Brianna tak bisa berkata apapun sekarang. Pria ini berani sekali. Tak tahu aturan. Walaupun ia bukan istrinya yang sesungguhnya. Kenapa ia dengan mudah mengundang wanita penghibur.
"Awas saja kalau kau mencumbuku nanti, Matt. Kupastikan aku tak akan mau," gerutu Brianna saat ia keluar dari kamar mandi.
Jujur saja desahan dan erangan gadis itu sungguh mengganggu telinga Brianna. Suaranya bahkan terdengar sejak ia tiba di hotel rustic dengan dinding kayu ini. Memalukan. Bisa-bisanya ia melakukan hal itu di sebelah kamar Brianna.
"Ah, sial. Aku tak tahu berapa kali ia 'keluar'. Gadis itu sepertinya tak juga lelah sejak tadi sore."
Brianna dengan nada kesalnya pergi keluar dari kamarnya sambil membanting pintu. Lebih baik ia kedinginan daripada ia harus jadi nyamuk di tengah orang yang sedang bercinta.
"Kau sudah selesai?" tanya Matthew lirih pada gadis yang ia sewa itu.
Ia sudah sibuk dengan mainannya yang ia bawa di kopernya sejak pertama kali datang.
Napasnya masih tersengal karena apa yang ia perbuat di kursi. Ya, gadis itu melakukannya dengan kaki terangkat dan menggantung di lengan kursi.
Tubuhnya yang masih lemas itu terkulai di sana. Menggeram nikmat. Tak peduli bahwa Matthew tak juga bernafsu padanya.
"Kau menyebalkan sekali, Tuan Matthew," rutuknya sambil terus mendesah. Padahal ia sudah selesai.
Matthew meminum anggurnya.
"Kau menyewaku hanya untuk mendiamkanku seperti ini, huh? Kau tahu, aku bahagia saat ada konglomerat yang menyewaku. Tapi ternyata aku salah. Sepertinya benar apa kata paparazzi. Kau tak suka perempuan. Aku benar kan?"
Matthew masih tak menjawab pertanyaan gadis itu.
Ia pikir, ia akan berminat dengan gadis yang ia sewa setelah melihat bagaimana lekuk tubuh sintalnya. Tapi Matthew salah. Ia masih saja tak berminat melakukan itu. Apapun tentang seks. Ia tak menyukainya. Matthew mencoba menghindarinya.
"Kalau kau sudah selesai, kemasi barangmu. Aku sudah tak membutuhkanmu lagi," perintah Matthew sambil fokus dengan alkoholnya.
"Buang-buang waktuku saja. Untung kau membayarku," gerutu gadis itu sambil bangkit dari kursi. Kakinya masih lemah karena terlalu sering melakukannya malam itu.
Matthew mendengar gadis itu keluar dari connecting door. Ia berharap Brianna tak terkejut dengan gadis itu.
Ah, ya. Benar. Brianna. Matthew hampir melupakannya.
"Bri," panggil Matthew.
Sepi. Tak ada siapapun di sana. Gadis yang ia sewa itu juga sudah pergi.
"Bri, kau di dalam sana? Kau tak lapar? Tak ingin makan sesuatu?"
Tak ada jawaban juga dari dalam kamar mandi.
Brianna kini lebih baik kedinginan daripada ia harus mendengar seseorang yang mesum di kamar sebelahnya.
Ia memilih untuk duduk di samping api unggun seperti ini. Dengan keadaan perut keroncongan.
"Ah, sial kau, Matt. Kau bahkan membiarkanku kelaparan malam ini."
"Kau ingin minum kopi?" Larry, pria tua itu datang membawa sebuah nampan yang cukup besar berisi makanan. "Mau menemani Pak Tua ini meghabiskan kopinya?"
Wajahnya memancarkan aura orang yang tengah kesepian. Brianna jadi ingat ayahnya di rumah.
"Tentu," jawab Brianna. Pantatnya bergeser membiarkan Larry meletakkan nampan itu di sampingnya.
"Makanlah," ujar Larry. "Aku bisa mendengar bunyi perutmu saat kau tiba tadi sore,"
Brianna tersenyum. Memang benar. Seharian ini Brianna hanya makan sekali saat mobil Matthew berhenti di rest area jalan tol.
"Terima kasih banyak. Aku merepotkanmu?"
Larry menggeleng.
"Tentu saja tidak," ujar Larry. "Aku juga suka membawakan Shailene makan malam."
