Matthew tak percaya bahwa ia bisa menatap Shailene lagi dari jarak sedekat ini. Sepertinya tak banyak yang berubah dari wanita yang sudah punya suami dan pernah melahirkan itu. Shailene tetaplah Shailene. Bagi Matthew, ia masih saja gadis tercantik yang pernah hadir di hidupnya.
"Terima kasih, Shail," ucap Pastor Erick. "Kau masih saja ingat pada panti asuhan."
Shailene tersenyum begitu manis. "Sama-sama, Pastor. Maaf aku tak sering ke sini karena aku tak tinggal di sekitar sini. Tapi kebetulan, putriku dimakamkan di pemakaman Lamb of God. Kemarin malam aku menginap di rumah orang tuaku."
"Mampirlah sesekali di panti asuhan, Shail. Anak-anak pasti akan bahagia dengan kehadiranmu. Ajak suamimu juga ke sini."
Pupil mata Shailene yang berwarna biru itu teralih pada genggaman erat tangan Matthew yang berurat pada calon istrinya. Ya, Shailene cemburu. Sedikit. Ah, tidak. Shailene cemburu. Banyak tanya yang ada di hatinya. Benarkah gadis yang tak terlalu cantik ini adalah seseorang yang Matthew cintai sekarang sampai mereka harus menikah esok?
"Ya, Pastor," jawab Shailene seketika saat menatap wajah Pastor Erick. "Dengan senang hati. Aku akan memberitahu suamiku."
"Kau sudah berkenalan dengan dengan calon istri Matt?"
"Belum," jawab Shailene lirih sambil kembali memandang wajah Matthew dan Brianna bergantian. Tapi kali ini, Shailene tak bisa mengalihkan pandangannya dari Matthew. Wajah yang harusnya ada di sampingnya saat ia membuka matanya di pagi hari. "Senang bertemu kalian."
Shailene mengulurkan tangannya pada Brianna. Gadis itu pun menyambut tangan Shailene yang hanya menyalaminya sejenak.
Brianna tahu betul. Sepertinya wanita ini tak begitu menyukai kehadiran dirinya. Wajahnya yang cantik nan judes itu cukup menjelaskan bagaimana perasaan mantan kekasih Matthew itu.
"Pastor, aku harus pergi sekarang," ucap Shailene.
"Kenapa kau buru-buru, Shail?" tanya Pastor Erick.
"Suamiku menunggu di mobil. Sepertinya aku sudah cukup lama meninggalkannya di sana. Permisi, Pastor." Shailene berpamitan. "Permisi." Wanita itu juga menganggukkan kepalanya pada Matthew, tidak pada Brianna sebelum benar-benar pergi.
Brianna tak bisa untuk marah pada wanita itu. Lagipula untuk apa? Bila Shailene memang benar membencinya, tetap Brianna pemenangnya. Ya ampun. Brianna buru-buru menghilangkan pikirannya itu. Bisa-bisanya ia berpikir tentang suatu hal seperti ini? Seolah Brianna sedang menjalani hubungan yang amat serius dengan Matthew.
"Kau diam saja sejak bertemu gadis itu," ucap Brianna.
"Hm?"
Sebuah kata tanpa arti keluar dari mulut tertutup Matthew. Mereka tengah berjalan-jalan di sekitar gereja. Salju memang tak begitu tebal hari itu. Tapi udara cukup dingin menerpa wajah Brianna.
"Kau masih mencintainya, Matt?" tanya Brianna tiba-tiba.
"Hm?" Lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut Matt. "Kenapa kau jadi terus saja membahas Shailene di depanku? Kau tahu kan kalau aku tak menyukainya?"
Brianna mendengus.
"Kau bilang kau tak menyukai saat aku membahas Shailene di hadapanmu. Tapi kau justru tak berkedip saat melihatnya. Dasar lelaki," gerutu Brianna pada Matthew.
Pria itu kemudian menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya pada Brianna.
"Kenapa? Kau cemburu saat menatapnya tanpa berkedip?"
"Huh? Aku ti-"
"Kalau begitu aku minta maaf. Lain kali tak akan kulakukan."
"Hei, t-" Brianna bahkan tak bisa menahan langkah lebar pria itu. Menyebalkan, batinnya. "Lagipula siapa yang cemburu padanya," sangkal Brianna.
"Hei, cepatlah. Hari mulai dingin!"
Entah kenapa gadis itu tersenyum saat melihat Matthew dari kejauhan begini.
