Brianna menata hatinya. Ia terkejut dengan kehadiran Matthew yang tiba-tiba itu. Tentu saja ia tak akan memberikan tubuhnya pada suami kontraknya itu.
"Bukankah di surat perjanjian tak ada seks?" Brianna mengingatkan Matthew.
Matthew mengangguk. Tentu saja ia ingat sekali bahwa tak ada seks dalam pernikahan pura-pura ini.
"Benar. Lalu memangnya kenapa? Lagipula aku juga tak mungkin bernafsu denganmu," ujar Matthew dengan penuh keyakinan. Pria itu melepas jam tangannya. Ia juga tak sungkan untuk melepas jas dan kemejanya.
Brianna buru-buru membuang mukanya dari pria setengah telanjang itu. Lagipula, ia juga tak yakin kalau memang Matthew manusia tanpa nafsu. Brianna masih ingat bagaimana napas pria itu memburu saat berlatih berciuman dengannya.
Saat Brianna menghadap jendela kamarnya, pria itu, Matthew muncul di belakang punggungnya. Pria itu mendekat pada Brianna untuk mengisi daya ponselnya. Aroma tubuhnya yang harum tercium di telinga Brianna. Membuat gadis yang baru saja berubah status menjadi wanita itu salah tingkah.
"Asal kau tahu." Matthew memulai membuka suaranya lagi. "Kau tak perlu khawatir aku akan mencumbumu. Sudah kubilang, kau hanya kubayar untuk menjadi istriku saja. Hanya status. Tak lebih dari itu."
"Y-Ya, aku paham," jawab Brianna lirih. "Kita akan ke mana setelah ini?"
"Bulan madu. Seperti yang orang-orang lakukan setelah pesta pernikahannya," jawab Matthew. "Bersiaplah. Aku akan berganti pakaian dan kita akan segera berangkat."
Brianna memandangi punggung kekar Matthew dari tempatnya berdiri sejak tadi. Mempesona. Begitu kekar. Terbayang jika ia punya seorang istri yang mendekap punggungnya setiap malam.
Ah, tidak. Kenapa Brianna mulai berpikiran mesum tentang Matthew? Bukankah Matthew sudah meyakinkan dirinya bahwa tak ada seks dalam pernikahan mereka?
Matthew teringat sesuatu. Ia membalikkan badannya pada Brianna.
"Bri," ujar Matthew. "Aku lupa untuk memberitahumu tadi."
"Tentang apa?"
"Ayahmu sedang sakit."
Brianna agak terkejut dan begitu sedih mendengarnya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Ia sadar diri apa yang ia lakukan sekarang. Menjadi istri pura-pura Matthew. Bahkan, sebentar lagi Brianna akan pergi bulan madu seperti yang orang-orang lakukan setelah pernikahannya.
"Kau tak keberatan kan kalau kita tak menjenguknya?"
Brianna terdiam. Kesal sekali mendengar ucapan Matthew. Bukan meminta pendapat Brianna. Itu lebih terdengar seperti pernyataan.
"Kalau kau tak keberatan juga, apa aku bisa memintamu untuk-"
"Ya." Matthew menyela pembicaraan Brianna. "Aku minta seseorang untuk melihat pria tua itu. Aku takut suatu hal terjadi padanya. Kau tak perlu khawatir. Ayahmu baik-baik saja."
Brianna bisa menghela napasnya tenang sekarang.ucapan Matthew membuatnya tak begitu memikirkan ayahnya yang menyebalkan itu.
Matthew menyodorkan sebuah kotak perhiasan pada Brianna. Sebuah kotak perhiasan yang baru saja ia ambil dari dalam lemari.
Dari luar saja, Brianna bisa menerka bahwa kotak ini berisi sebuah kalung.
"Aku ingin kau memakainya," pinta Matthew.
"Untukku?"
Di depan mata Brianna, itu adalah sebuah kalung mewah dengan berlian.
"Mau kubantu pakaikan?"
Tanpa menunggu jawaban Brianna, pria itu buru-buru mengambil kalung itu dari kotaknya dan memasangkannya di leher istri pura-puranya.
"Aku tak pernah tahu kau membeli ini untukku, Matt," ucap Brianna. Tangannya tak bisa diam untuk mengagumi kalung itu. Terlalu cantik baginya. Ia amati lehernya yang begitu baik kelas setelah memakai benda mahal ini di cermin. Brianna juga tak pernah bermimpi sebelumnya akan memakai kalung macam ini.
