***
Sore itu langit benar-benar gelap, terasa benar betapa awan sedang menanggung beban yang sangat berat. Seperti aku yang menahan air mataku agar tak tumpah. Semua kenangan tentang hubunganku yang singkat bersama Fatih melintas-lintas dibenakku. Indah...namun semua itu adalah luka yang diselimuti kepalsuan.
Setelah menerima pesan singkat dari Fatih siang tadi, aku jadi tak karuan rasanya. Sesuatu yang panas, sekali lagi panas bukan hangat menulusup dadaku. Satu-satunya orang yang bisa dan kupercaya untuk dapat diajak bicara adalah Adira, kakakku. Kami membuat janji untuk bertemu di sebuah café yang letaknya tak jauh dari hotel tempatku memginap. Aku hanya perlu menyiapkan hatiku untuk disemprotnya namun tak perlu lagi ragu untuk menumpahkan segala kegelisahan hatiku.
Menurut Dira, sejak tau aku 'kabur' dari pengawasan fatih, mama tak berhenti menangis. Bahkan Papa sempat berniat menghubungi polisi untuk mencariku. Tak berlebihan memang, aku lah yang berlebihan menanggapi persoalan cintaku.
Dira muncul seorang diri seperti yang dijanjikannya. Langkahnya lebar-lebar seperti tak sabar untuk segera sampai ditempatku duduk.
"Assalamu'alaikum Mira..." kak Dira langsung memelukku. Lalu memeriksai seluruh tubuhku dengan tatapannya. Matanya memutari tubuhku seperti mengabsen anggota tubuhku satu persatu.
"Walaikumsalam kak..."
"kamu kenapa sih dek, satu rumah, bahkan teman-teman kamu jadi heboh kamu buat" dia mencubit pipiku.
Aku diam saja, mataku kualihkan keluar jendela, menatap langit yang mulai tak kuasa menahan beban yang makin berat. Gerimis turun pelan namun pasti, membelai bumi dengan benturan yang lembut. Sementara itu Dira sibuk memesan makan dan minuman untuknya dan untukku sekaligus.
"ada apasih sebenarnya Mira" Dira makin intens menatapku.
Aku justru bingung harus bagaimana, tadinya aku yakin dapat mengatakan segalanya kepada Dira, namun kini aku merasa seperti ada bongkahan besar yang menahan tenggorokanku dan menutup bibirku.
Pelayan datang membawakan pesanan, aku jadi memiliki alibi untuk menenangkan pikiran dan hatiku sebelum bicara pada Adira. Merangkai lagi kata-katanya sebelum mengatakannya pada wanita jangkung dihadapanku ini.
"kalau mau bicara, katakan semuanya. Tapi kalau tidak, simpan itu selamanya" kata-kata itu terdengar seperti ancaman ditelingaku. Aku sampai bergidik ngeri mendengarnya.
"makasih ya mbak" Adira acuh saja dan malah mengabaikanku. Wajahnya tersenyum manis pada pelayan tadi.
"jadi, kita disini mau makan saja atau apa?" kali ini terulur padaku, mengarahkan garpu yang telah menusuk irisan daging. Aku menepisnya, jadilah garpu itu berbalik dan masuk kemulutnya.
"hemhh... ini enak loh Mir" kulirik lagi wanita berjilbab kuning itu, mulutnya penuh berisi makanan.
"aku tidak akan memaksamu bicara, sebaliknya, aku justru ingin menikmati makanan-makanan ini" dia kembali memasukan irisan besar daging kedalam mulutnya.
"ah,,,kakak memang tidak peduli" ketusku.
Dira meletakan pisau dan garpu yang dipegangnya, tangannya dilipat diatas meja.
"baiklah...ayo katakana" tantangnya.
Aku kembali mengalihkan pandanganku keluar, hujanmulai deras. Namun aku masih tak tau harus bicara apa.
"apa yang dilakukan Fatih?"
Kalimat itu menusuk telingaku, pedih sekali.