Brianna melebarkan langkahnya mengejar Matthew yang ternyata sudah cukup jauh darinya.
Gadis itu berusaha untuk bersuka cita. Besok adalah hari pernikahannya. Walaupun pura-pura, sepertinya Brianna akan merasakan suatu perubahan yang besar dalam hidupnya.
Shailene juga merasa hal itu saat ia menikah dengan Clint. Wanita itu masih ingat saat ia menangis di altar. Bukan tangisan kebahagiaan. Melainkan tangisan kesal, marah dan takut yang bercampur menjadi satu dalam benaknya.
Ciuman bibirnya untuk pertama kali dengan Clint yang ia lakukan di depan salib gereja itu juga begitu menyakiti hatinya.
Sesak sekali dadanya saat itu. Air mata yang harusnya adalah air mata haru dan kebahagiaan bukanlah hal yang ia dapat saat itu.
Bahkan saat ia ketakutan menjalani malam pertamanya, tak ada yang bisa Shailene lakukan selain menurut.
"Shail! Shailene!" Clint menyadarkan istrinya yang melamun.
Shailene tercekat. Ia sadar bahwa ia tak fokus bahkan sejak bertemu dengan Matthew tadi.
"Kenapa?"
Shailene menggeleng pelan. Pandangannya masih kosong. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi padanya dan bagaimana perasaannya sekarang.
"Kau sakit? Atau ingin makan sesuatu?"
Lagi-lagi Shailene menggeleng.
"Lihatlah, gulungan rambutmu lepas. Kau harusnya potong rambut, Sayang," ujar Clint sambil menarik perlahan rambut istrinya dan menggulungnya ke atas kepala. "Sudah. Tak rapi, tapi lumayan," imbuhnya.
"Terima kasih." Shailene menghela napasnya pendek sambil memastikan rambutnya sudah naik ke atas kepalanya semua.
"Kita pergi sekarang?" tanya Clint dengan halus.
Shailene mengangguk.
Dari kejauhan, Matthew bisa melihat bagaimana kemesraan Shailene dan pria yang berhasil menikah dengan wanita itu 4 tahun yang lalu. Cara Clint memperlakukan Shailene membuat Matthew tahu bahwa sepertinya pria itu memperlakukan istrinya dengan baik.
Harusnya, tak ada yang Matthew sesali selain bagaimana pecundangnya dirinya menyerah saat Shailene dijodohkan. Ia tahu bahwa apa yang membuatnya di sini bersama permasalahan keluarganya dan Brianna yang tak tahu apapun itu bisa saja adalah sebuah takdir. Suatu hal yang kebetulan terjadi di antara mereka.
"Matt, apa yang akan kita lakukan setelah ini?" tanya Brianna saat ia masuk ke dalam mobil.
"Bri," panggil Matt. Pria itu menoleh perlahan pada Brianna.
"Ya?"
"Kau percaya pada takdir?"
"Kenapa?"
"Jawab saja pertanyaanku."
Brianna menggeleng pelan sambil tersenyum yang memancarkan kesedihan.
"Kenapa kau tak percaya?" tanya Matthew lagi.
"Sejak ibuku meninggal bunuh diri, aku tak percaya takdir. Aku hanya percaya nasib beruntung dan nasib sial," jawab Brianna. "Sepertinya, takdir hanya sebuah rekaan orang-orang yang percaya pada Tuhan. Kau tahu kan kalau ini hari pertamaku pergi ke gereja setelah ibuku tewas?"
Brianna mengalihkan pandangannya dari Matthew. Suasana hatinya jadi buruk karena Matthew membahas sesuatu yang menurutnya begitu menyedihkan.
"Kau membuatku sedih saja. Cepat kemudikan mobilnya," pinta Brianna.
"Bri," panggil Matthew lagi.
"Apa lagi?"
"Kalau bertemu denganmu adalah sebuah takdir, itu berarti nasib beruntung atau nasib sial?"
Brianna terkikik.
"Kau ingin menganggapku sebuah takdir?"
"Ya, bisa dibilang begitu. Kenapa kau tertawa, Bri?"
Brianna kini tertawa cukup lebar saat mendengar ucapan Matthew.
"Kau lucu. Lagipula, tentu saja aku nasib beruntungmu, Matt," ucap Brianna. "Di mana lagi kau menemukan gadis cantik sepertiku untuk kau jadikan sebagai istri?"
"Begitu, ya?" tanya Matthew sambil tersenyum. "By the way, kau mungkin akan lebih cantik jika kau memanjangkan rambut pirangmu, Bri."