Brianna tersenyum kecut.
"Wanita itu sering ke tempat ini?"
"M-Maaf. Sepertinya aku terlalu sering membicarakan Shailene. Aku seolah tak menghargaimu sebagai istri Matthew. Tapi pria itu memang tak pernah membawa seorang pun wanita setelah Shailene memutuskan untuk menikah."
Brianna menatap Larry cukup lama. Ia sedang teringat ayahnya.
"Ada sesuatu di wajahku? Kau memperhatikan wajahku cukup lama sejak tadi."
"Tidak. Aku hanya teringat ayahku. Dia sedang sakit sekarang," jawab Brianna lirih. Menyedihkan sekali jadi dirinya. Sepertinya hanya dia yang tak menghabiskan liburan natal bersama keluarganya. Memang Matthew adalah keluarganya yang baru. Tapi, hanya keluarga pura-pura.
"Benarkah? Kau juga mengingatkanku pada putriku," ujar Larry. "Yang sudah meninggal."
Brianna terdiam. Ia bingung harus merespon Larry bagaimana.
"Tak usah merasa tak enak. Aku senang kau dan Matthew ke sini. Ia pria yang tak dewasa. Kulihat, ia juga mencintaimu."
Brianna lagi-lagi tersenyum kecut. Mencintai apa? Dia berada di samping pria mesum itu karena sebuah kontrak dengan sejumlah uang di dalamnya.
"Aku suka saat ada orang yang pergi ke hotel ini. Bisakah kusebut hotel?" Larry terkekeh. "Biasanya penginapan ini ramai saat liburan musim panas. Kau tahu, hampir tiap musim Matthew dan Shailene ke sini. Ya ampun. Lagi-lagi aku membicarakan gadis cantik itu."
"Tak apa, Larry. Aku sudah pernah bertemu dengan Shailene. Dan aku setuju jika kau berkata bahwa ia cantik. Karena memang Shailene begitu cantik," jawab Brianna. Memang sepertinya akan sulit melupakan wajah rupawan Shailene. Kemarin saat ia bertemu dengan mantan kekasih Matthew itu, Brianna juga hampir jatuh cinta padanya.
"Seringlah berkunjung ke tempat ini," ucap Larry. "Aku suka sekali saat ada yang menginap di sini. Aku suka menyiapkan mereka makanan."
"Kau sudah lama bekerja di sini?"
Larry mengangguk.
"Ya, Matthew secara pribadi memintaku untuk tinggal di tempat ini," ucap ya lirih. "Ah, Brianna. Nikmati makan malammu dan kembalilah ke kamar secepat mungkin. Udara makin dingin."
Brianna hanya bisa memandang pria tua yang berjalan bungkuk itu dari tempat duduknya.
Pandangannya kini beralih ke nampan makanan yang Larry bawa itu.
Roti tumpuk panggang dengan isian ham dan keju, lengkap dengan kopi panas untuknya.
Brianna mengeluarkan uap dinginnya. Lebih baik ia di sini. Jika perlu sampai tengah malam. Daripada ia harus mendengar desahan yang mengganggu itu.
Tepat saat wanita itu akan meraih makan malamnya, Matthew dengan sigap merebutnya dari tangan Brianna.
"Hei, apa yang kau lakukan? Kau sudah cuci tangan?" tanya Brianna dengan nada kesal.
"Kenapa?" Matthew memakan roti yang ia rebut dari Brianna.
"Aku mendengarnya. Apa yang kau lakukan dengan gadis itu di kamar sebelah sampai ia mengerang?"
"Kau cemburu? Kau penasaran dengan apa yang kuperbuat?"
Brianna tak menjawab pertanyaan Matthew. Ia kini memakan setengah roti yang ada di nampan.
"Aku hanya mengundangnya untuk menemaniku berbicara," jawab Matthew tanpa diminta. "Lalu tiba-tiba ia mengeluarkan sex toy dari dalam kopernya. Menjijikkan. Kau tak percaya padaku?"
Brianna tak peduli.
"Lagipula ia sudah pulang," ucap Matthew.
Brianna memperhatikan bagaimana pria aneh yang ada di sampingnya ini.
Sifatnya berubah-ubah sepanjang waktu.
"Lagipula aku tak percaya pada seks, Bri. Kalau perempuan yang kutiduri saja bisa meninggalkanku, lalu perempuan macam apa yang bisa kupercaya?"