"umurmu sudah nyaris 30 Mira, apapun masalahnya cobalah bicara. Jangan lari seperti anak kecil, ah tidak keponakanmu tidak pernah lari saat ada masalh Mira"
Ah...umurku,,,,nyaris 30...ah angka 30 itu seperti membesar dikepalaku. Membesar dan membesar lalu menimpa kepalaku dan aku terpendam kedalam tanah.
Lalu kenapa kalau umurku 30?
Masalahkah?
Apa ada kriteria khusus bagaimana seorang dengan usia 30 menyelesaikan masalahnya. Lalu kalau usiaku 30 dan aku memilih menyelesaikan masalahku seperti ini apa salahnya.
"cinta? Apa itu alasannya?" Adira mulai menatapku sinis.
"iya cinta" jawabku tegas.
"kenapa? Aku belum mencintai Bang Ridho sampai ijab qabul diucapkan dihadapan penghulu."
"sesuai dugaanku, tidak ada yang mengerti aku" rajukku nyaris menangis.
"kamu yang tidak mengerti agamamu Mira"
"alasanku membatalkan pernikahan ini karena cinta. Karena Fatih mencintai orang lain" suaraku meninggi. Tubuhku bergetar hebat, air mata mengalir sederas-derasnya, gigiku gemelutuk saling berbenturan.
Adira menatapku nyaris menangis, matanya berkaca-kaca melihatku.
"orang lain? " suaranya terdengar bergetar.
"siapa Mira?" aku tak kuasa lagi menoleh Adira. Semua ini seperti mengoyak luka yang tengah berdarah.
"Hanna" lirihku
"Hanna? Mira kau dengar sendiri mereka menjelaskannya"
" Uminya Fatih sudah melamar Hanna disana. Kau tau apa yang mereka lakukan untukku, Hanna terpaksa menolak lamaran keluarga laki-laki yang dicintainya demi aku. Parahnya dia menerima pinangan lelaki bajingan. Itu semua karena aku"
Adira kini tak lagi kuasa membendung air matanya. Air itu luruh begitu saja seperti air yang menuruni bukit.
"Fatih marah besar mengetahui keputusan Hanna. Kalau saja dia tau bahwa keluarganya meminang Hanna, maka tidak akan pernah dia mengkhitbahku" suaraku melemah.
"ini bukan salahmu Mira"
"bukan secara langsung. Tapi tidak langsung iya, ini salahku."
Adira menekan wajahnya dengan kedua tangannya kuat-kuat.
"biarkan aku bicara pada Mama dan Papa. Saat ini aku hanya ingin sendiri dulu"
Adira tidak menjawab, dia tak bisa menanggapiku lagi. Adira ikut terluka karenaku, apalagi Mama. Untuk itu aku tak ingin Mama dan papa mengetahui alasan sebenarnya. Cukup aku...aku saja yang terluka. Aku saja yang kecewa, selain itu jangan.
***
Pagi ini kembali mendung, awan hitam tak pernah beranjak dari atas bumi. Bang Ridho dan Adira datang menjemputku. Hari ini aku harus kekampus, bang Ridho dan Adira akan membawa koperku kembali kerumah Mama.
Hari ini mau tidak mau aku harus bertemu muka dengan Fatih. Namun aku juga harus bersikap seprofesional mungkin. Aku juga tidak boleh menimbulkan kecurigaan dikalangan dosen dan mahasiswa yang sebagian sudah tau tentang Fatih yang mengkhitbahku.
Sesampainya dikampus aku memilih langsung masuk keruangan tempat aku akan mengajar. Walaupun jam kuliah baru dimulai lima belas menit kemudian.
Baru saja aku menghempaskan tubuhku dikursi, Luhtfi sudah datang mendekatiku.
"Assalamu'alaikum bu"
"Ck...." Kini aku merasa aneh saat dia memanggilku ibu. Dasar anak nakal.
"pakai kaca mata saja, matanya bengkak. Nanti jadi gossip lagi" aku melihat cermin didompetku. Benar, mataku benar-benar bengkak.
