dan langsung mengelap sudut bibir Melisa yang belepotan, Melisa terlihat sangat senang hanya dengan memakan makanan kesukaannya yang dibuatkan langsung oleh koki andalannya yaitu Felix.
"Apa kau baik-baik saja Melisa?" tanya Felix penasaran.
"Hmm, aku baik-baik saja, memangnya kenapa?" Melisa balik bertanya.
"Ahh tidak, aku hanya tanya saja. Lalu, bagaimana dengan perjodohanmu?" Felix tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya. Dengan jantung berdebar-debar ia memberanikan diri bertanya mengenai hal itu.
"Entahlah, semalam dia menghubungiku dan mengatakan akan memberitahukan cara untuk menyelesaikan masalah ini."
"Siapa?"
"Juan." Sahut Melisa.
"Ahh, jadi Namanya Juan yah?" Felix tertunduk lesu, dari Namanya saja sepertinya dia orang yang menarik seperti itulah pikiran Felix saat ini.
"Iya, tapi anehnya dia mengatakan masalah selesai tapi perjodohan bisa tetap dilanjutkan. Aku tidak paham dengan maksud ucapannya." Melisa terlihat kebingungan sendiri.
"Coba saja tanyakan lagi padanya Mel."
"Sudah, hari ini kami akan bertemu lagi. Katanya dia akan mengirim alamatnya segera." Tepat setelah Melisa mengatakan itu, sebuah pesan masuk kedalam ponselnya, dengan cepat Melisa membuka pesan dari nomor baru itu.
"Mmm, sepertinya ini bukan nomornya." Gumam Melisa heran. Tapi sedetik kemudian bola mata Melisa melebar, dia tidak percaya dengan apa yang dibacanya.
"Sinting! Apa dia sudah gila?" teriak Melisa geram, membuat Felix tersentak kaget.
"Ada apa Mel?" tanya Felix penasaran.
Melisa membaca pesan yang di kirim oleh orang yang mengaku sebagai sekretaris Juan, pesannya berbunyi.
[Selamat pagi nona, saya Tirta sekretaris tuan Juan. Saya ingin memberitahukan waktu dan tempat pertemuan kedua anda dan tuan Juan. Waktu pertemuannya adalah jam 2 siang bertempat di hotel Western kamar 501]
Melisa tidak percaya, dipertemuan keduan Juan sudah memintanya untuk bertemu di dalam kamar hotel, hal itu membuat Melisa syok. Felix yang ikut membaca pesan itu terlihat sangat marah.
"Apa-apaan laki-laki brengsek ini? Apa dia tipe orang mesum?" pekik Felix penuh emosi, sementara Melisa hanya diam tidak percaya. Ia berpikir pergaulan Juan sangatlah bebas, hingga dengan mudah mengajaknya bertemu di kamar hotel berdua.