"Aku memang membelinya sudah lama. Hanya berjaga-jaga jika aku menemukan seorang wanita yang tepat untuk kujadikan istri pura-puraku," jawab Matthew.
"Kau yakin? Kau tak membelinya untuk Shailene?"
Matthew terdiam. Kemudian pria itu menggeleng perlahan.
"Kutunggu kau di bawah," ujarnya lirih menghindar dari pertanyaan Brianna.
Brianna kembali mengamati kalung berliannya. Cantik. Ia tak peduli milik siapa kalung ini dulunya. Sepertinya, Matthew tak memiliki hubungan baik dengan mantan kekasihnya yang begitu cantik itu.
Apa ia harus mengembalikannya pada Matthew jika ia sudah berpisah dengan pria itu?
"Ah, kenapa kau pikirkan itu sekarang, Bri? Itu masih lama. Masih 16 bulan lagi. Siapa yang tahu kalau Matthew akan menambah kontrak untukmu."
Sebuah sandiwara yang Matthew ciptakan itu sedikit membuat Brianna bahagia. Sebuah hal yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia merasa diberikan rasa cinta. Walaupun hanya pura-pura.
Wanita itu bahkan lupa kapan terakhir kali ia berbunga-bunga macam ini. Sepertinya saat Grey mencumbunya dulu. Brianna juga hampir lupa rasanya seperti apa. Saat itu, mereka masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas,
"Bri, apa yang sedang kau pikirkan?"
Matthew menyadarkan Brianna yang sedang melamun menyaksikan hotel rustic di pinggir gunung ini.
"Aku tak tahu ada hotel macam ini di sini, Matt," ujar Brianna.
"Hanya beberapa orang yang mengetahuinya," kata Matthew sambil melangkah masuk ke dalam hotel itu.
Cuaca yang cukup dingin itu membuat Brianna sampai bersin beberapa kali.
Tak ada reaksi apapun dari Matthew. Pria itu hanya menoleh pada Brianna sejenak sebelum akhirnya ia kembali berjalan memasuki area hotel.
"Larry," sapa Matthew pada seorang pria tua pengurus hotel itu. Pakaiannya masih rapi di usianya yang lumayan senja.
"Matt." Pria itu balas menjabat tangan Matthew. "Siapa yang kau bawa? Gadis yang selalu berada di berita beberapa hari ini?"
Matthew menoleh pada Brianna sejenak.
"Ya," jawabnya singkat. "Dia Brianna Westbrook."
"Cantik sekali. Rambutnya pirang seperti-" Larry mencoba mengingat apa yang akan ia katakan. "Seperti Shailene. Kau tahu betul kan bagaimana gadis cantik itu? Hanya saja rambut Shailene lebih panjang dan matanya biru. M-Maaf. Bukan maksudku untuk mengingatkan kalian tentang Shailene. hanya saja, kau tahu, dia wanita terakhir yang kau ajak ke sini, Matt."
Shailene. Gadis itu sepertinya punya kenangan tersendiri di kehidupan Matthew. Hampir semua orang mengenalnya. Bahkan bisa mendeskripsikan bagaimana kecantikan Shailene.
"Kau sudah menyiapkan kamar yang kuminta, Larry?" tanya Matthew mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tentu saja. Kau mau langsung beristirahat? Anak muda. Aku tahu kalian pengantin baru. Tapi, kenapa terburu-buru sekali."
Brianna dan Matthew masuk ke dalam sebuah kamar yang jendelanya menghadap ke gunung tempat orang-orang melakukan ski.
"Apa kita akan ski?" tanya Brianna antusias.
"Ya, besok," jawab Matthew singkat. Ia membuka sebuah pintu connecting room.
"Kau akan tidur di sana?
"Ya," jawab Matthew sambil masuk ke dalam kamarnya.
Apa yang Brianna harapakan dari pernikahan pura-pura ini? gerutunya.
Beberapa saat kemudian, ia membuka pintu kamar hotelnya. Ada seorang gadis seksi yang berdiri di sana.
"Hai!" ucap gadis itu.
Brianna mengamati cara berpakaian gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Ini kamar Matt?"
"Bukan. Dia di sebelah," jawab Brianna.
"Benarkah?" Gadis itu cemberut. Ia melongok ke pintu kamar hotel yang ada di samping.
"Hei, masuklah lewat sini," ucap Matthew sambil melongokkan kepalanya dari connecting door.
"Oke, Sayang," ucap gadis seksi itu dengan nada centil sambil menyeret kopernya masuk.
Mulut Brianna menganga melihatnya.