Aku akhirnya mengikuti sarannya, memakai kaca mata baca. Luthfi menyeringai padaku, sambil mengacungkan kedua jempolnya. Anak ini ....lucu...
***
Jam kuliah pertama usai, namun aku masih ada kelas di pukul 12.00. mau tidak mau aku harus menunggu dikantor. Ah,,,,tiba-tiba perutku berbunyi, aku jadi punya ide untuk pergi saja kerestoran atau kantin untuk makan. Aku benar-benar lupa untuk sarapan.
Baru saja kakiku melangkah didaun pintu, seseorang yang paling tidak ingin kutemui menungguku di depan ruangan. Satu kakinya disilang kedepan, tangannya dilipat didepan dada. Saat matanya bertemu pandang denganku, dipamerkannya senyuman yang paling indah. Aku segera menarik nafasku dalam-dalam, nyaris terpesona dengan cahayanya.
Cepat-cepat kutarik pandanganku lalu berbelok mengabaikannya.
"Mir... Mira kumohon tunggu" dia mensejajarkan langkahnya denganku.
"kita perlu bicara Mira, kumohon" tubuhnya maju kedepan menghadangku.
"aku belum bisa..." aku bahkan nyaris tak mendengar kalimat yang keluar dari mulutku sendiri.
"pergilah keputusanku sudah jelas" kali ini terdengar parau sekali.
"tidak Mira, aku menolak keputusanmu. Apapun itu kita harus bicarakan" aku menggeleng, menolak ajakannya.
"Mira,,, kumohon" suaranya terdengar frustasi. Aku tak dapat lagi menahan sesuatu yang ingin keluar dari mataku.
"baiklah...aku tak ingin kau menangis, hanya saja.....kamu makan yang banyak yah...jangan sampai sakit"
Fatih berlalu dari hadapanku, meninggalkan goresan luka dihatiku. Aku terpaku menatap punggungnya yang kian menajauh. Ada sesuatu yang menghantam dadaku, berat sekali.
"mengapa kita dilarang mencintai manusia melebihi mencintai Allah?" Luthfi berdiri sejajar denganku. Aku terkejut dan langsung menghadiahinya dengan tatapan mengancam.
"ck" aku melangkahkan kakiku namun ditahan oleh suara Bass itu.
"kalau butuh tempat bersandar, sini" dia menunjuk bahunya.
"bahu ini siap sedia" aku terbelalak menatapnya.
"hati-hati Luthfi, aku ini bukan MAHRAM MU....." kutekan tekan suaraku.
"hahhha....paling tidak aku bersedia jadi teman makan siangmu" dia memberiku senyum yang sempurna.
Kriukkkk..... tiba-tiba perutku berbunyi tanpa kendali.
Aku jadi menutup mukaku karena malu.
"Ayo..." Luthfi mendahuluiku, bodohnya lagi aku mengikutinya bak seorang wanita lemah yang terhipnotis. Seandainya...seandainya saja Luthfi datang 6 tahun lalu, ah tidak andainya dia lahir setahun lebih dulu atau seumuran denganku, aku dan dia pasti akan...
***
Aku termangu didepan meja makan, Mama, Papa, Bang Ridho, Kak Dira dan dua keponakan yang lucu asik saja menyantap makan malam. Aku memang sejak tadi takut ditanyai dan bingung harus menjawab apa seandainya mama mempertanyakan apa yang sedang terjadi saat ini.
"Ma...aku, enggg..." aku ragu-ragu membuka mulutku.
"apa Mira? Kalau itu tentang Fatih, kami sepakat mempercayakan semua padamu" aku melirik Dira. Dia menyeringai padaku.
"hanya saja, jangan ambil keputusan tanpa istikharah" Lanjut Mama, langsung menyuapkan sendok kemulutnya. Aku mengambil nafas dalam-dalam, lega. Aku mengangguk antusias.
Beruntungnya aku memiliki orang tua seperti mereka, aku segera menyantap makananku dengan lahap. Tiba-tiba saja dadaku terasa plong, salah satu anak panah yang menancap dijantungku hilang dan lukanya segera diberi penawar.
Usai makan malam kami menonton tv, entah mengapa aku ingin sekali bersandar dan memeluk Mama. Lama sekali aku telah tak bermanja pada Mama, didekapannya aku merasa nyaman. Hilang segala bebanku, hingga aku terlelap. Kupeluk erat tubuh yang senantiasa mendukungku itu, hangat dan lembut. Sesekali kucium aroma mint mendekati wajahku, sesaat kemudian kecupan demi kecupan mendarat dipipiku.
Aku belum tidur benar, namun kubiarkan mataku terpejam, menikmati kemesraan yang yang cukup lama alpa dari hidupku. Dia, adalah punggung yang senantiasa mendukungku.
***
Mataku mengitari ruang besar yang bersekat-sekat, ku amati secara intens wajah-wajah itu. Semua tampak serius memicingkan mata pada lensa okuler sebuah mikroskop dihadapan mereka masing-masing. Sesaat kemudian mencatat apa yang mereka lihat pada secarik kertas dan kembali fokus pada objek yang mereka amati.
Aku berkeliling memastikan semua mahasiswa di kelasku mengerjakan tugasnya dengan baik. Sesuai harapan, tak ada tanda-tanda main-main bahkan dari mahasiswa bandel yang biasanya hanya mengganggu temannya. Beberapa tampak menggaruk-garuk tengkuk yang kupastikan sebenarnya tidak gatal, hanya rasa frustasi yang menyebabkan tangannya ingin menggaruk apa saja.
Kini aku akan segera melewati meja kerja Luthfi, tiba-tiba jantungku berdetak tak karuan. Aku takut dia menggodaku seperti biasanya. Aku menelan ludah, menenangkan jantungku yang rasanya akan pecah. Selangkah...dua langkah, yah...aku melewatinya namun dia fokus saja pada aktifitasnya, mengabaikanku. Ck...tiba-tiba aku bingung sendiri, ah tidak aku sedikit kesal.
"Luthfi bantuin dong, irisan gue ketebalan mulu ni, gak dapet gue selnya" rengek Nadia yang terdengar centil ditelingaku.
Aku memutar tubuhku menghadap mereka, namun mereka entah menyadariku atau tidak mengingat posisi mereka membelakangiku, menghadap meja kerjanya.
Luthfi meninggalkan lensanya dan segera mengambil objek ditangan Nadia dan siap membantunya. Aku memicingkan mataku mengamati Nadia yang tersenyum penuh arti melihat Luthfi mengambil alih tugasnya. Aku ingin menegurnya dan mengancam akan memotong nilainya jika mengganggu rekannya. Tapi aku tiba-tiba teringat, dulu... beberapa tahun lalu, diruangan yang sama, aku selalu dan selalu mengganggu Fatih dengan hal remeh temeh yang tak bisa ku kerjakan. Mengiris objek, memasang perangkat mikroskop sampai menggambar objek yang sulit. Aku nyaris selalu menyusahkannya.
Aku tersenyum melihat Nadia dan Luthfi yang mengingatkan ku pada masa kuliahku. Tiba-tiba dadaku terasa nyeri, ada rasa sakit disana yang tak dapat dijelaskan. Kini persahabatan itu telah tiada, menyisakan luka yang dalam pada kami bertiga.
"Assalamu'alaikum..." seseorang masuk Lab, memberi salam dengan suara baritonnya.
Serentak seisi ruangan menjawab salamnya dan menoleh asal suara. Jantungku berhenti berdetak pada detik itu juga, rasa nyeri teramat kuat menekan dadaku. Bibirku kelu menatap seringainya, aku menelan ludah yang sebenarnya mengering.
Darahku berdesir kala tubuhnya kian mendekat, aroma cologne nya yang khas menusuk hidungku. Aku...kaku tak bergerak.....
***